"Len?"
"Len? Are you okay?"
"Hm?"
Ilene tersentak saat mendengar panggilan Rean yang berada di sampingnya beberapa kali. Karena terlalu memikirkan masalahnya, ia lupa akan kehadiran Rean disana.
"Loe masih disini kan?"
"Re, sorry," ujar Ilene menyesal. Ia tersenyum meminta maaf.
"No, jangan minta maaf. Gue tanya tadi loe baik-baik aja kan?" Tanya Rean, memperlihatkan raut wajah cemas yang bukan sekedar simpati.
Tatapan Rean yang teduh membuat perasaan Ilene seketika menghangat. Kepedulian yang ditunjukkan Rean membuat Ilene sedikit lebih baik, "I'm okay Re. Setidaknya untuk saat ini,"
"Loe yakin?"
Ilene menganggukkan kepalanya tanpa ragu.
Rean terlihat masih meragukan pernyataan Ilene, "Gimana kalau kita makan dulu?" Tawar Rean, mencoba melemaskan pemikiran Ilene terlebih dulu.
Ilene menimbang-nimbang tawaran Rean lalu mengangguk. Mereka belum memasukkan apapun ke dalam perut mereka sedari tadi, Rean juga pasti butuh energi extra untuk mengemudi selama beberapa jam ke depan. Tentu saja Ilene juga membutuhkannya, meski ia merasa malas memasukkan sesuatu ke mulutnya, tubuhnya memerlukan suatu asupan energi.
"Loe mau makan apa?" Tanya Rean.
Ilene hanya mengangkat bahu, "Gue akan makan apapun makanan yang loe mau, Re," sahut Ilene sebagai jawaban.
"Loe tahu gue bukan tipe pemilih makanan, bukan?"
Ilene hanya tersenyum kecil mendengarnya, "Iya Re, gue tahu. Loe nyindir gue karena gue yang pemilih?"
Rean segera menggeleng, mengelak perkataan Ilene. "Ah, tidak, tapi karena loe ngomong begitu, gue jadi tahu kemana kita harus pergi,"
Ilene mengangkat alisnya mendengar perkataan Rean. Namun, Rean sepertinya enggan memberi tahu lebih lanjut, pria itu terus melajukan kendaraan roda empatnya tanpa berkata apapun lagi pada Ilene.
****
"Re? Tempat ini?"
Ilene terperangah melihat lokasi dimana mobil Rean akhirnya berhenti. Ia melirik ke arah Rean tidak percaya.
Rean menyunggingkan bibirnya ke atas, "Tempat favorit loe kan?" Tebak Rean.
Ilene terkekeh mendengar ucapan Rean, ia tidak menyangka jika Rean masih mengingat tempat ini, tempat dimana dahulu mereka sering menghabiskan waktu bersama.
"Padahal kita gak perlu kesini Re," ucap Ilene merasa tidak enak. Restoran ini memiliki jarak tempuh yang cukup jauh dari tempat tinggal Rean sekarang.
"Gak apa-apa Len, bukannya loe masih menjadi si pemilih makanan?" goda Darrel. Darrel mengusap-usap perutnya, pria yang tidak ingin membiarkan Ilene kembali menolak permintaannya itu akhirnya memilih menarik tangan Ilene dengan sebelah tangan lainnya, "Ayo masuk, gue laper,"
Ilene akhirnya menyerah, membiarkan Rean menuntunnya masuk ke restoran itu.
****
"Gue ga nyangka rasa masakannya ga berubah," ujar Ilene merasa puas setelah keluar dari restoran. Mereka terkekeh berdua.
"Masih enak kan?"
Ilene mengangguk, "Pedagangnya bahkan sampai ngira kita sudah jadi suami istri sekarang,"
Rean seketika berhenti tertawa saat mendengar ucapan Ilene. Ilene yang sadar ada yang salah di dalam gurauannya seketika menutup mulut.
Ilene merutuki dirinya, kenapa ia bisa salah bicara sekarang?
"Gimana? Sekarang udah lebih baik?"
Ilene menghela nafas lega karena Rean tidak melanjutkan gurauan mereka. Sepertinya itu memang hal yang sensitif diantara mereka berdua.
"Udah udah, thanks ya Re," ujar Ilene tulus sambil tersenyum.
"Yuk, gue anter loe pulang,"
"Loe ga mau nanya2 apa Re?" Tanya Ilene heran karena Rean sama sekali tidak membahas apapun soal kepergian mereka ini.
