Chereads / Suamiku Berbeda / Chapter 10 - Melinda Datang

Chapter 10 - Melinda Datang

Ilene menatap wajah terlelap di sebelahnya dengan perasaan bimbang. Segala ucapan Darrel semalam terngiang-ngiang di telinganya. Ia menghela nafas, setelah mendapat pengakuan seperti itu perasaannya memang sedikit lega, tapi masih saja ada hal yang mengganjal di hatinya. Apa ia bisa menyentuh hati Darrel? Apa mereka bisa menjalani kehidupan normal layaknya pasangan suami istri pada umumnya?

Ilene bangkit berdiri, menghapus segala persoalan yang masih membelit otaknya. Jika terus dipikirkan, maka bukan hanya kepala saja yang akan pecah. Lebih baik ia menyiapkan sarapan untuk Darrel.

Dengan sigap Ilene bertandang ke area dapur, tangan cekatannya dengan cepat bergulat dengan segala masakan yang akan ia buat. Isi kepalanya yang tadinya rumit dengan segera berubah memikirkan seluruh rencana memasaknya. Masalah tentang rumah tangganya ia simpan terlebih dulu di sudut otaknya yang lain.

****

Darrel terbangun lalu segera bangkit saat melihat ranjang di sebelahnya telah kosong. Terdengar suara bising dari arah luar, Darrel segera beranjak lalu menghampiri suara itu. Ia tersenyum samar saat melihat Ilene yang tengah sibuk berkutat di dapur. Rupanya gadis itu tidak marah lagi padanya dan telah kembali ke kebiasaan lama yaitu memasak di pagi hari. Syukurlah, ia juga sudah merindukan masakan Ilene yang selalu memanjakan lidah.

"Harum sekali,"

Wajah Ilene menengadah, ia segera menyelesaikan masakannya saat melihat Darrel sudah bangun.

Ilene menepis tangan Darrel yang tengah mencomot makanan di atas meja. Darrel meringis kecil, berpura-pura kesakitan.

"Cuci muka dulu, Mas!" Ilene mengingatkan. Darrel menggerutu, namun ia menuruti perintah Ilene kemudian pergi ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah saling berhadapan di meja makan dengan piring masing-masing.

"Hari ini aku akan menemui Dokter Daniel,"

Ilene kembali menengadah, menghentikan aktivitas menyendok makanan lalu menatap Darrel.

"Mau aku temani, Mas?" Tawar Ilene. Sebenarnya ia juga penasaran mengenai sesi terapi Darrel, namun keinginannya pupus saat Darrel memilih menggeleng.

"Tidak usah, aku bisa sendiri."

"Aku ingin temani kamu, Mas," Ilene bersikukuh. Ia menatap Darrel dengan tatapan mengiba.

Darrel kembali menggeleng kuat, "Tidak. Aku tidak nyaman jika orang lain melihat sesi terapiku, kamu mengertikan?"

Ilene hanya bisa menghela nafas. Orang lain? Dia ini istrinya, kenapa lagi-lagi Darrel bersikap misterius dan tertutup? Padahal ia berharap Darrel akan lebih membuka diri setelah permintaan maafnya semalam.

"Ya sudah,"

Tidak ada lagi yang bisa Ilene katakan selain ini. Jika Darrel menolaknya, apa lagi yang bisa ia lakukan?

Melihat Ilene yang kembali terdiam, Darrel membuka dompetnya lalu mengulurkan sebuah kartu berwarna hitam pada Ilene.

Ilene mengangkat alis lalu menunjuk benda itu, "Apa ini, Mas?"

"Kartu Black Card milikku, kamu saja yang simpen. Kalau kamu butuh sesuatu, pakai saja,"

Ilene mengerutkan kening lalu kemudian mengangkat tangannya, menolak pemberian itu.

"Gausah Mas," ujar Ilene tidak senang.

Namun Darrel kemudian menarik tangan Ilene lalu menangkupkan kartu itu di tangannya.

"Simpen saja, Ilene."

