Kecanggungan segera tercipta dalam ruangan itu. Ilene masih tidak percaya pada penglihatannya. Dihadapannya berdiri seorang Rean Wisesa, sosok pria yang dahulu telah mengisi hatinya sekian lama.
Rean adalah mantan kekasihnya beberapa tahun yang lalu. Rean adalah sahabat Ikbal, mereka bertemu saat pertunangan Ikbal dan Diandra dilangsungkan. Karena ulah pasangan usil itu, ia dan Rean semakin akrab dari hari ke hari. Mereka melanjutkan pertemuan mereka beberapa kali hingga mereka akhirnya memiliki ketertarikan satu sama lain. Ketika Diandra dan Ikbal menikah, hubungan mereka akhirnya diresmikan hari itu juga oleh Rean. Ilene merasa sangat bahagia saat itu, namun tidak ia sangka hubungan mereka yang berjalan hampir dua tahun lamanya harus kandas. Rean memilih mengikuti keinginan Ayahnya untuk melanjutkan studinya ke London. Semenjak itu, mereka terus bertengkar hingga akhirnya Ilene memilih menyerah. Mereka memutuskan berpisah baik-baik tanpa ada dendam apapun.
"Apa kabar Len?" Kembali Rean menyuarakan suaranya.
Ilene tergeragap, ia segera menarik kembali pikirannya yang tiba-tiba melayang saat melihat Rean. Ia tidak menyangka akan bertemu Rean hari ini, seingatnya Rean masih berada di London beberapa tahun terakhir. Lalu sedang apa dia disini?
"Ah, baik. Loe sendiri gimana? Kapan dateng? So, udah bosen nih sama London?" ucap Ilene berbasa-basi.
"Baru semalem terus langsung on the way kesini. Ya begitulah, kangen juga sama Indonesia," jawab Rean ringan.
Rean menarik sudut bibirnya, melukis sebuah senyuman. Senyuman yang menurut Ilene masih menawan seperti biasa.
"Duduk dong loe berdua, ngapain sih pada berdiri begitu? Salting ya?" Ledek Diandra yang gemas melihat tingkah mereka berdua yang canggung.
Ilene melemparkan tatapan tajam pada Diandra yang menggodanya. Diandra bergidik menerima tatapan itu lalu melambaikan tangannya pada Ikbal, "Bep, sini dong. Ilene galak nih, aku gamau ditelen sama dia,"
Ilene mendesah, karena ulah Diandra terpaksa ia harus duduk bersebelahan dengan Rean. Dalam hati ia menggerutu, mengutuk Diandra yang selalu usil.
"Katanya loe udah nikah, selamat ya," Rean mengulurkan tangannya, meminta Ilene untuk menyambut tangan itu.
Entah kenapa suara Rean terdengar berat, namun Ilene segera menepis hal itu. Dengan canggung, ia menerima uluran tangan Rean lalu berkata singkat, "Ya begitulah, thanks,"
"Loe sih Re, kelamaan di London keburu diambil orang kan si Ilene,"
Sekarang, giliran Ikbal yang menggoda Rean. Ilene kembali merutuki pasangan suami istri evil itu. Sedangkan Rean terlihat menyunggingkan senyum tipis, "Iya, gue telat. Sayang sekali,"
Entah kenapa nada suara Rean kembali terdengar berat. Melihat hal itu Ikbal dan Diandra hanya beradu pandang, merasa tidak enak. Sedangkan Ilene memilih terdiam.
"Ah, jadi gimana London? Betah banget kayanya disana, gue selalu pengen kesana, tapi Ikbal always boke," Diandra kembali membuka pembicaraan lalu terkekeh. Ikbal ikut menimpali gurauan istrinya. Seketika pembahasan mereka tentang pernikahan Ilene terlupakan begitu saja.
Ilene menghela nafas lega melihat Diandra yang mengalihkan pembicaraan. Syukurlah. Rean tidak perlu tahu bagaimana kehidupan pernikahannya yang payah. Ia tidak ingin Rean tahu bahwa rumah tangganya bersama Darrel selalu berantakan.
Mereka akhirnya membicarakan hal lain sambil mengingat-ingat masa lampau mereka. Ilene tersenyum melihat Rean, Rean ternyata tidak banyak berubah. Pria itu selalu menyenangkan saat diajak bicara, kecanggungan yang sempat ada segera sirna. Mereka berempat bercanda tawa seperti yang pernah mereka lakukan sejak lama.
****
Ilene tersentak saat melihat jam dinding di tempat Diandra sudah menunjuk ke angka lima. Ia terlalu asyik berbincang dengan Rean hingga tidak sadar sudah melewati jam pulang Darrel.
"Ah, gue harus pulang!" seru Ilene.
