Chereads / Suamiku Berbeda / Chapter 12 - Keputusan Gila Ilene

Chapter 12 - Keputusan Gila Ilene

"Gue gagal, Ra!" Ilene mendesah, ia menelungkupkan wajah di depan meja yang mengapit kedua kursi di rumah Diandra.

Diandra sendiri tidak tahu jika hari ini ia akan kedatangan tamu. Ilene Maharani tiba-tiba berdiri di gerbang rumahnya tanpa pemberitahuan dengan wajahnya yang semakin kusut. Dari sorot matanya yang kuyu, Diandra sudah tahu jika pernikahan sahabatnya itu kembali diguncang masalah. Ah tidak, sepertinya kali ini Ilene masih membawa permasalahan yang sama. Masalah yang sulit ditemukan solusinya.

"Gue udah coba berbagai cara, tapi semuanya gagal. Darrel malah marah sama gue," keluh Ilene.

Helaan nafas panjang terdengar dari mulut mungil gadis itu. Diandra hanya bisa menepuk pundaknya, memberikan sebuah dorongan semangat yang tidak begitu berarti untuk Ilene.

"Bayangin Ra, gue bikinin dia jamu, tapi dia malah ngelempar gelasnya," ucap Ilene sedih.

Mata Diandra mendelik, tidak percaya jika Darrel akan melakukan hal seperti itu. "Keterlaluan banget sih Darrel!" komentar Diandra, tidak terima jika Ilene mendapat perlakuan kasar dari sang suami.

"Itu salah gue juga sih, harusnya gue gak maksa dia buat minum tuh jamu,"

"Emang jamu apaan sih?" Tanya Diandra heran.

Ilene mengangkat bahu, ia sendiri tidak tahu menahu jamu apa yang diberikan oleh Mama Tiana, "Katanya jamu biar meningkatkan gairah, rasanya emang gak enak banget deh!" ucap Ilene. Ia sendiri baru pertama kali meminum ramuan jamu dan rasanya benar-benar tidak enak. Pantas saja Darrel begitu tidak menyukainya.

"Oh pantes Darrel gak mau minum. Ikbal aja gak pernah minum begituan, tapi gak seharusnya sih dia sampe ngelempar gelas," gerutu Diandra, masih tidak menyetujui alasan dibalik insiden lempar gelas itu.

"Itu karena gue yang maksa dia Ra, itu juga salah gue,"

Diandra mendesah, mendengar Ilene masih saja memberikan pembelaan untuk Darrel membuat telinganya terasa gatal. Mungkin inilah contoh orang yang telah dibutakan oleh cinta.

"Terserah loe deh, jadi sekarang loe maunya gimana? Gue bener kan, Darrel emang udah ga ketolong?"

Ilene mengangguk, wajahnya kembali diselimuti mendung gelap.

Diandra tahu permasalahan yang dimiliki sahabatnya begitu rumit. Jika dia menjadi Ilene, dia akan menyerah saja. Namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak, semua keputusan tetap ada di tangan Ilene.

"Gue harus gimana lagi, ya Ra?"

Desahan putus asa dari mulut sahabatnya membuat Diandra merasa iba. Aneh sekali, menurutnya tidak ada yang kurang dari Ilene. Ilene cantik, bahkan Ikbal suaminya mengakui bahwa sahabatnya itu mempunyai pesona tersendiri untuk menarik para kaum adam. Mungkin banyak pria yang mendambakan untuk menjadi di posisi Darrel sekarang. Seperti katanya Darrel memang sudah tidak tertolong, wanita secantik Ilene pun hanya menjadi barang pajangan statusnya saja.

"Gue bingung, Len," ucap Diandra jujur. Seumur hidupnya, ia belum pernah mengalami hal seperti ini. Meski pernikahannya dengan Ikbal sudah menginjak hampir tiga tahun lamanya, persoalan yang Ilene hadapi bukan persoalan pasangan suami istri pada umumnya.

"Mungkin gak ada lagi cara selain itu," sambung Diandra lagi.

Ilene menatap Diandra, sorot matanya berubah saat tahu apa maksud Diandra sebenarnya.

"Jangan bilang..."

Diandra mengangkat bahu, "Gue rasa cuma itu yang bisa loe lakuin kalau mau pernikahan loe selamat," tukas Diandra yakin.

****

Ilene bergerak dengan gelisah, langkahnya bergerak kesana kemari tidak tentu. Sekali lagi ia mengangkat serbuk yang ia dapat dari Diandra.

