"Nak, kalian gapapa? Koq Ibu denger sekilas kalian sedang ribut?" Teriak Wesnari dari balik pintu.
"Tuh kan kamu sih berisik!" Ilene berbisik dengan nada kesal.
Darrel melotot, tidak terima bahwa ia yang menjadi pihak yang disalahkan, "Kenapa jadi aku yang salah?"
Ilene tidak menanggapi perkataan Darrel, ia memilih bangkit berdiri membuka pintu kamar itu sebelum ibunya berpikir macam-macam.
"Kalian tidak apa-apa kan? Koq tadi ibu denger kalian meributkan soal batas? Batas apa sih?" Berondong ibunya sesaat setelah pintu itu terbuka seluruhnya. Ia menelisik ke seluruh isi kamar, memandang ke arah Darrel dan Ilene bergantian.
Ilene memasang senyuman canggung dihadapan Wesnari, "Gak ko Bu, kami gak ribut. Tadi itu kami cuma bercanda. Iya kan Mas?" Tanya Ilene pada Darrel. Ia mengedipkan sebelah mata, meminta Darrel untuk bekerja sama.
Darrel ikut tersenyum, "Iya Bu, mungkin ibu salah denger tadi. Saya bilang tadi, aku akan balas kamu bukan batas. Tidak ada yang berkata seperti itu, Bu," jelas Darrel.
Bu Wesnari memasang wajah tidak yakin, ia menatap Ilene dan Darrel kembali. "Masa sih Ibu salah dengar?" gumamnya lebih kepada dirinya sendiri. Masih meragukan pernyataan mereka berdua.
Ilene menggigit bibir, ia lupa bahwa ibunya terkadang memiliki naluri yang kuat soal dirinya. Jantungnya berdebar kencang kembali, bagaimana jika ibunya mencurigai sesuatu?
Ilene melirik Darrel sekilas, meminta pertolongan. Darrel sepertinya mengerti karena detik berikutnya pria itu bangkit lalu mendekat padanya.
Ilene terkejut saat tiba-tiba Darrel menarik tubuhnya lalu memeluknya dari arah samping, "Nah kami masih mesra kan Bu?" Seloroh pria itu dengan senyum lebar.
Ilene terperangah, ia tidak menyangka Darrel akan kembali memeluknya seperti saat siang tadi. Meski ia terkejut setengah mati dia mencoba memasang senyuman lebar di depan ibunya. "Iya Bu. Kami gak ribut koq," tambahnya mencoba meyakinkan ibunya lagi.
Bu Wesnari terkekeh lalu kemudian mengangguk, "Iya iya ibu percaya. Kalian seneng banget ngumbar kemesraan begitu. Ya sudah, Ibu kembali ke kamar lagi takut Bapak nyariin,"
Ilene dan Darrel hanya tersenyum sambil mempertahankan posisi itu hingga Bu Wesnari hilang dari pandangan.
Saat pintu kamar sebelahnya telah ditutup, Darrel dan Ilene segera memisahkan diri dengan cepat. Ilene bahkan hampir terjengkang karena Darrel mendorongnya kuat.
Darrel hanya berdeham melihat Ilene menatapnya tajam. Pria itu berbalik, kembali ke arah ranjang mereka.
"Sebaiknya kita segera tidur, bersandiwara itu membutuhkan energi ekstra,"
Ilene mendengus melihat Darrel yang malah berbaring dengan santainya di atas ranjang. Harga diri pria itu terlalu tinggi untuk sekedar meminta maaf.
Ilene memutuskan mengikuti langkah Darrel. Darrel memang ada benarnya, bersandiwara ternyata butuh energi ekstra. Apalagi disaat hati mereka sama-sama masih dilanda kemarahan.
Hatinya kembali terusik, sebenarnya apa istimewanya seorang Melinda di kehidupan suaminya? Tiba-tiba ia teringat kertas yang diberikan oleh Mama Tiana beberapa hari yang lalu. Kertas yang terlupakan karena Ilene terlalu sibuk oleh pertengkarannya dengan Darrel yang tidak juga berakhir. Panti Asuhan Harapan Bunda, benar. Setelah kunjungan orang tuanya selesai, Ilene akan mengunjungi panti asuhan itu.
****
"Biar Ilene bantu bereskan Bu," ujar Ilene saat melihat Wesnari tengah melipat beberapa pakaian ke dalam tas yang ia bawa.
Wesnari mengangguk membiarkan putrinya masuk, namun saat Ilene akan membantunya, sang ibu tiba-tiba menarik tangan putrinya lembut.
