Chereads / Multiple Lovers in One Body / Chapter 13 - Anak Cengeng

Chapter 13 - Anak Cengeng

Untuk seorang lelaki yang baru beberapa jam lalu berkata tidak bisa mengendarai motor, Kala rasanya lebih lihai dari tukang ojek online. Maksud Elio juga bukan ojek online kaleng-kaleng, namun pengendara yang sudah terbiasa menerobos kemacetan untuk mengantar penumpang yang terlambat masuk kerja.

Beberapa kali gadis berkacamata itu harus mengencangkan pegangannya pada ujung baju kedodoran yang dipakai Kala. "Pelan-pelan. Memangnya kamu sudah hafal jalan ke rumahku?"

Motornya direm mendadak. Kalau bukan karena helm yang dipakai, hidung Elio sudah pasti jadi pesek karena membentur punggung kokoh itu.

"Kita mampir ke Dodomart dulu." Ditunjuknya baliho berwarna terang beberapa meter di depan.

"Tch."

"Aku bilang berhenti di situ."

"Jangan sok merintah gue," Kala sedikit membentak. Entah apa yang terjadi, sejak perkelahian itu, pria aneh ini menjadi kasar.

Meski berkata begitu, dia membelokkan motor dan parkir di depan minimarket yang buka dua puluh empat jam.

"Kau mau minum apa?" Tanya Elio sembari turun dari motor.

"Beer dingin."

"Tidak ada. Tidak boleh. Jangan minuman yang beralkohol."

"Haish, terus ngapain Lo nawarin gue?"

Elio mendesah kesal. Ditinggalkannya pria itu untuk menunggu di atas motor. Sementara itu, dia masuk dan langsung menuju deretan cooler. Dari ekor matanya, dia melihat beer kalengan dan beberapa yang dikemas dalam botol. Tidak mungkin membeli itu. Kala yang sekarang sudah cukup gila, bisa-bisa tambah kumat kalau dituruti maunya.

Menengok keluar dinding kaca, Elio mendapati pria yang hendak ditraktirnya minum. Ini adalah bentuknya mengucap terima kasih untuk perkelahian tadi. Namun, dia tidak tahu apa yang lelaki aneh itu suka. Selain beer, tentu saja.

Kemudian, dia ingat. Tadi malam saat menunggu di stasiun, Kala minum secangkir kopi panas. Entah memang dia menyukainya atau hanya karena ingin pamer saja. Elio tidak tahu. Maka dari itu, dia memutuskan untuk mengambil dua kaleng kopi dingin. Mumpung sedang ada diskon lima ribu. Dia bisa membeli es krim dengan sisa uangnya.

Tidak lama kemudian, Elio keluar dari pintu minimarket yang lumayan sepi pelanggan itu. Satu kantong plastik putih di tangannya. "Duduk sini dulu."

"Gue bilang, jangan perintah gue!" Namun, Kala menurut juga. Mereka berdua duduk di kursi etalase minimarket tersebut. Meja dengan bentuk lingkaran itu menjadi pemisah.

"Sebagai ucapan terima kasih karena sudah melindungiku tadi," ucap Elio sambil mengeluarkan satu kaleng kopi yang kemudian digeser ke arah Kala.

Pria itu melirik sinis, mendecih tidak suka, tetapi mengambilnya juga. Dia langsung meneguk. Sore ini sungguh panas. Tak heran jika Kala langsung menghabiskan kopi dingin itu dalam satu kali tegukan. Apalagi setelah membuat enam remaja urakan babak belur di pinggir jalan.

Elio tersenyum kecil, sungguh bersyukur karena ada pria yang melindunginya. Dari plastik itu, dia mengambil sebuah es krim dan membuka kemasannya. Seketika itu pula, mata Kala tertuju padanya.

"Kenapa? Aku beli dua, kalau kau mau."

Itu juga cara Elio mengucapkan terima kasih pada Kala, tanpa harus mengatakannya. Walau tidak tahu rasa es krim favoritnya juga, Elio memutuskan untuk mengambil yang rasa coklat. Hanya sedikit orang yang tidak menyukai rasa coklat, jadi itu pilihan yang baik menurutnya.

Akan tetapi, bukannya mengambil es krim yang dimaksudkan untuknya. Kala malah menampik stik es krim yang ada di tangan Elio, hingga jajanan dingin yang lembut di mulut itu jatuh ke tanah parkiran.

"Apa-apaan?" Elio menatap kesal, kaget sekaligus tidak terima dengan aksi lelaki aneh itu barusan. "Sudah kubilang, aku juga membelikan satu untukmu. Kau ini kenapa sih?"

Kala menggebrak meja, wajahnya ditekuk dan merah padam. Hal ini semakin mengagetkan Elio, juga sedikit membuatnya takut. "Lo jangan pernah bawa itu depan gue, ngerti?!"

