"Apa yang kau masukkan ke dalam air minum semalam?"
Ilene tersentak saat melihat Darrel datang dengan tergesa lalu menarik tangannya. Ia meringis, cekalan Darrel terasa sangat kasar disana. Melihat kondisi wajah pria itu sangat tegang, jelas sekali bahwa Darrel sedang menahan amarah. Ilene hanya bisa terdiam, ia sendiri merasakan hal yang sama. Marah dan kecewa yang amat besar pada pria itu.
Darrel mendengus saat Ilene hanya bungkam, "Sebegitu inginnya kau disentuh olehku hingga kau bersikap murahan seperti itu, Ilene Maharani!" Sindir Darrel ketus.
Ilene terhenyak, ia tidak menyangka jika Darrel akan menghinanya. Panggilan lembut yang selalu Darrel lontarkan padanya kini telah luntur tak bersisa.
"Aku hanya mencoba untuk mempertahankan rumah tanggaku, apa itu salah?" jerit Ilene sama berangnya. Ia membalas tatapan tajam dari Darrel tanpa rasa takut. Kedatangan Melinda telah mengubah semuanya, sisi kerasnya kini telah muncul ke permukaan. Ia hanya ingin dihargai, apa sulitnya?
"Kamu selalu menolak apapun yang ku lakukan untuk memperbaiki kehidupan rumah tangga kita, bagaimana aku tidak hilang akal? Lagipula untuk apa semua ini jika yang kamu sebut setelahnya adalah wanita lain!" Sambung Ilene.
Butiran kristal telah berserakan menghiasi pelupuk matanya yang lentih. Ia terisak membiarkan cairan itu meleleh dari tempatnya.
Darrel terlihat terpaku melihat Ilene yang kembali menangis histeris. Jelas sekali bahwa sikapnya selama ini begitu menyakiti Ilene. Namun, egonya mendominasi pikirannya, ia merasa telah dicurangi. Ia merasa cara Ilene tidak bisa diterima olehnya.
"Suruh siapa kau mencampurkan obat di dalam minuman itu hingga aku tidak sadar, Hah?" Teriak Darrel.
"Bukan itu yang jadi masalah sebenarnya, Mas!" Ilene balas memekik, membiarkan seluruh emosinya membuncah keluar, "Ternyata selama ini bukan penyakit yang menghalangimu untuk melakukan kewajibanmu, tapi orang lain!"
Darrel mengangkat alisnya, ia merasa tidak terima dengan tuduhan Ilene, "Apa maksudmu, Ilene Maharani?"
Ilene mendengus melihat lagi-lagi Darrel bersandiwara di depannya, "Kamu sengaja bukan meminta Melinda datang kesini dan memberitahuku betapa kalian saling mencintai seolah-olah bukan dia yang menjadi duri dalam suatu hubungan, tapi aku!"
Mata Darrel melebar mendengar perkataan Ilene, "Melinda datang kesini?"
"Ya. Dia bahkan memperingatkan aku untuk jangan berharap lebih padamu. Itu sangat menyakiti aku, Mas!" ucap Ilene tersedu.
Darrel tersentak, ia tidak menyangka jika Melinda akan berbuat seperti itu. Tapi Darrel tidak mau kalah dengan Ilene. Pria itu berdecak keras, keadaan ini sudah sangat memusingkan kepalanya, ia sudah tidak tahan. "Lalu kamu mau apa sekarang? Berpisah? Jika itu yang kamu mau, aku akan melakukannya." Tantang Darrel.
Mata Ilene terbelalak, ia tidak menyangka jika Darrel akan mengucapkan kata-kata perpisahan seolah itu adalah hal yang mudah baginya. Hatinya terasa tercabik, ia memang sangat terluka akan sikap Darrel, tapi ia tidak mungkin bercerai disaat ayahnya masih belum pulih benar.
Tidak, bukan karena ayahnya. Ilene tidak ingin bercerai bukan karena itu, tapi karena perasaannya. Sadar atau tidak, hatinya telah tercuri oleh Darrel. Meski ia mencoba menolak kenyataan itu, ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia mencintai Darrel, sangat.
"Dengar Mas, aku tidak akan memenuhi keinginanmu itu, kita tidak akan bercerai selama satu tahun ke depan!" tegas Ilene. Hanya ini satu-satunya cara terakhir untuk membuat Darrel tetap di sisinya.
Darrel mendesah mendengar perkataan Ilene yang keras kepala, "Kalau begitu terserah kau saja! Tapi jangan salahkan aku jika kau semakin terluka dalam pernikahan ini!" putusnya kesal. Ia menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalkan Ilene yang kembali menangis sendirian.
