Elio menatap ngeri ke sekelilingnya. Dia benar-benar sudah dikepung.
Selain motor yang dinaikinya dengan Kala, ada empat motor lain di kanan dan kiri, juga tepat di belakang mereka. Dua diantaranya digunakan berboncengan, jadi totalnya ada enam remaja bak preman yang mengurung mereka.
"Cit, cuit," salah satu remaja urakan itu memanggil, "Cantik, main bareng yuk."
Gadis berkacamata itu berharap angka merah di atasnya segera berubah menjadi nol. Nyatanya, masih ada tiga puluh detik sebelum lampu hijau menyala. Dia harus bertahan.
"Ayok ke pasar malem, nanti mas belikan arum manis yang semanis kamu," remaja lain menambahi.
Sorak sorai yang mengikuti sungguh mengganggu Elio. Di belakangnya, Kala mulai bersuara, "Kalian ini kenapa, sih? Jangan ganggu kami."
"Idih, orang kita ngomong sama mbaknya."
"Dia nggak suka diganggu kalian. Cepat pergi sana!"
Mendengarnya, Elio agak merasa tenang. Tubuh tinggi Kala harusnya bisa sedikit meredam gangguan para remaja urakan itu. Namun, mereka berdua tetap kalah jumlah.
Untungnya, lampu merah padam dan kini si hijau yang dinantinya sudah menyala. Elio buru-buru memutar gas, dengan gesit melaju cepat sebelum keenam remaja urakan itu bisa bereaksi.
Namun sayang, keempat motor itu tidak butuh waktu lama untuk menyusulnya. Buruknya lagi, mereka kembali mengepung laju motor Elio di jalanan yang sepi. Harusnya tadi dia mengambil belok kiri dan menyusuri jalan yang biasanya macet, ketimbang dicegat preman jadi-jadian di jalan alternatif yang jarang dilalui kendaraan.
Elio hampir saja lepas kendali karena salah satu motor itu mendahuluinya dan mengerem secara mendadak. Gadis berkacamata itu terpaksa menghentikan laju motor, karena keempat motor itu sekarang benar-benar mengepungnya dari segala sisi. Dia semakin ketakutan ketika mereka turun dari motor dan berjalan mendekat.
"Kalian mau apa, hah?!" Kala ikut-ikutan turun. Kedua tangannya mengepal, dengan dada yang membusung dan wajah merah padam. Entah karena kepanasan, atau memang marah pada para remaja urakan itu.
"Santai aja, Mas," seorang remaja menghadap Kala. Kedua tangannya ditaruh di pinggang, menyingkap rompi hingga menampilkan sabuk berduri dan rantai logam yang menjuntai ke bawah. "Kita kan cuma mau ngajak mbaknya main ke pasar malam."
"Sudah kubilang dia tidak mau."
"Lah, memang Masnya siapa? Pacarnya? Kok sok ngatur."
"Aku memang pacarnya! Jangan ganggu lagi!"
Kali ini dia membiarkan Kala berkata demikian. Asal hal itu bisa menyelamatkan mereka berdua dari situasi menegangkan ini.
"Oh, pacar ternyata," si remaja yang berlagak sebagai pemimpin itu menoleh pada gerombolannya. Mereka berenam tertawa lantang dengan suara yang tak kalah menjengkelkan. Remaja itu kembali menatap Kala, sambil sesekali melirik Elio yang memegang stang motor dengan erat. "Harganya berapa kalau kita ajak main semalam?"
Bugh!
Satu pukulan keras dilayangkan Kala, telak mengenai wajah dekil remaja di hadapannya.
"Cok, asu koe!"
Kala pasti tidak mengerti makna kalimat itu. Sayangnya, dia juga lengah hingga tidak melihat ada satu remaja yang datang dengan bogem mentahnya. Pria yang membela Elio itu hilang keseimbangan.
"Kala!" Elio semakin panik, apalagi saat sebuah tendangan keras pada punggungnya membuat pria itu tersungkur ke aspal panas.
Namun, Kala masih bisa bangkit. Wajahnya geram, dengan kedua tangan yang mengepal. Elio tidak tahu Kala mempunyai tatapan setajam itu.
"Lo berani lawan gue?" Suara Kala sedikit rendah, namun berkali lipat lebih dingin. Belum ada yang menjawab, tetapi pria itu langsung bergerak cepat. Dengan sekali tarikan, dia menghantamkan satu kepalan tangan pada wajah remaja lain yang ada di sisi kirinya.
"Ajar wae!" Ada remaja yang berteriak memerintah, "Nak perlu pateni sisan!"
Perkelahian pecah, dan Elio yang panik mendengar kata 'hajar' dan 'bunuh' itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk melerai mereka. Alhasil, dia buru-buru meminggirkan motornya, agak menjauh dari gerombolan yang sedang adu jotos itu.
Dia mengambil handphone, hendak menelpon bantuan. Di benaknya, hanya terbayang wajah kakaknya, yang sedari dulu selalu menjadi orang yang diandalkan Elio. Namun, dia sedang merantau ke luar pulau, tidak mungkin bisa membantu dalam hal ini.