Rean termenung mendengar pertanyaan Ilene, sejenak pria itu terdiam seperti berpikir, "Itu urusan kalian, gue orang luar gak berhak mencampurinya. Kalau loe gamau cerita, ya gapapa. Gue gak akan maksa," sahut Rean bijak.
Ilene tersenyum, merasa bersyukur karena Rean masih bijak seperti biasanya.
****
"Nah, udah sampe!" ujar Rean saat mereka telah sampai di depan rumah Ilene.
"Thanks ya Re hari ini. Gue ga tau kalau gak ada loe gimana,"
Kembali Ilene mengucapkan rasa terimakasihnya. Rean sudah membuat hari ini terasa lebih baik, setidaknya untuk beberapa menit hari ini.
"Sama-sama Len,"
Ilene segera melepas seatbeltnya lalu keluar dari mobil Rean.
"Len?"
Ilene kembali berbalik saat Rean tiba-tiba memanggilnya kembali. Ia mengangkat alisnya saat Rean memilih keluar dari mobil lalu berjalan menghampirinya. Ada apa lagi?
"Ada satu hal lagi yang mau gue omongin,"
"Ah, ya. Kenapa?" Tanya Ilene penasaran.
Rean tiba-tiba menyentuh kedua bahunya lalu memberikan tatapan dalam untuknya. Seketika Ilene tertegun, tatapan lembut dari Rean selalu menenangkan. Dalam sesaat, ia ingin tenggelam dalam tatapan itu. Ilene tahu ada kepedulian yang dalam disana, seandainya yang menatapnya seperti ini adalah Darrel. Ilene menggelengkan kepalanya cepat, fokus Ilene Maharani.
"Gue selalu berharap loe bahagia. Loe harus tahu gue akan selalu ada buat loe,"
Kembali Ilene terhenyak dengan perhatian Rean, hatinya berdesir. Kenapa harus pria ini yang memperhatikannya? Kenapa pria ini yang baik kepadanya? Bukan Darrel?
"Ilene!"
Kedua insan itu seketika berbalik saat mendengar suara di belakang mereka. Ilene tersentak saat melihat Darrel berdiri disana dengan wajah murka.
Mata Ilene melebar saat melihat Darrel seketika berjalan ke arah mereka lalu menarik tubuh Ilene menjauh dari Rean.
"Apa yang Anda lakukan dengan istri orang lain? Huh?" serang Darrel.
Rean terkejut saat mendengar penuturan Darrel, begitu juga Ilene yang tidak menyangka Darrel akan marah seperti ini.
"Sebentar Mas. Ini Rean, dia teman aku," ujar Ilene menjelaskan.
Ilene segera menahan dada Darrel, mencoba meredakan emosi yang tercetak jelas di wajah pria itu. Ia tidak ingin terjadi keributan disini hanya karena masalah sepele.
"Ayo masuk kamu!"
Darrel menarik tangan Ilene kasar. Ilene meringis merasakan pergelangan tangannya yang perih akibat cekalan Darrel.
Rean yang melihatnya terlihat tidak begitu senang, pria itu segera menahan tangan Darrel.
"Maaf, tapi Anda tidak boleh kasar pada perempuan sekalipun itu istri Anda." sergah Rean.
Darrel mulai terusik, ia memberi tatapan tajam pada Rean, entah kenapa ia tidak senang melihat Rean yang terkesan peduli pada Ilene. Darrel menghela nafasnya kasar, mencoba meredakan emosi yang menggelegak di dalam dadanya.
"Re, sudah. Sebaiknya loe pulang," ucap Ilene merasakan ketegangan diantara mereka sudah mencapai level tinggi.
Ilene mengalihkan tatapannya pada Darrel, "Aku akan masuk,"
Darrel akhirnya menyerah, memilih mengikuti Ilene kembali ke rumah mereka. Darrel tidak ingin Ilene tahu bahwa ia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Rean disana.
Rean menatap dua manusia yang tengah berbalik itu dengan perasaan tak menentu. Perasaannya seolah tergelitik melihat kehidupan Ilene Maharani sekarang. Ternyata hidup Ilene tidak sebahagia yang seperti ia pikirkan. Ternyata pria yang menikahi gadis itu tidak mencintainya sedalam ia menyayangi gadis itu. Ada rasa keegoisan yang mulai kembali muncul disana. Apa jadinya jika ia berniat merebut kembali hati gadis itu? Apa semuanya akan berbeda? Apa Ilene akan menerima kembali perasaannya yang masih begitu besar pada gadis itu?