Elio mengerutkan kening dan menggeser duduknya agar sedikit menjauh dari lawan bicaranya. "Memangnya kenapa?"

"Nggak usah tanya atau Lo gue hajar juga!"

"Jangan teriak-teriak begitu," Elio memberanikan diri. Padahal niatnya baik, tetapi pria ini malah bertingkah aneh dan kasar.

Mereka beradu pandang. Yang satu murka, mirip sekali dengan setan neraka. Sementara yang lain menggigit bibir bawahnya, bingung dengan sedikit rasa takut yang mulai menjalar ke seluruh badan.

Baru saja Elio hendak bertanya lagi, namun pria itu lebih dulu bangkit dari kursinya dan berjalan cepat menuju sisi gedung minimarket.

"Kala!"

Gadis berkacamata itu buru-buru mengejar. Rupanya ada sebuah toilet di belakang gedung. Sepertinya toilet untuk karyawan minimarket. Dia menoleh ke kanan dan kiri, namun tidak mendapati si pria aneh yang bertingkah semakin aneh itu.

Karena hanya ada satu jalan keluar yang tadi dilewatinya – juga ada pintu minimarket, yang tidak mungkin Kala gunakan untuk masuk ke dalam. Itu artinya, hanya ada satu tempat yang perlu dicek.

Pintu toilet itu tidak bisa dibuka. Meski begitu, samar-samar Elio mendengar isak tangis dari dalam.

Sungguh aneh. Ini pasti tidak mungkin terjadi, begitulah pikir Elio. Karena memang sangat di luar nalar. Bagaimana bisa, seorang lelaki bertubuh tinggi yang baru saja menghajar telak enam remaja urakan hingga mereka terkapar di pinggir jalan, tiba-tiba menangis di dalam kamar mandi?

Sekuat apapun Elio ingin memungkiri, itulah yang terjadi sekarang.

Terlebih lagi, ini bukan kali pertama terjadi.

Seperti yang ayahnya ungkap, Kala menangis di toilet stasiun, hanya beberapa menit setelah dia pamer kekayaan dan mengganggu Elio. Ini bukan yang pertama kalinya. Dengan pengetahuan itu, Elio tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Dengan sedikit ragu, dia mendekati pintu toilet yang dikunci dari dalam. Dia mengetuk pelan. "Kala, kau baik-baik saja?"

Tentu saja dia tidak baik-baik saja. Mana mungkin seorang lelaki yang sepertinya empat, lima tahun lebih tua darinya akan mengurung diri di toilet umum dan menangis jika dia baik-baik saja?

Isak tangis itu berhenti. Digantikan dengan suara napas yang tercekat.

Elio mencoba lagi. "Bagaimana kalau kau buka pintunya dulu? Lalu ceritakan apa yang salah?"

Karena tidak mungkin adanya hal yang menyebabkan Kala – si penakluk enam 'wanna be' preman – itu adalah es krim yang tadi hendak dimakan Elio, kan?

'Tidak mungkin, kan?' Elio hanya bisa membatin. Kala yang sekarang mustahil untuk menjawab secara langsung. Dia harus memulainya dengan perlahan.

Meski begitu, gadis berkacamata itu harus memastikan. Juga meyakinkan.

"Aku sudah membuang es krimnya," Elio berbohong. "Jadi kau tidak perlu bersembunyi lagi."

Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum sebuah suara yang lirih didengarnya dari dalam toilet. "Kau tidak bohong?"

'Jadi dia benar-benar takut dengan es krim? Apa yang sebenarnya terjadi?' Gadis berkacamata itu mengubur rasa penasarannya untuk sekarang. Ada yang lebih penting dari itu.

"Kau tidak akan melihatnya lagi, aku janji." Elio mengucapnya dengan yakin. Meski tidak tahu menahu akan penyebab ketakutan Kala, hanya ini yang bisa dilakukannya sekarang.

Terdengar suara kunci yang diputar. Sejenak kemudian, pintu toilet itu terbuka. Hilang sudah wajah geram dengan tatapan dingin beberapa menit lalu. Kini, Kala kembali terlihat ketakutan. Sama seperti saat ayah Elio memungutnya dari toilet stasiun.

"Kau benar-benar berjanji?" Tanyanya dengan penuh harap. Kedua mata yang tadinya tajam itu kini memancarkan keraguan.

"Aku janji." Elio berusaha tersenyum, meyakinkan untuk yang kesekian kalinya.

Kala akhirnya keluar. Membalas kecil senyuman Elio yang mengajaknya kembali ke rumah.

Benak gadis berkacamata itu penuh kecamuk, sungguh tidak mengerti dengan kejadian hari ini. Satu-satunya hal yang meyakinkan bahwa Kala tidak sedang menjahilinya dengan tingkah yang berubah-ubah ini adalah kenyataan bahwa jemari lelaki itu meremas ujung bajunya.

Seolah takut kalau Elio tiba-tiba menghilang jika sekali saja dilepaskan.