****
Diandra menatap khawatir pada keadaan Ilene yang semakin menyedihkan. Wajah gadis itu kusut bahkan terlihat matanya yang sedikit bengkak sisa-sisa tangisan semalam.
"Berantem lagi? Jadi sudah berapa hari?" Tanya Diandra. Kali ini ia yakin bahwa pertengkaran mereka lebih serius dibanding sebelumnya.
Ilene menghela nafas panjang, andai ia bisa, ia ingin membiarkan seluruh sesak yang ia rasakan keluar dengan sendirinya.
"Sudah tiga hari. Dan selama itu kami cuma diem-dieman di rumah," jawab Ilene singkat,
"Apa loe ga capek?" Tanya Diandra.
Ilene menatap lurus pada Diandra, capek? Tentu saja ia sangat lelah. Ia juga lelah membela perasaannya yang selalu mengharapkan Darrel.
"Ya capek! Banget!" akunya jujur. Tidak untungnya berbohong pada Diandra yang selalu mengetahui semua tentangnya.
"Loe yakin Len mau lanjutin ini smua?"
Sudah berulangkali Diandra menanyakan hal yang sama, tapi jawaban yang ia lontarkan pun tidak jauh berbeda seperti sebelumnya. "Jawaban gue bakal selalu sama Diy,"
Diandra menghela nafas panjang, ia hanya bisa mendukung Ilene bagaimana keputusan wanita itu, "Oke, jadi sekarang ada apa?"
Ilene menghela nafas panjang, membiarkan seluruh cerita yang ia tahan mengalir dengan sendirinya. Tentang kemarahan Darrel, tentang Melinda, tentang kepedihannya saat malam pertama mereka, tentang semuanya.
Dalam prosesnya Diandra terlihat terkejut, sesekali menepuk-nepuk punggung Ilene membiarkan tangis gadis itu membuncah keluar.
"Dasar aja wanita ular tuh si Melinda!" Sekali lagi Diandra mengumpati Melinda. Sesekali ia juga mengumpati Darrel meski Ilene melarangnya.
Ilene tersenyum mendapati sahabatnya yang selalu menghibur dirinya. Ia bersyukur ia masih memiliki Diandra di sisinya, jika tidak ia tidak tahu lagi.
"Sayang?" Suara menggelegar dari Ikbal tiba-tiba terdengar ke seluruh area rumah.
"Ikbal pulang?" gumam Diandra, ia menatap jam dindingnya, "Tumben banget dia udah pulang," sambung Diandra heran.
"Sayang? Ada tamu spesial nih!" Kembali Ikbal memanggil Diandra kencang.
Ilene tergeragap lalu segera lari ke kamar mandi, ia tidak ingin Ikbal atau siapapun mengetahui sisi rapuhnya yang ia tunjukkan saat ini.
Sedangkan Diandra hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Ilene, ia segera bangkit dari kursi untuk menyambut suami dan tamunya.
Ilene melihat pantulan dirinya di dalam cermin, gadis itu mendesah melihat penampilannya yang terlihat mengerikan.
Ia segera membasuh wajahnya kemudian mengeringkannya dengan selembar tisu. Tidak, penampilannya masih terlihat menyedihkan disana.
Ia membuka tas tangannya lalu mengambil beberapa peralatan make up. Setidaknya ia harus menutupi sedikit mata bengkaknya. Setelah selesai, Ilene kembali memeriksa penampilannya. Ini tidak terlihat buruk, wajahnya terlihat lebih segar dari yang tadi.
Ilene segera keluar dari bilik kamar mandi, keningnya berkerut saat mendengar suara ramai di ruang tamu Diandra. Entah kenapa suara tamu Ikbal terdengar familiar di telingannya.
Ilene segera menggeleng, mungkin itu hanya perasaannya. Tidak mungkin ia mengenal rekan kerja Ikbal. Lebih baik ia berpamitan pada Diandra karena ia pasti akan sibuk hari ini.
Ilene segera mendekati ruang tamu, ia melihat sang tamu dan juga Ikbal membelakanginya. Sedangkan hanya Diandra yang melihatnya berjalan ragu ke arah mereka.
"Eh, Len?" ucap Diandra.
"Sebaiknya gue pulang Diy,"
Tamu Diandra tiba-tiba bangkit berdiri, Ilene mengangkat alisnya heran melihat postur tubuh pria itu yang terlihat mirip dengan seseorang. Pria itu kemudian berbalik arah, Ilene terperangah saat melihat sosok tamu yang menurut Ikbal spesial itu.
"Hai Len, apa kabar?"
Suara dalam yang dikeluarkan oleh pria itu seketika membuatnya terpaku. Suara Ilene terasa tercekat di tenggorokan, dengan pelan ia mengucap sebuah nama, "Rean,"