"Gue pikir-pikir dulu Re,"
Rean mendesah kecewa mendapati permintaannya telah ditolak oleh Ilene. Melihat sorot wajah Rean yang berubah lesu, Ilene merasa tidak enak, "Sorry Re,"
Rean mengangguk mafhum, ia memang kecewa namun ia sadar bahwa keadaan Ilene yang sekarang berbeda. Ilene bukanlah Ilene yang bebas seperti dulu, ia menatap jari manis Ilene yang sepenuhnya terikat. Rean tersenyum miris, ya Ilene nya sudah terikat dengan orang lain kini. Ilene pasti harus meminta izin pada suaminya terlebih dulu bahkan untuk sekedar berteman dengan seorang pria.
"Gapapa gue paham," sahut Rean.
Rean kembali mengulurkan sebuah benda kepada Ilene, kali ini sebuah kertas kecil bertuliskan namanya.
"Itu nomor gue, mungkin aja loe butuh temen ngobrol atau apapun, gue siap,"
Ilene menerima benda itu dengan ragu, ia merasa harus menerima pemberian Rean kali ini. Lagipula Rean tidak memaksa apapun padanya.
Setelah obrolan berat yang panjang, Rean dan Ilene akhirnya melanjutkan pembicaraan mereka dengan topik yang lebih ringan dan santai.
****
"Jadi ini sekarang rumahmu?" Tanya Rean melihat bangunan megah berwarna pastel di hadapannya. Ia tidak menduga jika suami Ilene ternyata pria yang berkecukupan dengan rumah semegah ini. Rean segera meminggirkan mobilnya ke arah kiri agar Ilene mudah untuk turun.
Ilene mengangguk, "Ya, begitulah. Tapi maaf Re, sekarang gue ga bisa sembarangan ngundang loe masuk ke rumah," tukas Ilene dengan wajah menyesal.
Rean balas mengangguk, "Gapapa. Kalau gitu gue langsung cabut aja,"
Ilene segera keluar dari mobil Rean lalu menutup pintunya langsung, "Thanks ya Re," ucapnya dari balik jendela mobil.
Rean mengangguk kemudian menyalakan mesin mobilnya, "Emm Len, salam buat suami loe," Tukas Rean untuk terakhir kalinya. Ilene cuma balas mengangguk, meski ia tidak yakin akan menyampaikan salam itu atau tidak.
Ilene dapat melihat mobil Darrel sudah terpampang manis di garasinya. Dia menghela nafasnya, satu lagi langkah yang berat untuk bertemu dengan Darrel.
"Siapa itu?"
Ilene tersentak saat melihat Darrel sudah berdiri di depan pintu dengan tangan terpampang di dada. Ia menghela nafas panjang lalu memilih mengabaikan pertanyaan Darrel. Setelah beberapa hari pria itu menutup mulutnya, kata-kata yang keluar pertama kali darinya adalah pertanyaan tentang Rean.
"Siapa yang mengantar kamu?"
Darrel kembali mengulang pertanyaannya. Ilene menghela nafasnya lelah lalu menatap tajam pada Darrel, "Apa peduli kamu, Mas?" Tanyanya sinis.
"Bukannya seorang istri harus izin pada suaminya jika hendak pergi ke suatu tempat? Apalagi ditemani seorang pria?" Sindir Darrel.
"Memangnya sejak kapan kamu perduli kemana dan dengan siapa aku pergi, Mas?" serang Ilene tak kalah sengit.
"Kamu hobi sekali mengajak suami berdebat ya?" balas Darrel lebih dingin.
Ilene tersentak lalu mendesah. Jika mereka sama-sama tidak mau kalah maka pertengkaran mulut ini tidak akan ada ujungnya. "Aku capek, mau istirahat. Makanan kamu sudah tersedia di meja seperti biasa,"
Setelah mengatakan hal itu, Ilene memilih tidak menunggu jawaban Darrel lalu kembali ke kamarnya dengan perasaan berat.
****
"Aku akan pindah ke kamar sebelah,"
Ilene menengadah dari ponselnya saat Darrel mengajak bicara padanya setelah sekian lama bungkam.
Kening Ilene berkerut mendengar perkataan Darrel yang tidak terduga, "Pindah? Tapi Kenapa?" Tanya Ilene kaget.
"Aku tidak mau kejadian tidak diinginkan terjadi lagi seperti kemarin malam,"
Ilene terhenyak, ia tidak menyangka jika Darrel sangat menyesal karena telah menyentuhnya kemarin. Sudut hatinya terasa nyeri, sekarang mereka bahkan akan tidur terpisah.