Diandra ikut berbalik, menatap ke arah jam dinding. Jam lima, jam pulang kerja Darrel. Diandra mendesah melihat Ilene yang masih perduli pada Darrel, "Loe balik? Yakin?" Tanya Diandra.
Ilene mengangguk lalu membereskan seluruh barangnya, "Re, lain kali aja kita ngobrol lagi," pamitnya kepada Rean.
Namun di luar dugaan, Rean malah ikut berdiri, "Gue anter Len,"
Ilene terkejut, ia berdiri bimbang mendapat tawaran itu, "Gausah Re, gue bisa naik taksi ko. Gue ga mau ngerepotin loe, loe kan masih jetlag," tolaknya halus.
"Gapapa, gue bisa ko. Gue juga mau balik sekalian, gapapa kan Bal?" Tanya Rean.
Ikbal segera mengangguk lalu tersenyum, "Gapapa dong bro, kita bisa ketemu lain kali," sahut Ikbal.
"Tuh kan Len, yuk!"
Ilene mendesah pasrah mengikuti keinginan Rean. Sebenarnya ia tidak ingin membuat Darrel salah paham, tapi sudahlah toh Darrel juga tidak akan perduli.
****
"Jadi gimana kehidupan pernikahan? seru?"
Ilene mengalihkan tatapannya dari jari jemarinya yang sedang ia putar-putar sejak tadi. Ia merasa sangat gugup kembali berada satu ruangan dengan Rean. Bagaimana pun Rean pernah menjadi pria istimewa baginya, tidak mudah baginya untuk kembali berbincang berdua dengan pria itu.
"Ya begitu deh, nano-nano," jawab Ilene singkat, ia sengaja melakukan itu agar Rean tidak bertanya lebih lanjut.
Rean kemudian membuka laci dashboard mobilnya lalu mengulurkan sesuatu pada Ilene. Permen lemon, khas kesukaan Ilene.
"Permen? Kesukaan loe kan? Tiba-tiba gue inget loe waktu pergi ke supermarket tadi pagi,"
Ilene terperangah, ia tidak menyangka jika Rean masih seperhatian ini padanya. Dengan gugup, ia mengambil benda kecil dari tangan pria itu lalu tersenyum berterimakasih.
"Thanks Re,"
"Jadi loe bakal lama di Indonesia, Re?" Tanya Ilene kemudian setelah si permen masuk ke mulutnya.
Rean menganggukkan kepalanya, "Rencananya gue bakal menetap lagi di Indonesia, studi gue udah kelar, gue juga harus menyelesaikan urusan gue disini," Jawab Rean sambil tersenyum.
Ilene mengangkat alisnya mendengar perkataan Rean, "Urusan? Urusan apa?"
Rean melirik dirinya penuh arti, kening Ilene berkerut tidak paham.
"Urusan sama loe,"
Jantung Ilene serasa berhenti. Meski sudah bertahun lamanya, tatapan lembut dari Rean ternyata masih membuat desiran halus pada hatinya. Ilene membuang wajah, bingung. Bagaimanapun statusnya sudah menjadi istri orang, tidak sepatutnya ia berbicara tentang hal pribadi dengan pria lain seperti ini.
"Gue turun disini aja Re," Tukas Ilene mulai merasa tidak nyaman.
Rean merasakan kekhawatiran di mata Ilene, ia segera membuka suara, "Tenang, Len. Gue gak ada maksud apa-apa ko, gue cuma mau ngomong ke loe tentang apa yang gue rasain semenjak gue ke London. Setelah ini gue janji gak akan bahas perasaan gue ke loe lagi, loe bisa pegang janji gue. Gue sadar diri loe udah jadi milik orang," ujar Rean dengan senyum kecut, senyum yang sepertinya dipaksakan.
Ilene merasa tidak enak, ia kembali terdiam di kursinya mendengarkan ucapan Rean dengan tenang.
"Sebenarnya gue nyesel pergi ke London, loe tahu karena hal itu gue kehilangan loe,"
Ilene menghela nafas berat, membicarakan perpisahan memang selalu tidak menyenangkan.
"Gue masih belum dewasa saat itu Re, sorry karena gue ga paham situasi loe waktu itu," sahut Ilene. Ia juga menyesal karena tidak pernah menyadari betapa seriusnya keadaan Rean saat itu.
"Mungkin memang kita ga jodoh," Rean kembali tersenyum tipis, dalam hati Ilene menyetujui ucapan Rean.
"Tapi meski begitu, loe masih mau kan jadi temen gue?"
Ilene terhenyak mendapat pertanyaan dari Rean. Ia menatap uluran tangan Rean yang kembali terulur di hadapannya. Rean menatapnya dengan tatapan setengah memohon, sedangkan Ilene hanya bisa terdiam, bingung.
Haruskah ia menerima permintaan pertemanan dari Rean? Apa reaksi Darrel jika mengetahuinya?