"Gak, gue gak mau!" Tolak Ilene cepat mendengar usul Diandra yang tidak masuk akal. Obat perangsang? Ilene menggelengkan kepalanya berkali-kali, ia tidak seputus asa itu hingga harus memakai obat perangsang bagi Darrel.
"Lho kenapa? Gue rasa itu cara yang paling ampuh untuk kasus Darrel," ucap Diandra keukeuh.
"Gak, Ra. Cari cara yang lebih wajar, tolong!" pinta Ilene tidak senang. Ilene bergidik, obat perangsang? Ia bahkan tidak tau bagaimana bentuknya obat itu.
Diandra menghela nafasnya mendengar penolakan tegas dari Ilene, namun ia kembali memutar otak mencari cara lain.
"Gimana kalau loe buat dia senyaman mungkin dengan sikap loe?" Tanya Diandra selajutnya. Mulai kehabisan ide atas permasalahan Ilene.
Wajah Ilene menengadah, tertarik dengan perkataan Diandra kali ini. Cara ini lebih terdengar masuk akal di telinganya.
"Caranya gimana?" Tanya Ilene meminta penjelasan.
Diandra melongo, tidak menyangka Ilene malah menerima saran asalnya ini. Dengan bola mata yang diputar ke atas, Diandra menjawab seperlunya, "Ya, loe harus melayani dia sebaik mungkin. Masak makanan kesukaan dia, kasih dia kelembutan dan perhatian terus menerus, dia pasti akan luluh. Loe juga bisa menghias kamar supaya lebih bagus, biar kalian gak jenuh,"
"Oke, akan gue usahakan." sahut Ilene setuju.
Diandra menghela nafasnya panjang, merasa lega karena kerja otaknya ternyata tidak sia-sia. Agar Ilene tidak terus memikirkan solusi yang tidak bisa ia pecahkan, Diandra mencoba mencari pengalihan atas pembicaraan mereka, "Oh iya, Len, loe bilang penyakit Darrel disebabkan sama trauma, loe tau penyebabnya?" Tanya Diandra dengan wajah penasaran.
Ilene tersentak mendapat pertanyaan yang tidak pernah ia duga keluar dari mulut Diandra. Ia kembali menghela nafas berat lalu menggeleng kecil, "Gak sama sekali. Gue baru sadar, gue gak tahu apa-apa soal Darrel," lirih Ilene menyesal.
Diandra menepuk keningnya, merasa semua yang mereka ketahui terasa tidak berarti untuk permasalahan ini. "Loe harus cari tahu penyebab traumanya kalau loe mau nyembuhin Darrel," putus Diandra menyerah.
Ilene kembali menghela nafasnya lelah, Ilene paham betul apa yang dibicarakan Diandra. Ia juga sudah memikirkan kemungkinan itu, namun ia belum menemukan jalan untuk melakukan itu semua.
"Tapi cari kemana? Tanya sama Darrel? Gak mungkin dia mau ngasih tahu soal itu," keluh Ilene putus asa. Untuk sekedar terbuka mengenai penyakitnya saja Darrel enggan, apalagi soal traumatis seperti ini.
"Ya, loe bisa tanya sama orang tua Darrel mungkin," sahut Diandra kembali tidak kehabisan akal,
Ilene menganggukkan kepalanya pasrah, meski ia sendiri ragu soal ini, namun tidak ada salahnya untuk mencoba.
Mendapati sahabatnya terlihat lesu Diandra segera meremas bahu Ilene memberikan sebuah kekuatan, "Loe harus kuat," ucap Diandra yakin.
Ilene hanya bisa melempar senyuman tipis sebagai jawaban atas kekhawatiran Diandra, "Semoga aja, Ra." ucapnya kembali menyemangati diri sendiri.
****
Ilene bangkit dengan tubuh tegap berdiri, mencoba menumbuhkan rasa percaya dirinya bahwa Darrel akan sepenuhnya sembuh. Ia harus bergerak dan mencoba seluruh kekuatannya. Ilene mulai mempraktekkan beberapa saran dari Diandra tadi. Ilene segera mencepol rambutnya ke atas, ia mengangkat tangan mulai menata kamar tidurnya bersama Darrel agar terlihat lebih 'cantik' seperti yang Diandra bilang.
Ilene membongkar kasurnya lalu mengganti motifnya dengan sprei yang lebih terlihat elegan. Ilene bahkan mengganti tata ruang mereka, memberi beberapa hiasan di dinding lalu menaruh lampu aromatic di sana. Ilene tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Kamar tidurnya terlihat lebih luas dan tertata rapi. Aroma semerbak menguar ke seluruh isi kamar. Ia yakin Darrel akan betah jika berlama-lama disini.
