"Bagaimana sudah baikkan?"
Tanya Darrel pada Melinda. Tangan besarnya masih menggenggam tangan Melinda dengan erat. Entah kenapa ia takut, ia takut Melinda berpikir untuk pergi darinya seperti tadi.
"Sudah lebih baik jika kamu ada di sampingku, Darrel," sahut gadis itu manja.
Darrel hanya tersenyum lalu membenarkan anak rambut Melinda yang berantakan dengan penuh kelembutan. "Jangan pernah berpikir untuk pergi dariku lagi, Kak," pinta Darrel setengah memohon. Entah apa yang akan ia lakukan jika Melinda tidak ada disini. Melinda adalah penyelamat jiwanya, ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri jika Melinda pergi lagi dari kehidupannya.
"Aku mengerti, Darrel. Maafkan aku," balas Melinda.
Genggaman erat tangan mereka semakin menguat seolah-olah ada lem yang menjadi perekat disana,
"Jadi kamu tidak akan pulang hari ini?" Tanya Darrel untuk kesekian kalinya pada Melinda.
Melinda menggeleng lemah, menampilkan wajah yang tak berdaya, "Aku terlalu takut untuk pulang. Lagipula Helen sedang berada di rumah neneknya. Jika tidak ada Helen, Bram akan lebih beringas dari biasanya, aku takut Darrel," ujar Melinda sambil bergidik ngeri.
Darrel mengerti. Ia menatap kedua mata Melinda dalam, "Kalau begitu aku akan menemanimu,"
Mata Melinda melebar menatap Darrel tak percaya, "Benarkah itu, Darrel? Kau juga tidak akan pulang hari ini?"
Darrel menganggukkan kepalanya yakin, "Ya."
Melinda terkejut, ia menatap Darrel seolah-olah wanita itu kebingungan, "Lalu bagaimana dengan istrimu? Dia pasti akan marah jika mengetahuinya,"
Darrel meletakkan kepalanya di tumpuan kursi, ia menatap langit-langit. Bayangan Ilene bersama Rean kembali memenuhi tempurung kepalanya, "Biar saja. Anggap saja itu suatu hukuman,"
Alis mata Melinda terangkat mendengar penuturan Darrel, "Hukuman?"
Melihat Melinda yang semakin kebingungan, Darrel kembali membetulkan posisi duduknya, "Tidak, tidak apa-apa."
Ia mengangkat tangannya lalu memandang benda yang mengikat pergelangan tangannya.
"Tunggulah sebentar lagi, jam kerjaku akan berakhir lima belas menit lagi. Kita bisa ke apartemenku setelah ini,"
Melinda mengangguk, ia tersenyum lebar kemudian melemparkan dirinya ke dada bidang Darrel, "Terimakasih Darrel, kau selalu ada untukku,"
Darrel kembali mengusap kepala Melinda dengan sayang, "Apapun akan aku lakukan untuk kamu,"
****
Untuk kesekian kalinya Ilene menengok kembali ke arah halaman depan dengan gelisah. Tubuhnya tidak mau diam bergerak kesana kemari untuk memeriksa tempat itu. Halaman depan itu terlihat sunyi senyap tanpa ada tanda-tanda kehadiran kendaraan Darrel yang melintas disana. Ini sudah hampir pukul tujuh malam, namun entah kenapa Darrel belum juga tiba.
Ia melirik ke arah makanan yang sudah mendingin di meja. Apa Darrel sangat marah kepadanya hingga memilih pulang terlambat?
Kembali Ilene menatap ponselnya dengan bimbang, apa dia harus menelepon Darrel? Ilene menggeleng lemah. Tidak, mereka sedang menggelar perang dingin dan Ilene tidak akan memulai percakapan dengan pria itu setelah kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya kemarin.
Ilene menghela nafasnya panjang mencoba menghibur hatinya bahwa mungkin Darrel sedang meeting mendadak atau ada hal yang mendesak di kantornya yang tidak bisa ditunda sehingga ia pulang terlambat. Bukan sekali dua kali Darrel tidak mengabarinya seperti ini. Ini bukan hal yang baru baginya, tapi kenapa ia terus merasa cemas? Apa karena ia merasa bersalah sudah membangkang terhadap suaminya?
Tapi hingga tengah malam menjelang, Darrel tidak muncul di rumah mereka. Kecemasan Ilene semakin menjadi, ia berjalan kesana kemari dengan gelisah. Ilene kembali melirik ponselnya yang masih betah berdiam diri. Bahkan Darrel tidak mengabarinya. Kenapa Darrel tidak kunjung pulang? Apa Darrel sangat marah kepadanya hingga pria itu merasa enggan untuk kembali ke rumah ini?
Akhirnya Ilene memilih menyerah pada egonya, ia menghampiri ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu mengangkat benda itu.
