Dengan kaki yang sengaja dihentakkan, Elio menyusuri ruang tamu dan berhenti di teras.
Di pekarangan kecil depan rumahnya, sesosok pria tinggi sedang bercengkrama dengan tetangga samping rumah yang sungguh meresahkan. Elio buru-buru menghampiri mereka.
"Eh, Eli, baru bangun kamu? Gitu, ya, anak Jakarta memang bangunnya siang, ya?"
Itu suara Yu Ratih, sengaja diucapkan dengan nada dan volume yang besar. Kalau menurut Elio, janda cantik itu malah terdengar seperti wanita penggoda yang suka nangkring di sekitar Simpang Lima tiap malam Minggu. Bukan niatnya untuk menghina para wanita yang mencari penghasilan di tempat ngetren Semarang itu, tetapi memang begitu adanya.
"Budhe Ratih, masih sehat ternyata," kelakar Elio yang diam-diam akan senang jika pelopor gosip ini sakit dan menghentikan siaran kampungnya. Untung janda cantik ini tidak begitu peka mendengar sarkasme.
"Ih, 'budhe' lagi. Sudah berapa kali dibilang, panggil 'yu' saja. 'Yu Ratih,' begitu. Kan masih muda," perintah itu diiringi dengan satu tepukan menyakitkan di bahu Elio. "Oh, iya, saya baru ngobrol sama pacar kamu. Kirain sudah putus, ternyata belum, toh?"
"Ehehe," Elio meringis canggung. Diliriknya Kala yang kini malah berdiri mematung dengan kedua mata yang terbelalak dan mulut yang sedikit menganga. Buru-buru Elio menariknya ke belakang. "Eh, Bu – Yu Ratih, kita masuk dulu, mau sarapan."
"Oh, iya, iya," pelopor gosip nomor satu itu memandang agak curiga, namun ekspresi itu segera diganti dengan wajah sumringah. "Nanti mampir, ya? Ada banyak jajan di rumah."
"Em, makasih Yu–"
"Bukan kamu, Eli."
Gadis berkacamata itu baru sadar kalau senyum lebar tadi ditujukan untuk Kala, dan hanya Kala seorang.
"Oh."
Maka ditariknya Kala sekali lagi, kali ini dengan energi yang lebih dari cukup untuk memaksa pria tinggi itu melangkah kembali masuk ke rumah bersamanya. "Kamu jangan ke rumahnya. Jangan pernah bicara dengannya juga. Pokoknya jangan dekat-dekat dia. Bahay."
Namun, Kala masih memandangnya bingung. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Woi," Elio menjentikkan jarinya tepat di depan wajah melongo itu. "Kamu hilang ingatan lagi?"
Kala mengerjap. "Kamu kenapa ada di sini?"
Ganti Elio yang mengernyit keheranan. "Hentikan aktingmu. Itu tidak lucu."
Pria aneh itu malah menengok kanan kiri, mataya gelayapan seperti mencari sesuatu. Perlahan kakinya mundur ke belakang dan Elio cepat-cepat menariknya kembali.
"Cepat mandi, kau harus menemaniku kondangan," Elio mendorongnya menuju kamar mandi yang letaknya dekat dapur.
"Tu- tunggu dulu! Tunggu!" Kala melawan. Dasarnya memang lebih besar dan pastinya lebih kuat, Elio terpaksa berhenti. "Sira, kamu beneran anaknya Pak Ilyas dan Bu Asih?"
"Berhenti lupa ingatan. Aku ndak mau dengar lagi, pokoknya cepat mandi."
Elio menunjuk pintu kamar mandi yang terbuka. Gadis berkacamata itu kemudian mendorong setumpuk pakaian ganti yang dirampoknya dari lemari sang kakak yang sedang merantau.
"Tapi–"
"Kita berangkat lima belas menit lagi."
Pintu kamar mandi ditutup paksa dengan Kala yang terjebak di dalamnya.
Elio mengerti kenapa Kala menolak. Dia sendiri pun sebenarnya sudah menyuarakan protes berkali-kali, namun ayah dan ibunya – terutama ibunya, yang juga bisa dibilang sebagai biang kerok permasalahan ini – mengharuskan Elio untuk pergi ke resepsi pernikahan Rani.
Keengganan Elio bukannya tidak berdasar. Jelas sekali, selalu ada latar belakang dalam setiap tindakan yang dia ambil. Dalam kasus ini, penyebab utama Elio enggan datang adalah karena si pemilik hajat itu sendiri.
Rani adalah mantan sahabat Elio semasa SD. Dia tinggal di desa sebelah, kira-kira butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke rumahnya dengan mengayuh sepeda. Dia sering mampir ke rumah Rani sepulang sekolah. Kalau libur, mereka gantian mengunjungi rumah.
Untuk makan dan tidur di rumah Rani pun bukan suatu hal yang asing bagi Elio. Bahkan, ibu Rani berkata bahwa dia seperti punya dua anak perempuan karenanya.
Namun, itu dulu. Sekarang beda lagi ceritanya.
"Tidak ada pakaian lain?"
