Chereads / Multiple Lovers in One Body / Chapter 8 - Pacar dari Jakarta

Chapter 8 - Pacar dari Jakarta

Ada seekor laba-laba yang tengah bersantai di pojok atap kamar Elio. Andai dia memakai kacamata, mungkin dia akan melihat bagaimana kaki-kaki kecil itu dengan lihai menganyam jaringnya.

Cukup mengherankan, kenapa laba-laba itu dibiarkan tinggal di kamar Elio tanpa ikut menyumbang untuk membayar tagihan listrik dan air PAM rumah orang tuanya?

Berbicara soal penghuni ilegal, pikiran Elio kembali tertuju pada penyebab rasa malasnya untuk bangkit dari kasur pagi ini. Siapa lagi kalau bukan Sangkala Dharmayudha. Si pria aneh yang dipungut dari toilet oleh ayahnya.

Kalau bukan karena ketukan pintu dari sang ibu yang sudah memanggil-manggil sejak lima menit yang lalu, Elio akan terus mengubur diri di bawah selimut. Melanjutkan perburuan telur T-rex dalam mimpinya. Ditambah lagi, ibu Elio juga mengerahkan sidekick-nya.

"Eli, sudah jam sepuluh ini."

Itu suara ayah Elio.

Saparudin Ilyas namanya. Orang asli Semarang, tumbuh di Semarang, namun bercita-cita untuk tinggal di Amerika. Entah apa yang mendasari hal itu, karena jawabannya akan berubah tergantung siapa penanyanya dan kapan pertanyaan itu ditujukan.

Meraih handphone yang akhirnya sudah seratus persen terisi baterainya, Elio mengerjap. Ini masih pukul sembilan pagi.

Dengan gerakan gontai, Elio akhirnya bangkit juga. Dipakainya kacamata berbingkai ungu itu sambil berjalan pelan menuju dapur. Hendak mencuci muka dan langsung sarapan.

Namun, suara setengah bisik-bisik setengah memekik membuatnya terpaku.

Di balik dinding itu, ayah dan ibunya sedang berdebat. Suatu hal yang sepertinya lebih sering terjadi akhir-akhir ini. Entah hanya perasaan Elio saja, atau kedua orang tuanya kini leluasa berargumen di depannya karena berpikir dia sudah cukup dewasa untuk mengetahui peliknya kehidupan rumah tangga.

Yah, meski debat mereka hanya berkisar mengenai alokasi waktu penggunaan kamar mandi, kekuasaan atas remot TV, juga kewajiban untuk mengangkat jemuran ketika turun hujan tiba-tiba. Itu semua didengar Elio dari telepon mingguannya dengan sang ibu.

Kini, dia mendengar langsung salah satu debat mereka.

"Tapi mau tinggal di sini sampai kapan, Pak?"

Ibu Elio terdengar seperti merajuk. Padahal masih pagi. Meski begitu, kalimatnya membuat Elio seketika terbangun sepenuhnya. Dia tahu topik pembicaraan ini pasti tidak jauh-jauh dari benalu yang diizinkan menetap oleh ayahnya. Sepertinya akan cukup serius.

"Tidak lama, bapak cuma khawatir kalau terjadi apa-apa padanya tadi malam," Ilyas menjawab dengan lembut. Nadanya sama halusnya dengan tadi malam, tepat saat sang ayah mengatakan alasannya memungut Kala dari toilet.

"Jadi bisa pergi siang nanti?" Ketus ibunya yang diam-diam didukung Elio dengan anggukan.

"Ya tidak siang ini juga, kali, Bu."

"Makanya, terus kapan?"

"Ibu tidak suka menolong orang?"

"Bukannya gitu," Ibu Elio menghela napas. Reaksinya kira-kira sama dengannya tadi malam. "Memang Bapak sudah lapor ketua RT?"

"Belum, sih. Kan baru sampai rumah tengah malam, masak langsung lapor RT? Nanti dikira mau lapor maling lagi…"

"Nah, itu kesalahan Bapak. Gara-gara tidak segera lapor, tetangga sudah heboh dari tadi pagi menggunjing kita. Sampai-sampai ada yang bilang kalau itu pacarnya Elio dari Jakarta."

"Hah?!" Elio keceplosan.

"Eli, kamu di situ?"

Terpanggil oleh ibunya, Elio menghentakkan kaki menuju dapur untuk menghadap pada orang tuanya. "Itu rumor gila dari mana, Mak?"

Asih Pamujiningrum – ibu yang dipanggilnya Mamak – segera menjawab begitu Elio menampakkan diri. "Siapa lagi kalau bukan Yu Ratih."

"Bisa-bisanya bilang gitu, sih?" Elio ingin sekali mengambil pisau dapur di belakang ibunya sebagai properti untuk menakut-nakuti Yu Ratih, pelopor gosip nomor satu di kampung ini yang tepat samping rumahnya.

Janda beranak satu yang biasa dipanggil dengan sebutan 'yu' – dari kata 'mbakyu' karena memang lebih tua sedikit dari ibu Elio – itu memang hobi mendramatisir keadaan. Kalau ekonominya bagus dan punya koneksi orang dalam, Elio yakin, Yu Ratih sudah menjadi penulis naskah, sutradara, sekaligus pemain utama dari sinetron stripping dengan ribuan episode di Jakarta sana.