Dengan satu sentuhan, Ilene menyambungkan panggilannya ke nomor Darrel. Nada sambung panjang terdengar dari balik ponselnya. Ilene mendesah karena Darrel tidak menjawab panggilan itu. Kenapa Darrel tidak mengangkat teleponnya? Rasa takut mulai menjalar ke sanubarinya. Apa telah terjadi sesuatu pada Darrel?
Ilene kembali menyentuh nomor Darrel lalu memanggilnya. Ilene kembali menunggu dengan sabar, namun saat panggilan itu terjawab, jantungnya terasa berhenti. Bukan suara Darrel yang menjawabnya melainkan suara Melinda.
"Ya? Oh Ilene, maaf jika aku yang menjawabnya, Darrel sedang tidur pulas,"
"Melinda?" Tenggorokan Ilene terasa tercekat mendengar suara Melinda yang terkesan mengejek di seberang sana. Kenapa Melinda bersama dengan suaminya di tengah malam seperti ini? Apa yang sedang mereka lakukan? Dadanya seketika terasa berdenyut nyeri. Apa yang terjadi?
"Berikan teleponnya pada Mas Darrel!" Ilene memekik penuh emosional.
"Maaf ya, tapi Darrel sepertinya kelelahan. Kamu bisa meneleponnya lagi besok pagi. Jangan mengganggu,"
Tut Tut Tut
Panggilannya diputus secara sepihak Melinda.
"Melinda! Melinda!" Ilene menjerit, putus asa ia memanggil nama Melinda, namun hanya nada putus-putus yang ia dengar. Ilene kembali menekan nomor Darrel, namun kemudian suara mesin panggilan providerlah yang menjawabnya.
Nomornya tidak aktif. Melinda dengan sengaja mematikan ponsel Darrel. Ilene kembali menjerit, hatinya terasa sangat nyeri.
Darrel telah mengkhianatinya, Darrel tidak pernah menganggapnya sebagai istrinya. Pikiran-pikiran buruk kembali melayang dalam benaknya. Apa mereka juga melakukan aktivitas yang sama seperti yang pernah Ilene dan Darrel lakukan? Setetes air mata kembali turun, ia tahu benar resiko perjanjian mereka. Tapi kenapa Darrel harus menyiksa perasaannya seperti ini?
****
Melinda melirik ke arah Darrel yang tertidur pulas di sofa panjang di seberang pembaringanny lalu mendesah kecewa. Padahal ia sudah merayu pria itu habis-habisan, tapi Darrel terus menghindarinya. Pria itu bahkan memilih untuk tidur di sofa dan enggan untuk tidur bersamanya di ranjang ini.
Ia tahu Darrel sangat sulit untuk melakukan sentuhan dengan wanita, tapi bukankah mereka pernah setidaknya saling bersentuhan bibir? Kenapa Darrel tidak pernah bisa melakukan hal lebih dari itu? Ia butuh lebih, ia membutuhkan sentuhan Darrel di tubuhnya. Hasratnya kepada pria itu ternyata harus kembali ia pendam. Melinda berdecak saat mendengar dengkuran halus keluar dari mulut Darrel. Menyebalkan!
Tapi sepertinya kekecewaaannya tidak berlangsung lama, Melinda tersenyum saat mendengar ponsel Darrel bergetar di samping nakas. Tengah malam seperti ini tentu saja hanya istrinya yang mencari keberadaan Darrel.
Melinda mengangkat benda itu, ia sengaja tidak mengangkatnya dalam getar pertama. Melinda hampir tertawa, Ilene pasti merasa resah di seberang sana.
Ketika ponsel itu kembali bergetar, Melinda berdeham lalu mengangkat panggilan itu.
"Ya? Oh Ilene, maaf aku yang menjawabnya, tapi Darrel sedang tidur pulas," ujarnya setengah berbisik. Ia melirik ke arah Darrel yang masih terlihat tenang. Aman, Darrel tidak bangun.
"Melinda?"
Melinda membekap mulutnya, menahan tawa yang mendesak ingin keluar. Ilene pasti merasa sakit hati mendengar kabar suaminya tidur dengannya.
"Berikan teleponnya pada Mas Darrel!" Pekikan yang terdengar dari seberang sana membuat Melinda merasa semakin senang. Ilene pasti merasa putus asa. Namun, saat melihat gerakan Darrel yang tidak mau diam, sepertinya dia harus menyudahi permainannya.
"Maaf ya, tapi Darrel sepertinya kelelahan. Kamu bisa meneleponnya lagi besok pagi, jangan mengganggu!"
Melinda segera mematikan panggilan itu sebelum Darrel benar-benar terbangun. Ia sengaja mematikan ponsel Darrel agar Ilene tidak dapat memanggilnya kembali.
"Mel? Kamu tadi bicara sama siapa?"
Melinda tersentak saat melihat Darrel bangkit lalu duduk dengan wajah setengah mengantuk. Apa Darrel mendengar pembicaraan mereka tadi?