Ilene tersentak saat melihat mobil Darrel sudah terparkir di garasi rumah. Ia melirik ponselnya yang menunjuk ke angka lima. Sungguh situasi yang langka, Darrel pulang tepat pada waktunya hari ini.
Ia menghela nafasnya panjang lalu membuka pintu rumah. Bagaimanapun keadaannya ia tidak bisa terus menghindar dari Darrel. Sedetik kemudian, Darrel terlihat keluar dari kamar dengan menenteng handuk di pundak. Mungkin pria itu hendak mandi.
"Kamu habis darimana, Len?" Tanya Darrel heran mengingat Ilene yang jarang sekali berpergian. Apalagi tanpa memberitahu dirinya.
Ilene memilih tidak menjawab, ia ingin melupakan kejadian kemarin dan bertindak seperti biasanya. Namun, entah kenapa rasa kesalnya malah timbul kembali saat melihat wajah Darrel.
"Len? Kamu masih marah, ya?"
Ilene kembali tidak bergeming, membuat Darrel menghela nafas panjang. Susah sekali membujuk seorang wanita yang tengah merajuk.
"Len, aku bawain makanan kesukaan kamu lho,"
Kali ini Darrel berkata dengan nada lebih lembut. Ia berharap bahwa perhatian kecilnya akan membuat mood Ilene menjadi lebih baik.
Ilene mulai menengadah, memperhatikan wajah Darrel. Hatinya seketika menghangat mendapat perhatian kecil dari Darrel. Ilene mendesah, begitulah Darrel begitu pintar membuat perasaannya jungkir balik seperti ini.
Karena Ilene hanya terdiam, Darrel hanya bisa kembali menghela nafasnya. Hari ini ternyata lebih sulit dari yang ia kira, Ilene lebih marah dari sebelumnya.
"Aku bawa mie ayam ijo dari warung depan kantor aku, kamu suka banget sama makanan itu kan? Aku simpan di meja makan tadi, nanti kamu makan ya,"
Setelah berkata seperti itu, Darrel kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi, meninggalkan Ilene yang mematung bimbang.
*****
"Akhirnya dimakan juga!"
Ilene hampir tersedak dari makanannya saat melihat Darrel yang tiba-tiba kembali dari kamar mandi. Ia menatap heran pada pria itu yang kembali dengan hanya memakai handuk dibawah perutnya.
"Kamu pura-pura gak suka waktu bilang aku bawain makanan nyatanya dimakan juga," ejek Darrel.
Wajah Ilene seketika bersemu merah. Bukan malu karena Darrel mengetahui ia menyantap makanan yang pria itu bawa, tapi melihat Darrel yang bertelanjang dada seperti ini membuat perasaannya campur aduk. Tonjolan-tonjolan di dada bidang Darrel membuat Ilene seketika menelan ludah. Sial, kenapa suaminya ini begitu sexy dan menggoda?
"Bukannya kamu harus mandi?" Sindir Ilene, ia segera memalingkan wajah dari pemandangan yang begitu indah di hadapannya. Wajahnya masih bersemu merah membuat panas di tubuhnya makin menjadi. Ilene menarik nafas, berusaha menekan hasratnya untuk mengusap tubuh menggoda itu lalu mendorongnya ke atas tempat tidur. Kendalikan dirimu, Ilene Maharani, kamu bukan wanita mesum.
"Ya, tapi aku dengar suara berisik dari arah dapur, jadi aku keluar sebentar untuk menggodamu," balas Darrel dengan senyuman licik.
Ilene memutar mata mendengar perkataan Darrel. Ia segera bangkit berdiri. Dengan pandangan yang tidak lurus ke arah depan, ia menghampiri Darrel.
Alis Darrel terangkat, tidak mengerti kenapa Ilene kini menghampirinya. Wajahnya berubah kaget saat Ilene tiba-tiba mendorongnya tubuhnya kembali ke kamar mandi dengan kencang.
"Sekarang selesaikan mandimu, Mas!" ucap Ilene kesal lalu segera menutup pintu dari luar.
Darrel hanya bisa melongo melihat perlakuan Ilene. Apa maksud semua ini? Apa Ilene telah memaafkannya atau malah ia hanya membuat gadis itu semakin kesal? Ia menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, ia tidak menyangka jika Ilene adalah wanita yang membingungkan.
Ilene menghela nafasnya lega saat Darrel telah berada di balik pintu kamar mandi. Warna merah di wajahnya semakin parah saat tangannya menyentuh dada bidang Darrel yang basah. Jantungnya ikut berdebar dengan kuat. Ilene memejamkan matanya perlahan, memohon agar semua pikiran kotor yang sedang bercokol di otaknya segera pergi. Kembali ia mengucap mantra. Kendalikan dirimu, Ilene.