"Nak, kamu baik-baik aja kan disini? Kamu bahagia kan?"
Ilene terhenyak, netra ibunya yang penuh kelembutan menatapnya tajam, menuntut suatu jawaban. Ilene selalu merasa kecil jika ditatap seperti itu. Ia menggigit bibirnya dengan gugup. Kenapa ibunya bertanya tentang hal aneh? Apa ibunya tahu sesuatu?
"Aku bahagia ko Bu,"
"Kamu gak bohong kan sama Ibu?" Lagi. Ibunya bertanya sesuatu hal yang sulit ia jawab. Ilene menghela nafasnya, sekuat itukah naluri seorang ibu?
"Bu, Ilene gapapa. Ilene seneng sudah menikah sama Mas Darrel. Mas Darrel baik ko sama Ilene," ujarnya meyakinkan.
Namun ibunya menggenggam tangan Ilene erat, seolah memberi kekuatan untuk putrinya, "Nak, Ibu dan Bapak selalu ada untuk kamu. Ibu selalu berharap kamu bahagia dimanapun kamu berada. Seberat apapun masalah yang sedang kalian berdua hadapi, ibu selalu berharap kalian tidak memutuskan suatu hal yang akan kalian sesali nantinya. Tadi ibu melihat baju Darrel yang tertinggal di kamar ini."
Ilene tercengang lalu melirik ke arah baju Darrel yang masih tersangkut di balik pintu. Karena terlalu panik orang tuanya akan berkunjung mendadak, ia tidak sempat membereskan kamar ini dengan benar. Ilene tidak menyangka ibunya dapat menyimpulkan pernikahan mereka sedang terkena masalah hanya dari baju Darrel yang tertinggal disini.
"Ibu gak minta kamu untuk bercerita, Ibu paham aib rumah tangga tidak harus diberitakan pada orang luar, tapi jika kamu merasa sudah tidak sanggup menghadapinya, kamu bisa kembali pada Ibu untuk sementara."
Netra Ilene membasah mendengar perkataan ibunya, ia mengangguk membiarkan ibunya mengetahui kerapuhan dirinya. Ibunya segera memeluk tubuh itu lalu mengusap-usap punggung Ilene lembut.
"Kamu kuat,"
Ilene mengangguk kembali sambil terisak pelan. Ternyata usaha mereka bersandiwara tidak cukup untuk melawan firasat ibunya. Ia memang tidak pandai menutupi sesuatu dari ibunya.
"Bu, sudah beres-beresnya? Lho koq malah pelukan?"
Ilene tersentak saat mendengar suara ayahnya menginterupsi di depan pintu. Dengan cepat Ilene mengusap seluruh air matanya lalu mengurai pelukan mereka.
"Kamu nangis, Nak?" Tanya Ayahnya heran melihat seluruh wajah Ilene yang memerah.
Ilene segera menggeleng cepat, "Ah, tidak. Ilene cuma sedih aja pisah lagi sama Ibu," kilahnya cepat.
"Ya ampun Nak, Bapak kira kenapa. Kamu kan bisa ke rumah kami kapan saja, iya kan Nak Darrel?"
Ayahnya melirik ke arah Darrel yang ikut menyusul di belakangnya. Mendengar ucapan ayah mertuanya, Darrel mengangguk.
"Iya Pak,"
"Yaudah ayo pak, keburu siang. Nak Darrel kan mau berangkat ke kantor,"
Ilene berterima kasih kepada Ibunya yang telah mengalihkan pembicaraan mereka. Ayahnya mengangguk lalu mengambil alih barang yang Bu Wesnari bawa. Darrel yang melihat hal itu segera sigap mengambil barang yang lain.
Mereka segera berjalan ke arah depan. Darrel memasukkan semua barang ke bagasi mobil, sementara Ilene berpamitan kepada kedua orang tuanya.
"Ingat pesan Ibu,"
Sekali lagi Ilene mengangguk mendengar perkataan ibunya. Ia bersyukur karena ibunya memahami keadaannya dan tidak memaksanya untuk bercerita. Ia tidak ingin ibunya tahu bahwa kondisi pernikahannya lebih parah dari yang Beliau kira.
Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya lalu ibunya segera masuk ke mobil Darrel.
Ilene hanya terdiam hingga mobil itu hilang dari pandangan. Ucapan ibunya kembali terngiang di telinganya.
"Kamu bisa kembali kepada Ibu untuk sementara,"
Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Ia memang ingin melarikan diri dari sini, tapi apakah Darrel akan mencarinya jika ia melakukan itu?