Suara Kala yang terdengar jelas membuyarkan lamunan Elio. Pria aneh itu keluar kamar mandi memakai pakaian kakaknya. Alhasil, celana jeans itu hanya sampai di atas mata kaki saja. Kemeja batik dengan lengan pendek itu juga terlihat terlalu kecil untuknya.
"Ndak ada," ketus Elio. "Makanya kalau bepergian itu bawa barang. Apa-apanya disiapkan dulu. Salah sendiri."
Gadis berkacamata itu terdengar seperti ibunya.
Kala cemberut, dengan bibir yang kembali dimonyongkan. "Nggak perlu sinis gitu juga jawabnya."
"Ish, ini juga gara-gara kamu," Elio menuduh. "Kalau kamu langsung menyangkal tuduhan Yu Ratih dan tidak senyam-senyum ndak jelas, aku ndak akan terpaksa kondangan sama kamu."
"Hah? Gimana mau menyangkal, kalau ibu-ibu di sini bicaranya pakai bahasa aneh? Aku asal senyum biar tidak dikira sombong."
Elio menaikkan alis. Ternyata itu masalahnya. Pantas saja Yu Ratih menyandang gelar sebagai pelopor gosip nomor satu di kampung. Janda beranak satu itu berhasil menyerang Kala dengan cercaan berbahasa Jawa, tahu betul kalau pria ini berasal dari Jakarta dan tidak mengerti bahasa daerah.
"Ya sudah lah, kita berangkat sekarang."
"Eh? Kita kemana? Kondangan?"
"Aku juga tidak mau kondangan sama kamu, tapi ibu terlanjur bilang kalau kita akan ke resepsi nikahannya Rani. Tidak ada pilihan lain."
Elio beralih mencari kunci kontak motor. Biasanya digantung di dinding dapur, tapi tidak ada. "Kamu lihat kunci motor?"
"Motornya dibawa Pak Ilyas. Katanya mau keluar sebentar sama Bu Asih."
Gadis berkacamata itu mendecih. Pantas saja rumah ini sepi. Ternyata pasangan suami istri paruh baya itu keluar untuk kencan. Pandangannya kemudian tertuju pada pria aneh yang telah resmi menjadi benalu rumah ini untuk satu minggu ke depan. Sesuai kesepakatan rapat dadakan mereka bertiga tadi pagi.
"Kamu tahu sisir ndak sih?"
"Tahu."
"Terus kenapa itu rambut dibiarkan jadi sarang burung?"
"Mana sisirnya?"
Elio ingin menepuk jidat. Tentu saja dia tidak memiliki sisir. Kenapa dia yang jadi pelupa sekarang?
Gadis berkacamata itu bangkit dari sofa ruang tamu, menuju kamar kakaknya untuk meminjam sisir rambut. Ketika dia kembali, terdengar suara motor yang berhenti di depan rumah.
"Sudah mau berangkat?" Tanya ibu Elio yang menenteng satu plastik hitam yang entah berisi apa. "Ih, Kala kok pakai baju itu? Ganti!"
"Hah? Kenapa memangnya?" Elio mewakili bertanya.
"Itu kekecilan Eli," tegas ibunya yang meletakkan plastik itu di meja dapur. Wanita paruh baya dengan rambut yang dikepang satu itu bergegas ke kamar utama. "Nanti kalau dia membungkuk, langsung kelihatan kolornya gimana?"
Elio terkesiap mendengar penjelasan ibunya yang memang agak jarang disaring. "Mamak kok bisa ngomong gitu sih? Malu-maluin!"
Kala yang menjadi objek pembicaraan pun langsung menarik kemeja batik kekecilan yang dikenakannya. Niatnya menutupi jika memang celana dalamnya kelihatan. Untungnya tidak. Namun, skenario yang diibaratkan Asih memang mungkin terjadi.
"Cepat ganti yang ini."
Kala mengambil kemeja yang disodorkan ibu Elio. Warnanya krem, mungkin tiga kali lebih besar dari kemeja batik yang dikenakannya. Setelah ganti di kamar mandi, pria aneh itu keluar, kali ini memakai baju yang memang kedodoran. Mau bagaimana lagi, Ilyas memang tidak terlalu tinggi, namun perutnya maju bagai wanita hamil tujuh bulan.
Ibunya mengangguk setuju pada penampilan baru Kala. "Lebih baik mirip orang-orangan sawah daripada kolornya kelihatan."
"Benar itu, daripada kalian malu sendiri," ayah Elio ikut menyahut dari teras. Pria berperut tambun itu hampir tidak terlihat karena menggotong dua kardus mie instan dan sabun cuci piring. Tentu saja isinya lain dari kemasan. "Kuncinya masih di motor, langsung berangkat sana."
Elio mengiyakan, memakai helm dan menunggu Kala untuk segera menaiki motor. Namun, pria itu malah berdiri mematung. Matanya menatap Elio penuh makna.
"Jangan bilang kamu tidak bisa mengendarai motor?"
Kala hanya terdiam.
Jawaban itu sudah cukup untuk membuat si gadis berkacamata menghela napas kesal.