Dia pasti sudah gila!

Ilene menggelengkan kepalanya tidak habis pikir!

Seputus asa itukah dia hingga harus memakai obat ini, obat perangsang pada suaminya sendiri? Ia merasa malu sendiri karena menuruti saran gila ini. Namun, Perkataan Diandra kembali berputar dalam otaknya. Tidak ada pilihan lain, dia memang harus menyelamatkan pernikahannya.

Ilene kembali menengok ke arah jam dinding di rumahnya, sudah hampir pukul lima sore dan Darrel pasti akan pulang. Ilene kembali mengacak rambutnya kasar, jantungnya telah berdegup kencang dari sejam yang lalu. Apakah ia benar-benar harus mengambil langkah seekstrim ini?

Seperti dugaannya, deru mesin mobil mulai terdengar dari arah gerbang depan. Deru jantung Ilene semakin menggila, ia berdiri dengan gugup lalu menyembunyikan serbuk itu di saku bajunya. Darrel sudah datang dan pria itu tidak boleh tahu bahwa ia seputus asa ini untuk mendapatkan nafkah batin dari Darrel.

Dengan langkah yang diseret, Ilene berjalan ke arah pintu. Terlihat Darrel berdiri dengan wajah datarnya seperti biasa.

"Kamu sudah pulang, Mas?" Tanya Ilene berbasa basi.

Darrel mengangguk, terlihat canggung lalu memberikan tas kerjanya pada Ilene. Pria itu tidak menatap Ilene dan terus maju ke arah ruang depan. Ilene menghela nafasnya. Di satu sisi ia merasa lega karena tidak harus bertatapan dengan Darrel disaat ia gelisah, namun di sisi lain ia merasa sedih karena Darrel terlihat masih menjaga jarak akibat kejadian tadi pagi. Ini membuat Ilene semakin bimbang, apa sebaiknya langkah ini diundur saja?

"Aku akan mandi dulu," ucap Darrel lebih seperti sebuah bisikan.

Ilene hanya mengangguk, ia segera mempercepat langkahnya untuk mempersiapkan peralatan mandi untuk Darrel.

****

"Mau makan dulu, Mas?" Tawar Ilene saat melihat Darrel sudah rapi dengan sorot wajah yang lebih segar.

Darrel kembali mengangguk lalu duduk di hadapan Ilene. Dengan sigap, Ilene bangkit lalu menyendokkan nasi untuk Darrel beserta teman lauknya.

Darrel menerima piring yang diulurkan Ilene, pria itu menunduk, menyuap nasi tanpa bicara. Ilene ikut menunduk, mencoba meredakan kegelisahannya dengan fokus pada makanan di depannya.

Namun, keheningan yang terus tercipta diantara mereka membuat Ilene merasa gemas. Ia melirik ke arah Darrel, namun Darrel malah terlihat tidak mengacuhkan kehadirannya. Suasananya seperti dia makan sendiri di meja ini. Ilene mendesah kuat, suaranya sangat keras hingga membuat Darrel menengadahkan wajahnya.

"Apa kamu masih marah gara-gara kejadian tadi?" Tanya Ilene, wajahnya ditekuk kesal. Seharusnya ia yang marah, kenapa malah pria itu yang merajuk?

"Tidak," jawab Darrel singkat.

"Lalu kenapa kamu mengabaikan aku, Mas? Apa kamu tidak capek bertengkar terus denganku?" Berondong Ilene, emosinya kembali tersulut. Bisa-bisa ia mati muda jika terus menghadapi Darrel.

Darrel menghela nafasnya panjang, pria itu menyimpan sendoknya di piring lalu membersihkan mulutnya dengan serbet.

"Aku sudah selesai,"

Ilene melongo melihat Darrel yang menyelesaikan makanannya tanpa menjawab pertanyaannya. Pria itu bangkit berdiri lalu meninggalkan Ilene yang masih membeku di tempat. Darah Ilene berdesir, giginya bergemeretak menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. Ia kesal setengah mati melihat sikap Darrel yang kembali dingin.

Ilene meremas serbuk obat di sakunya dengan kuat. Darrel sudah memaksanya untuk berlaku licik, lihat saja dia tidak akan menyerah. Dia akan berjuang untuk memperjuangkan haknya di pernikahan ini. Harga dirinya sudah terlanjur terinjak-injak oleh pria itu. Keputusannya sudah bulat, Darrel harus menyentuhnya malam ini juga.