"Ah tidak, tadi Mama telepon, biasa soal Helen," ujar Melinda dengan gugup.
Melinda menggigit bibir, menunggu tanggapan dari Darrel. Pria itu masih menatapnya ragu membuat Melinda merasa sangat gugup.
"Ah, ya sudah. Aku ngantuk sekali jadi aku akan kembali tidur," sahut Darrel.
Melinda hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Melinda menghela nafas lega saat pria itu kembali berbaring lalu menutup matanya. Bagus, Darrel tidak mencurigai apapun.
Ia kembali menyimpan ponsel Darrel di nakas sambil tersenyum lebar. Besok pasti akan terjadi perang dunia ketiga setelah ini.
****
Pagi-pagi sekali Darrel kembali ke rumahnya. Ia menenteng jasnya lalu melempar sepatunya sembarangan. Darrel memicingkan matanya saat melihat tubuh Ilene yang terbaring di ruang tamu. Hatinya terenyuh melihat kondisi Ilene yang terlihat menyedihkan. Ya Tuhan, apa Ilene menunggu kedatangannya hingga tertidur di tempat seperti ini?
Ia mendekati tubuh Ilene lalu menunduk di depannya. Darrel menatap wajah Ilene yang terlelap. Ada sisa-sisa butir kristal yang mengilap di sekitar netranya. Sebentar, apa ini air mata? Apa Ilene kembali menangis semalam karena ia tidak pulang?
Mata Ilene membengkak, sepertinya Ilene cukup lama menangis. Seketika rasa bersalah menelusup di dalam benak Darrel. Apa ia terlalu kejam memberi hukuman seperti ini?
Darrel segera berlutut, ia menelusupkan tangannya ke kaki dan punggung Ilene. Dengan sekuat tenaga Darrel mengangkat tubuh Ilene. Terlihat Ilene bergerak dengan gelisah di pangkuannya. Darrel memelankan seluruh gerakannya agar Ilene tidak merasa terganggu. Sepertinya Ilene sangat kelelahan karena ia kembali tertidur dengan damai setelahnya. Perlahan tapi pasti Darrel membawa tubuh Ilene lalu merebahkannya ke atas ranjang.
Dengan lembut, ia mengusap rambut Ilene lalu menatap Ilene dengan tatapan menyesal.
"Maafkan aku, Ilene," gumamnya pelan.
****
Ilene terkejut saat ia terbangun di ranjang tempat tidurnya. Seingatnya semalam ia kelelahan menangis lalu tertidur di sofa. Lalu bagaimana caranya dia sudah berada disini?
Ilene terlonjak lalu berdiri. Darrel pasti sudah pulang dan mengangkatnya tubuhnya tadi. Kenapa ia tidak sadar akan hal itu? Ilene memijit keningnya, ia pasti kelelahan karena tidak tidur hampir semalaman.
Ilene bergerak ke arah kamar mandi, ia terkejut saat samar-samar mendengar suara di area dapurnya. Siapa itu?
"Mas?"
Ilene terkejut saat melihat Darrel berdiri disana dengan celemek menempel di pinggangnya. Ia mengangkat alisnya heran, apa yang sedang ia lakukan?
"Sudah bangun?"
Mata Ilene membulat sempurna saat melihat hidangan sederhana telah tersaji di atas meja,
"Kamu masak?" Tanya Ilene tidak percaya.
Darrel menggangguk, "Cobalah," perintahnya tanpa basa basi lalu menggeser piring sajian itu ke arah Ilene.
Ilene menatap ragu kepada masakan itu, "Itu bisa dimakan?"
Darrel berdecak mendengar pertanyaan Ilene, "Kalau tidak mau ya sudah," balasnya kesal lalu menarik kembali piring itu.
Ilene menahan tangan Darrel, "Aku akan cuci muka dulu,"
Setelah ia kembali dari kamar mandi, Ilene masih menatap Darrel terheran-heran. Melihat seorang pria memasak merupakan peristiwa yang langka, apalagi pria seperti Darrel rasanya itu tidak mungkin.
"Kau masih meragukan makanan yang ku masak?" ujar Darrel.
Ilene tersentak mendengar ucapan Darrel, ia kemudian menggeleng cepat, "Tidak,"
"Coba dulu, jangan melihat dari tampilannya yang kurang menarik, aku bisa pastikan itu bisa dimakan," tambah Darrel lagi.
Ilene menurut, ia segera mengambil sendok yang berada di pinggir piring, ia menyendok sedikit makanan itu lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Mata Ilene melebar saat merasakannya, ternyata lidahnya menyukai rasa makanan ini.
"Ini tidak buruk," komentar Ilene.