Gadis itu juga hampir saja menelepon sang ayah. Tetapi, bagaimana mungkin ayahnya yang berwajah kalem dan berperut tambun seperti wanita hamil tujuh bulan itu akan membantu?
'Dasar bodoh,' Elio mengumpat dirinya. Dia harusnya langsung menelepon polisi jauh sebelum Kala dijadikan samsak tinju oleh enam remaja urakan yang mengerubunginya itu.
Tetapi, apa yang terjadi di hadapannya membuat Elio terheran. Bukannya menjadi bulan-bulanan, Kala seoranglah yang justru menghajar habis para remaja itu. Dipukuli satu per satu, bergantian seperti memberi jatah bogem mentah. Jika ada yang bangkit dari aspal panas itu, Kala akan langsung menghadiahi satu kepalan. Jika ada satu lagi yang bangkit, dia akan menyepak perut mereka hingga kembali tersungkur ke jalanan.
"Tau rasa, Lo!" Kala meludahi salah satu remaja, sepertinya si ketua geng, yang kalah telak itu. Dia juga menendang satu, dua dari mereka agar makin puas. Keenam remaja urakan itu semakin terlihat tak karuan.
Elio bingung, apakah dia harus menelpon ambulan atau tidak. Bagaimana pun juga, kalau ada yang meninggal gegara dihajar habis oleh Kala, dia juga yang akan repot.
Sejenak kemudian, pria yang juga kena pukul dan sedikit amburadul itu kini menatapnya. "Apa Lo, lihat-lihat? Mau ngelapor polisi?"
Gadis berkacamata itu mengernyit. Dia memang berterima kasih karena Kala sudah membela dan melindunginya, namun, dia tetap tidak suka dibentak seperti itu. Tetapi Elio mengurungkan niat untuk menasehatinya. Ada hal yang lebih penting sekarang.
"Ayo ke rumah sakit," ajaknya mendekati Kala. "Kau harus diperiksa, jangan-jangan ada tulang yang patah. Atau pendarahan dalam."
Kala terdiam, seolah ingin membentak marah karena Elio menarik tangannya tanpa izin, namun juga terlihat sedikit bingung. Seperti orang yang berusaha mengingat sesuatu, namun tetap lupa. "Gue nggak apa-apa. Lepasin."
Elio menelisik pria yang baru saja mengibaskan tangan agar terlepas dari genggamannya. Ada sesuatu yang berbeda dari Kala, dan dia tidak sedang membicarakan bibir yang robek hingga sedikit berdarah itu. Juga bukan soal baju yang berantakan dan rambut yang kembali awut-awutan seperti tadi sebelum disisir.
Terlebih lagi, cara bicara itu memang biasa bagi Elio yang kuliah di ibukota. Namun jika ibunya mendengar, pasti mulutnya sudah ditampar dengan sandal jepit bermerek burung yang terkenal seantero negeri.
Tetapi, yang dimaksud Elio bukanlah itu.
Tatapan Kala berbeda. Mata itu seolah menajam. Ah, atau mungkin lebih tepatnya terlihat tidak ramah. Seperti orang yang suka marah-marah tanpa sebab. Mirip sekali dengan dosen killer-nya yang sudah menandai Elio karena pernah salah mengirim tugas.
Kala seperti itu. Tadi. Karena sekarang dia sedikit melunak. Atau lebih tepatnya lagi, seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Kau beneran baik-baik saja?" Elio harus memastikan itu.
Pria dengan sedikit luka itu mengangguk.
Pandangan Elio kemudian tertuju pada enam remaja urakan yang masih tergeletak dan mengaduh-aduh di pinggir jalan. Di sini sepi, jadi tidak ada orang yang menyaksikan laga satu versus enam barusan. Kalau ada penonton, mungkin wajahnya dan Kala akan tersebar ke seluruh kota Semarang lagi, seperti tadi malam di stasiun.
"Terus mereka bagaimana? Perlu panggil polisi?"
"Gue malas sama polisi, bikin ribet aja."
"Ambulans?"
"Tch, untuk apa? Bagus kalau sampah jalanan itu mati sekalian."
Elio menghela napas, tidak habis pikir dengan ucapan tanpa hati itu. Namun, mereka sendirilah yang memulai hal ini. Andai tidak ada Kala, mungkin Elio sudah diculik mereka untuk dibawa ke pasar malam. Entah apa yang akan mereka lakukan padanya.
"Anggap saja ini karma," gumam Elio sambil menyerahkan helm pada Kala. "Kalau begitu kita pulang."
Bukannya langsung membonceng, pria itu malah diam di tempat. "Gue aja yang di depan."
"Hah?" Elio berbalik, "Katamu kau tidak bisa menyetir motor? Jadi kau bohong?"
"Sekarang bisa," Kala segera memakai helm dan dengan sedikit kasar mendorong Elio untuk duduk di jok belakang.
Sedetik kemudian, motor itu langsung dipacu dengan cepat. Meninggalkan enam remaja babak belur di pinggir jalan.