"Kau memang tak bisa diandalkan."
Itu yang dikatakan Elio, tiga menit setelah dia menyalakan motor dengan Kala yang membonceng di belakang.
Mungkin terlihat lucu – ini memang terlihat lucu, kalau bukan Elio yang memegang stang. Andai kedua tangan pria aneh itu tidak mencengkram kuat pada ujung baju yang dikenakan Elio, mungkin orang-orang akan berpikir kalau gadis berkacamata itu sedang dilatih atau memang sedang bergantian mengendarai motor dengan pacarnya.
Yah, ada satu hal yang sama dari perandaian itu. Meski harus diembel-embeli dengan kata 'pura-pura'.
Elio harus berpura-pura menganggap Kala sebagai pacarnya.
"Apa salahnya tidak bisa naik motor?"
"Ya salah, lah," Elio sedikit memekik. Truk tronton baru saja menyalipnya. "Masak laki-laki tidak bisa naik motor."
"Dasar seksis," Kala mengumpat. "Zaman maju begini, masih mikir seperti orang kampung." dia terdiam sesaat, "Eh, memang orang kampung sih. Nggak heran, deh."
Ingin Elio memaki balik, berkata bahwa dia bukan orang yang suka memandang bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peranan tertentu yang berakhir dengan diskriminasi dan ketidaksetaraan gender. Lagipula, dia sudah menulis puluhan fanfiksi, dan tidak ada satupun tokoh yang dia gambarkan sebagai orang yang seksis.
Tetapi, mereka sudah sampai di tempat resepsi.
"Cepat turun," usir Elio segera setelah dia memarkir sepeda motor.
Di ujung gang, janur kuning melengkung dengan eloknya. Pertanda bahwa ada hajatan nikahan yang digelar. Area depan rumah Rani dipayungi dengan tenda biru, namun dalamnya dilapisi kain-kain putih dengan aksen kuning keemasan. Bapak-bapak dan ibu-ibu berbaris di depan gapura buatan, dekat sekali dengan kotak-kotak pengeras suara besar yang ditumpuk menghadap jalan.
Salah satu orang yang menyambutnya adalah ibu Rani sendiri, yang dulu sudah dianggapnya seperti ibu kedua. Namanya Jumairah, namun lebih akrab disapa Bu Jum oleh tetangga sekitar.
"Eli, rupanya kamu datang juga," sapa Bu Jum dengan senyum yang sudah lama tidak dilihatnya. "Kirain terlalu sibuk kuliah di ibukota."
"Lagi libur, Bu Jum," jawabnya sembari menjabat tangan. Agak canggung, namun mau bagaimana lagi.
"Masuk, masuk," Bu Jum mempersilahkan untuk duduk di kursi paling dekat dengan panggung dekor. Di sana, Rani dan seorang lelaki – kalau dilihat dari setelan jasnya adalah suaminya – sedang bergaya bersama beberapa perempuan seumuran. "Sebentar, ya, itu teman-teman kerjanya Rani lagi foto."
"Iya, Bu," Elio mengangguk.
"Itu dimakan dulu, seadanya," ucapnya Bu Jum sambil menunjuk panganan ringan dalam toples, juga dodol jenang dan tape ketan yang disuguhkan dalam piring. "Eh, ini siapa?"
Elio mengikuti arah pandang Bu Jum. Wanita paruh baya dengan kebaya dan dandanan menor itu tersenyum pada pria aneh yang sedari tadi diam mengekor di belakangnya. Agak bingung juga menjelaskannya, "Uhm…"
"Jangan-jangan, ini pacar kamu dari Jakarta itu, ya?"
Bu Jum mengedarkan pandangannya naik turun, menelisik penampilan Kala dengan celana cingkrangnya dan kemeja kedodoran. Entah kenapa, Bu Jum bolak-balik menatap pacar pura-pura Elio dan menantu barunya. Ada sedikit guratan iri di wajah yang tertutup bedak tebal itu.
"Namanya siapa tadi? Bu Jum tidak dengar."
'Memang belum dikenalin,' Elio membatin, kemudian menjawab dengan sabar, "Kala, Bu Jum."
Bu Jum menggumam, sekali lagi melirik Kala. Yang dilirik hanya bisa duduk kikuk, sesekali tersenyum tipis, namun lebih mirip meringis ngeri. "Sudah lama pacaran?"
"Uhm…" mereka belum berdiskusi soal ini. "Ya, lumayan."
"Teman kuliah?"
"Bukan, sih…"
"Terus kenal dimana?" Bu Jum berubah menginterogasi. Sayangnya, Elio tidak diberi hak untuk diam, karena sepertinya wanita berkebaya itu sungguh ingin mencari tahu seluruh seluk beluk hubungan – palsu – Elio dan Kala.
"Kita bertemu di stasiun, Bu." Itu jawaban dari pria aneh yang duduk di sampingnya. "Kebetulan satu kereta juga."
Dia tidak berbohong.
"Oh, lumayan juga ya," komentar Bu Jum. Entah apa arti dari kata lumayan dalam konteks ini. Elio sungguh tidak tertarik mencari tahu lebih lanjut. "Rencananya mau sampai kapan tinggal di rumah Elio?"