****
"Kau tidak lagi marah padaku, bukan?" Darrel tersenyum manis menatap Ilene.
Ilene mendesah lalu menggeleng. Rasa kesalnya memang sedikit sirna atas perhatian Darrel tadi.
Jantung Ilene kembali meronta saat Darrel tiba-tiba menghampirinya lalu duduk di tepian ranjang. Wajahnya seketika memerah mengingat tubuh setengah polos Darrel tadi sore, Ilene segera memalingkan wajah. Entah kenapa ia malu sendiri.
"Katanya sudah ga marah, tapi kenapa kamu malah buang muka gitu?" Tanya Darrel bingung.
Ilene merutuk, mengumpat pada otaknya yang semakin travelling saat mencium harum maskulin yang menguar dari tubuh Darrel. Darrel selalu memakai parfum yang sama, parfum yang membuatnya candu dan sekarang keinginan untuk memeluk tubuh suaminya semakin menguat akibat kejadian tadi. Astaga, sejak kapan dirinya menjadi wanita mesum seperti ini?
"Len? Kamu gapapa? Koq mukamu merah gitu? Kamu sakit?"
Ilene terkesiap saat tangan Darrel tiba-tiba menyentuh wajahnya. Refleks, ia mundur saking kagetnya membuat Darrel hanya bisa menatapnya bingung.
"Aku gapapa Mas," ucapnya cepat. Menyadari bahwa tingkahnya terlihat ganjil di mata Darrel, Ilene kembali duduk dengan tenang.
"Yakin?" Tanya Darrel ragu.
Ilene mengangguk cepat, berusaha meyakinkan Darrel bukanlah hal yang mudah. "Gapapa, Mas. Aku gapapa, beneran," jawab Ilene tegas.
Sorot keraguan masih terlihat di wajah Darrel, Ilene segera menarik selimut agar Darrel tidak kembali bertanya macam-macam. "Sebaiknya kita segera tidur Mas," ucapnya lalu membelakangi tubuh Darrel.
Darrel kembali terheran-heran dengan sikap Ilene. Aneh sekali, biasanya Ilene akan mendekatinya saat ia bersikap lembut. Namun sekarang, Ilene berbeda. Gadis itu terlihat menjaga jarak ketika ia telah mengetahui penyakitnya. Darrel menghela nafasnya, seharusnya ia merasa lega karena kini Ilene mengerti situasi yang tengah ia hadapi. Namun, saat tubuh mungil itu telah terlebih dulu membelakanginya, kenapa ia merasa gelisah?
Darrel akhirnya ikut berbaring di sebelah Ilene dengan posisi telentang. Darrel melipat tangannya lalu memposisikannya sebagai bantal. Ia menghela nafas berat, menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan yang aneh. Apa begini rasanya diabaikan? Apa perasaan ini yang sering dirasakan Ilene saat ia memilih tidur terlebih dulu?
"Len?" Panggil Darrel.
"Hm?" Gumam Ilene singkat,
Darrel kembali menghela nafas lalu berkata dengan penuh penyesalan, "Maaf,"
Hening. Tidak ada jawaban di sebelahnya. Ilene memilih terdiam dan menunggu perkataan Darrel selanjutnya.
"Maaf karena aku telah membawamu ke dalam masalahku,"
Ilene sepertinya enggan berkomentar. Darrel juga tidak mengharapkan sebuah jawaban. Kali ini, perasaannya terasa tidak nyaman. Ia merasa menyesali semua keputusannya, menyesali segala perlakuan buruknya pada Ilene.
"Maaf karena aku telah menipumu, maaf karena aku bukan suami yang seperti kamu inginkan,"
Terdengar isakan halus dari sebelahnya, Darrel menghela nafasnya berat karena Ilene kembali menangis. Ia selalu ikut merasa sesak jika gadis itu menangis.
"Aku akan mencobanya, mencoba apapun pengobatan yang kamu sarankan itu. Tapi jangan pernah berharap banyak, Ilene. Aku tidak mau kamu semakin kecewa,"
Isakan itu semakin terdengar hebat, punggung Ilene terlihat bergetar di sebelahnya. Darrel hanya bisa menepuk-nepuk bahu gadis itu untuk meredakan tangisnya. Entah bagaimana jadinya hubungan mereka setelah ini. Darrel hanya bisa menuruti Ilene untuk menebus segala kesalahannya.