Darrel tersenyum dengan bangga lalu ikut duduk di depan Ilene.
"Aku sudah bilang itu bisa dimakan,"
Ilene hanya mengerucutkan bibir mendengar ucapan Darrel. Namun kemudian ia memilih menyendok sarapannya kembali.
"Aku tidak tahu kamu bisa memasak, Mas,"
"Aku diajarkan sewaktu masih di panti lalu terbawa hingga aku dewasa. Kau tahu Mama Tiana sangat sibuk dengan bisnis fashionnya kala itu,"
Ilene hanya mengangguk mendengarkan kembali menikmati makanannya. Semalam ia sama sekali tidak memasukkan apapun ke perutnya, wajar jika ia kelaparan.
"Kenapa kamu tidur di sofa, Ilene?" Tanya Darrel.
Ilene menengadahkan wajah saat Darrel mulai menanyakan topik yang sensitif. Makanan yang sedang ia kunyah seketika kehilangan rasa. Nyeri yang ia rasakan kembali di dadanya. Kenapa Darrel harus menanyakan alasannya? Bukankah sudah jelas bahwa ia seperti itu karena ulah Darrel?
"Aku menunggumu lalu ketiduran disana, Mas. Bukankah sudah jelas?" ucap Ilene getir.
Darrel menyimpan alat makannya lalu menghela nafas panjang, "Kenapa kau harus menungguku, Ilene?"
Hati Ilene merasa terluka mendengarnya. Kenapa? Apa baru saja Darrel menanyakan alasan kenapa ia menunggu suaminya sendiri?
"Karena aku istri kamu, Mas. Sudah tugas dan kewajiban seorang istri menunggui suaminya pulang. Tapi sayang sekali, sang suami tidak mengerti dan malah menghabiskan malamnya bersama perempuan lain," Sindir Ilene pedas. Seketika ia merasa kehilangan selera makannya. Hatinya terus berdenyut nyeri, kenapa Darrel sekejam ini padanya?
"Kau tahu darimana aku bersama Melinda semalam?"
Ilene menghela nafas kasar, "Apa kamu tidak mengecek ponselmu, Mas? Aku menelepon kamu berkali-kali semalam dan Melinda yang menjawabnya, dia bilang kamu kelelahan di sampingnya entah apa yang sudah kalian lakukan sebenarmya hingga kamu sangat kelelahan,"
Darrel mendesah karena lagi-lagi Melinda menyentuh ponselnya sembarangan, "Kami tidak melakukan apa-apa, Ilene," tekannya sebagai jawaban.
Ilene mendengus, "Kamu pikir aku percaya soal itu Mas? Bagaimana mungkin seorang pria dan wanita berada dalam satu ruangan, tapi tidak melakukan apapun?"
Darrel menatap jengah pada Ilene, "Apa kamu lupa? Satu minggu pernikahan kita berlangsung aku tidak pernah menyentuhmu, sudah jelas bahwa kondisiku berbeda dengan pria lain. Kenapa kamu harus mengungkitnya?" ujar Darrel tersinggung.
Ilene kembali mendengus kasar, "Mungkin benar jika aku yang berada di posisi itu. Tapi akan berbeda jika wanita itu adalah Melinda,"
"Apanya yang berbeda?"
"Ketika kita melakukan malam pertama apa kamu sadar siapa yang kamu sebut, Mas?" Ilene kembali berkata dengan nada getir. Air mata sudah kembali menggenang, namun Ilene berkeras diri untuk menahannya. Ia tidak boleh menangis sekarang, tidak saat Darrel masih di depannya.
Darrel terdiam, sepertinya pria itu menyadari apa maksud Ilene dan enggan membahasnya. Namun Ilene tidak ingin berhenti, ia tetap akan membeberkan faktanya meski itu hanya membuat hatinya semakin sakit.
"Kamu menyebut nama Melinda, Mas! Saat kita melakukan itu, saat aku telah usai melaksanakan kewajibanku, sulit dipercaya kamu malah memanggil nama wanita lain,"
"Dan kamu masih mengelak kamu tidak menginginkannya, Mas?" tambah Ilene pahit.
Ilene menghela nafas panjang, mencoba meredakan sesak yang kembali menghantam dadanya. Seluruh kekuatannya kembali lenyap saat mendapati Darrel kembali menutup mulut dengan wajah kebingungan.
Entah mana yang lebih baik baginya. Walaupun Darrel membuka suara, ia tidak yakin itu akan membuat perasannya lebih baik. Kali ini Ilene yang memilih beranjak, ia tidak sanggup menatap wajah Darrel untuk sementara. Ia harus mengatur kembali perasaan hatinya yang kembali berantakan.