Kala yang ditanyai nampak bingung. Sepertinya pria itu belum memikirkannya. Ingin sekali Elio menjawab 'siang ini' atau 'secepatnya' namun bukan itu kesepakatan yang telah dicapai dalam rapat dadakan pagi tadi.
"Minggu depan balik ke Jakarta, Bu Jum."
"Hah? Kata siapa?" Kala yang sejak tiba di resepsi ini nampak tenang dan menurut, tiba-tiba melonjak. "Aku tidak mau balik ke Jakarta- aduh! Apa-apaan sih?!"
Niat hati menyikut perut Kala agar diam, pria itu malah tidak peka sama sekali.
"Jangan kasar, ih," kesalnya lagi. "Aku tidak punya asuransi di sini, tahu? Kalau ada apa-apa, siapa yang bayar pengobatannya?"
Elio melongo atas kelebayan Kala dalam menyikapi sikutannya. Padahal, dia tidak mengerahkan tenaga sedikitpun. Entah apa yang akan terjadi kalau Elio benar-benar menyikut dengan niat untuk membunuh.
"Sudah, sudah, masak bertengkar sama pacar sendiri. Jangan sampai kalian putus karena hal sepele, ya," Bu Jum menasehati, namun dengan nada yang sedikit mengejek. Seolah tahu bahwa Kala bukanlah pacar sungguhannya, dan Elio sebenarnya sudah putus dari kekasih sejatinya.
Belum sempat menjawab, ada dua orang yang datang menghampiri mereka bertiga. "Eli, sudah lama tidak ketemu."
Rani, dengan kebaya putih keemasan dan dandanan pengantin, menyapa duluan. Yang dimaksud dengan 'sudah lama' lebih tepatnya adalah delapan tahun. Terakhir bertemu, mereka baru saja lulus dari sekolah dasar.
Bu Jum segera pamit, meninggalkan Elio dan Kala, juga Rani dan suaminya.
"Selamat ya, atas pernikahannya," Elio mengucap sesuai dengan ajaran ibunya tadi pagi. Ini adalah resepsi pernikahan yang dia hadiri sebagai tamu undangan untuk pertama kalinya.
Keheningan tercipta. Percakapan mereka jatuh seketika. Kandasnya persahabatan mereka delapan tahun yang lalu masih terekam jelas di kepala masing-masing. Entah apa sebenarnya yang membuat Elio mau menghadiri resepsi ini.
Oh, dia ingat. Tadi ibunya mengancam untuk tidak memberi uang jajan pada Elio. Meski dia sendiri tahu, uang jajannya berasal dari sang ayah yang bekerja, bukan ibunya yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Suami Rani tampak berinisiatif untuk menyudahi kecanggungan itu. "Oh, ya, kenalkan, namaku Prayoga. Panggil saya Yoga. Tadi namanya siapa ya?"
"Elio," mereka berjabat tangan. "Dia Kala."
"Pacar?" Rani ikut menilai penampilan Kala, sama seperti Bu Jum tadi.
Gadis berkacamata itu menggumam, tidak mengiyakan secara dengan kata-kata.
"Kirain kamu sudah putus," Rani menambahi. "Katanya Yu Ratih begitu."
"Oh? Aku tidak tahu kalau kamu juga update soal itu," Elio menyindir halus. "Dulu kamu tidak suka ikut-ikutan menggosip."
"Dulu kita masih dua belas tahun. Mana tahu soal gosip."
"Iya? Kukira dulu kamu marah karena ada gosip bahwa–"
"Cukup, Eli," Rani sedikit menghardik. "Ini hari bahagiaku, jangan kau ungkit soal masa lalu kelam itu."
Kini, Elio benar-benar yakin.
Apa yang terjadi delapan tahun lalu masih membekas di hati keduanya. Bukan hanya dia seorang. Persahabatan itu memang telah hancur. Datangnya Elio ke resepsi pernikahan Rani tidak serta merta bisa membangun kembali jembatan akrab yang telah roboh itu.
Mereka hening lagi. Namun, kali ini rasanya lebih menyesakkan.
Alunan musik dangdut dari organ dan gitar, juga tabuhan drum itu semakin membuat kecanggungan mereka kentara. Suara merdu dari penyanyi perempuan dengan pakaian yang tertutup namun tidak menutupi lekuk tubuhnya terdengar ke berbagai penjuru. Menanyakan apakah ada yang mau request lagu. Atau menyawer. Atau juga menyumbang lagu.
Dan Kala – oh, Elio sungguh ingin menyikut wajah tampannya itu dengan sekuat tenaga sekarang – langsung bangkit menuju panggung rendah di samping dekor dan mendekati penyanyi berlekuk indah itu.
"Mbak, saya boleh menyanyi di sini?"
Elio tidak habis pikir. Rasanya dia ingin membakar tenda resepsi ini. Dengan begitu, orang-orang akan sibuk menyelamatkan diri mereka ketimbang heboh melihat 'pacar' Elio menyanyi dangdut tanpa malu sedikit pun.
Kini dia seperti sedang disulap untuk menjalani kehidupan malang seorang tokoh utama dalam sebuah fanfiksi komedi yang ditulis oleh remaja ingusan.