Mungkin, kegagalan itulah yang menjadikan Yu Ratih sebagai penduduk bermulut lebar yang meresahkan seisi kampung.

"Tadi pagi waktu beli sayur depan rumah, Yu Ratih lihat, siapa itu namanya, Kali, Kala, Kale, duduk di kursi depan."

"Namanya Kala, Bu," Ilyas membenarkan. "Terus Ibu bilang apa sama Yu Ratih?"

"Ibu ndak bilang apa-apa, dianya saja yang asal ceplos, koar-koar sekampung kalau Kala dibawa pulang kemari setelah menghamili kamu, El."

"Itu salahnya Ibu. Harusnya langsung dijelaskan sebelum rumor tak benar ini menyebar," Ilyas menghela napas. Elio setuju dengan ayahnya.

"Mau dijelaskan bagaimana, orang Kala sendiri malah senyam-senyum tidak jelas waktu ditanya kalau dia pacar Eli atau bukan."

"Kan Mamak bisa bohong sedikit. Bilang saja kalau Kala itu sepupu jauh Eli," gadis berkacamata itu ikut menyudutkan Asih. "Atau asal bilang dia anak kenalan Bapak."

Asih mengalihkan pandangan dan meraih kain lap untuk membersihkan di dekat wastafel. "Orang-orang sudah terlanjur tahu kalau Kala pacar kamu. Mau bagaimana lagi?"

Gelagat ibunya jadi sedikit aneh. "Maksud Mamak?"

Ayahnya juga ikut memandang penuh tanya. Sepertinya ada satu detail kecil yang disembunyikan oleh Asih dari pasangan ayah dan anak ini.

"Eh, itu…" Asih semakin sibuk mengelap meja kayu berpelitur yang sudah bersih dan kinclong itu. "Sebenarnya…"

"Sebenarnya apa, Mak?" Elio mendesak. Perasaannya tidak enak.

Kalau ini salah satu adegan sinetron yang biasa ditonton ibunya, maka akan ada latar musik bernada pelan yang semakin lama semakin meninggi, diikuti dengan zoom tepat ke wajahnya, ayahnya, dan ibunya satu persatu. Saat itulah sang ibu akan menyampaikan sebuah fakta mengejutkan kepada pemirsa.

Itupun jika tidak ada iklan mie instan nomor satu se-Indonesia yang tiba-tiba menyela.

Berhubung ini adalah dunia nyata, maka pernyataan Asih tidak begitu dramatis. Namun efeknya lebih menggemparkan.

"Sebenarnya ibu juga tidak menyangkal kalau Kala pacar kamu dari Jakarta karena sudah tidak tahan jadi bahan omongan tetangga."

Bagai petir di siang bolong, otak Elio konslet seketika.

"Bisa-bisanya Mamak bilang begitu?!"

"Eli, jangan keras-keras, bikin tambah pusing saja," ayah Elio menegur.

"Mamak yang harus disalahkan, Pak!"

"Iya, iya, sebentar. Tidak perlu pakai suara demo begitu, ini bukan Bundaran HI. Kita runtut satu per satu," Ilyas menunjukkan wibawanya sebagai mantan ketua panitia perayaan HUT RI tahun lalu. "Jadi, kenapa Ibu bilang begitu?"

Asih kembali memalingkan wajah, namun tekanan batin dari sepasang ayah dan anak itu membuatnya lunak juga. "Biasalah, kalau ada yang mau menikah di daerah sini, pasti yang digosipkan selanjutnya adalah gadis-gadis perawan macam kamu itu. Telinga ibu sampai panas gegara Yu Ratih tanya terus, kamu kapan nikahnya?"

"Astaga, masih dua puluh tahun juga sudah disuruh nikah, Mak?"

"Kita tinggal di kampung, wajar kalau umur segitu sudah ditanya kapan nikah," Asih berdecak, sama tidak sukanya. "Terus, entah dapat kabar dari mana, tapi Yu Ratih tahu kalau kamu sudah putus."

Elio memandang tidak percaya pada ibunya, yang diyakini adalah penyebar kabar itu sendiri. Bagaimana pun juga, ayahnya tidak mungkin membicarakan kehidupan asmara Elio dengan Yu Ratih yang terkenal seantero kampung akan paras cantiknya, meski sudah menjanda.

Lagipula, kakak Elio – Mas Agni – juga sedang merantau di luar pulau. Tidak mungkin dia yang menyumbangkan gosip itu pada Yu Ratih.

"Jadi, em…" ibunya kembali menyibukkan diri, pertanda bahwa masih ada kabar buruk yang akan dijatuhkannya.

Elio semakin merasa was-was. "Jadi apa, Mak?"

"Ibu bilang kalau kamu putus itu tidak benar, karena pacarmu ikut pulang kesini. Dan kalian berdua akan hadir di resepsi nikahannya si Rani, teman SD kamu yang tinggal di desa sebelah."

Elio menyesal dia pulang kampung liburan semester ini.

Hidupnya telah berubah seperti salah satu skenario drama di salah satu fanfiksi yang pernah dia baca dan hujat dengan tanpa ampun.