Ilene terperangah saat melihat jarum jam dinding kamarnya menunjuk diantara angka empat dan lima. Sudah waktunya Darrel pulang.
Ilene segera beralih ke area dapur. Ia harus menyiapkan sesuatu untuk suaminya makan.
****
Hingga pukul delapan tidak ada tanda-tanda kedatangan mobil Darrel memasuki garasi. Ilene mulai gelisah, tubuhnya bergerak tidak karuan kesana kemari. Ia melirik ponselnya yang tergeletak membeku di laci. Ilene menghampirinya, dengan gemas mengetuk-ngetuk layar ponselnya yang sama sekali tidak bergerak. Kenapa benda itu tidak berbunyi sama sekali? Bahkan bergetar pun tidak, kemana Darrel?
Ilene mulai kesal menunggu. Ia segera menyambar asal benda elektronik lalu menyentuh tombol dial ke nomor Darrel.
Ilene menghela nafas mendengar nada sambung yang panjang dari sana. Hening. Tidak ada jawaban sama sekali, kemana sebenarnya pria itu?
Tut tut tut
Ilene membanting benda elektronik itu saat panggilannya tidak tersambung untuk ke sekian kalinya. Darrel bahkan sudah berani mengabaikan panggilannya, bagaimana hubungan mereka selanjutnya jika terus seperti ini?
Hati Ilene terasa teriris. Ia menatap geram pada seluruh dekorasi yang ia susun dengan susah payah sore tadi. Semua ini sia-sia. Seluruh kerja kerasnya bahkan tidak dihargai. Darrel tidak akan pernah tersentuh olehnya. Ilene kembali meringkuk di sisi kamar, seluruh dunianya terasa gelap dan hampa. Ia kembali menangis sendirian dibawah temaram kamar.
****
"Aku harus ke kamar mandi dulu, Kak,"
"Oh Tentu,"
Melinda menganggukkan kepalanya pada Darrel. Ia tersenyum manis lalu mempersilahkan Darrel untuk pergi dari meja tempat mereka makan malam hari ini. Ia sangat senang karena setelah menikah, Darrel ternyata tidak pernah berubah.
Darrel dan Melinda sudah lama saling mengenal bahkan dari sedari mereka kecil. Mereka telah mengetahui masa lalu masing-masing, saling memahami luka yang mereka rasakan, juga saling menyayangi. Melinda tidak perduli jika saat ini mereka sama-sama sudah memiliki pasangan, apa salahnya? Toh dari awal Darrel dan Melinda sudah saling memiliki sebelum bertemu dengan pasangan mereka.
Katakan jika ia egois, tapi ia hanya memiliki Darrel. Suami yang telah ia nikahi sangat berbeda. Darrel begitu lembut dan penyayang, sedangkan Herman, suaminya begitu dingin dan kaku padanya. Mungkin karena pernikahan mereka yang hanya dilakukan atas paksaan orang tua. Ia tidak pernah mencintai Herman, Melinda melakukan pernikahan itu untuk terlepas dari jerat hutang yang dilakukan Ayahnya.
Saat ia menikah, Darrel ternyata tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula dengan sekarang, Darrel masih berada di sampingnya meski statusnya sudah menjadi suami orang. Melinda tersenyum sekali lagi, dari sini sudah terbukti bahwa mereka tidak dapat dipisahkan oleh siapapun.
Ponsel Darrel yang berada di seberang meja tiba-tiba berbunyi nyaring. Alis Melinda terangkat melihat layar ponsel itu menampilkan nama kontak di depannya.
"Ilene, Istri"
Melinda mendengus keras membaca nama itu. Rupanya istri baru Darrel yang menelepon. Melinda segera mengangkat benda itu lalu menggesernya ke tanda merah. Tidak boleh ada yang mengganggu waktunya bersama Darrel hari ini.
Berkali-kali ponsel itu berbunyi, berkali-kali pula Melinda menolak panggilannya. Sudut bibir Melinda terangkat menampilkan senyuman licik karena akhirnya wanita yang bernama Ilene itu menyerah. Ponsel itu kembali senyap.
Dengan segera, Melinda menghapus riwayat panggilan di ponsel Darrel. Darrel tidak boleh tahu bahwa istrinya mencari keberadaannya. Jika mereka bertengkar? Biarkan saja toh itu yang ia inginkan.