"Terserah kamu saja," ucap Ilene pasrah. Ia tidak bisa menolaknya jika itu keinginan Darrel.
Darrel terlihat mengangkat beberapa barangnya lalu ia pindahkan ke kamar lain. Ilene memilih tidak bereaksi lalu kembali melihat ponselnya.
"Kalau begitu selamat malam,"
Lagi-lagi Ilene tidak membuka suara sampai Darrel menutup pintu kamarnya.
Setitik air mata kembali menggenang. Bagaimana mungkin Darrel memutuskan untuk tidak satu kamar lagi dengannya tanpa meminta persetujuan darinya? Pernikahan macam apa yang penghuninya tidur terpisah seperti ini?
Dada Ilene terasa sesak. Ia seolah-olah menelan sebongkah batu besar dan batu itu mengganjal hampir seluruh jalan pernafasannya. Sepertinya Darrel tidak berniat untuk memperbaiki hubungan pernikahan ini. Apa pernikahan ini memang sudah tidak memiliki harapan apapun?
Dengan emosi, Ilene segera mengambil ponselnya juga kertas yang Rean berikan tadi sore. Sekarang ia juga tidak akan perduli lagi. Ia merasa bodoh karena berpikir Darrel akan merasa keberatan jika dia berteman dengan Rean. Darrel hanya memperdulikan wanita bernama Melinda dan tidak akan pernah memikirkan perasaannya.
Ilene segera menyimpan nomor Rean di ponselnya lalu mengetik sebuah pesan untuk pria itu.
"Kita bisa berteman, Re. Ilene"
Ilene menghela nafasnya panjang. Beberapa detik kemudian balasan dari Rean tiba di ponselnya.
"Thanks Len, gue seneng karena bisa temenan sama loe lagi"
Ilene kembali menghela nafasnya, mencoba bernafas meski masih tersendat-sendat.
****
Braakk!
Darrel melempar seluruh barang-barang yang ia bawa dari kamar sebelah ke seluruh lantai tanpa perasaan.
Sial! Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat kesal melihat Ilene yang terlihat akrab dengan pria lain? Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa Ilene tidak mau menjelaskan apapun padanya soal pria yang mengantarnya itu?
Darrel mengacak rambutnya kasar, merasa frustasi dengan perasaannya sendiri. Ia bahkan kembali menyakiti Ilene karena tidak ingin Ilene mengetahui sisi payahnya ini. Ia bimbang, ia kesulitan menelaah perasaan yang asing baginya. Apa karena ia merasa memiliki Ilene? Ayolah Darrel, bersikaplah logis! Sejak dulu kau tidak pernah merasa memiliki siapa pun bahkan Melinda!
Ia bahkan rela Melinda menikah dengan pria lain dan tidak pernah mempermasalahkannya. Lalu kenapa ia merasa marah tanpa alasan yang jelas sekarang? Padahal ia berniat untuk bercerai dengan Ilene dan kembali berfokus pada Melinda, tapi kenapa ia malah memilih pindah kamar dan membuat dirinya terlihat bodoh?
"Dasar pria pengganggu!" Darrel mengumpat. Meski ia tidak tahu nama pria itu, ia sudah membencinya. Ia merasa kesal karena kedatangan pria itu seluruh rencananya menjadi berantakan.
Darrel merebahkan dirinya lalu menatap langit-langit kamar. Ia mengusap area samping ranjang yang kosong. Entah kenapa ranjang ini terasa lebih lebar saat ia berbaring sendirian, padahal besar ranjang ini identik dengan ranjang yang ia pakai di kamar sebelah. Mungkin karena ia sudah terbiasa tidur berdua dengan Ilene, kamar ini juga terasa lebih sepi.
Darrel memejamkan matanya, bayangan Ilene yang menangis mengusik pemandangannya. Sampai kapan ia harus menyakiti Ilene? Kenapa Ilene memilih bertahan setelah ia menyakiti hati wanita itu berkali-kali? Darrel tidak mengerti, kenapa Ilene sesabar itu menghadapinya? Apa karena hal ini Darrel merasa tidak suka jika Ilene didekati oleh pria lain?
Darrel meremas tangannya kuat. Tidak, dia tidak bisa membuat dirinya dilanda rasa penasaran yang amat besar seperti ini. Dia harus mencari tahu siapa sebenarnya pria itu dan apa hubungannya dengan Ilene bagaimanapun caranya.