Ilene hanya bisa pasrah menerimanya. Darrel tersenyum kemudian menyelesaikan makanannya lalu bangkit dari duduknya.

"Aku harus berangkat,"

Melihat Darrel yang terburu-buru, Ilene ikut berdiri. Darrel mengangkat tangannya, meminta Ilene tetap duduk, "Kamu selesaikan saja makannya, Len,"

Ilene menatap makanannya yang tinggal separuh lalu menggeleng kecil. Lagipula ia tidak begitu bernafsu untuk makan hari ini, "Gak Mas, aku udah kenyang. Aku anter kamu ke depan,"

Darrel mengangguk lalu berjalan disusul Ilene di belakangnya.

Ilene hendak mencium tangan Darrel, namun Darrel segera menahannya. "Len, karena kamu sudah tahu semuanya. Bisa tidak jika kebiasaan ini kita hilangkan?"

Ilene mengangkat alisnya tidak paham. Darrel segera memberi penjelasan, "Sebenarnya aku kurang nyaman saat mulut kamu menyentuh tanganku,"

Degg. Sudut hati Ilene kembali tercubit dengan perkataan Darrel. Ilene mendesah, memandangi tangan Darrel yang tergantung di samping tubuhnya dengan tatapan terluka. Bagaimana mungkin mereka bisa menjalani kehidupan normal sebagai pasangan jika hal sepele seperti ini aja sulit untuk Darrel lakukan?

Ilene segera mengangguk, ia mengulurkan tangan mempersilahkan Darrel untuk segera pergi. Harga dirinya kembali terluka.

Darrel telah masuk ke dalam mobilnya, namun sebelum pergi, pria itu melongokkan wajah lalu berkata pada Ilene, "Belanja apapun barang yang kamu inginkan dengan kartu itu, kamu boleh ajak Diandra juga,"

Setelah itu deru mesin mulai terdengar, kendaraan roda empat itu mulai meninggalkan area rumah dengan laju stabil.

Ilene menghela nafas berat lalu memandangi kartu hitam itu kembali. Kehidupan pernikahannya ternyata lebih parah dari yang ia perkirakan. Ilene mendengus keras, harga dirinya bahkan telah ditukar dengan nominal kartu ini. Dengan enggan, Ilene menyurukkan kartu itu ke saku pakaiannya. Seperti yang Darrel bilang, ia hanya akan menyimpannya tanpa menggunakannya seperti yang Darrel inginkan.

****

Darrel terkejut saat melihat Melinda berdiri di depan ruangannya. Ia segera menarik tangan wanita itu lalu mengajaknya masuk kesana.

"Kenapa kesini, Kak?" Tanya Darrel bingung.

Melinda segera menghambur ke pelukan Darrel lalu menangis tersedu-sedu.

"Aku telepon kamu berkali-kali tapi kamu tidak pernah mengangkatnya!" Jerit Melinda.

Darrel segera menarik tangan Melinda dari tubuhnya. Ia menghela nafas, menatap Melinda dengan tatapan lelah.

"Tolong Kak, jangan bersikap kekanakkan, sekarang aku sudah punya istri. Bagaimana mungkin aku bisa terus meluangkan waktu untukmu? Kemarin lusa Kakak bahkan mematikan telepon dari Ilene, itu keterlaluan!" ucap Darrel kesal. Kejadian tempo hari membuat kesalahpahaman yang panjang diantara dia dan Ilene. Sudah cukup ia memberi masalah pada gadis itu.

Wajah Melinda berubah menjadi murung mendengar ucapan Darrel. "Aku kesini untuk meminta pertolongan darimu, tapi kamu malah memarahiku, Darrel,"

Mendengar hal itu, Darrel segera merubah mimik wajahnya, ia mendekati Melinda lalu menatapnya dengan tatapan khawatir, "Ada apa, Kak? Apa terjadi sesuatu lagi?"

Melinda tergugu, ia menunjukkan lebam biru di tangan kanannya dengan wajah kesakitan. Ketegangan segera tercipta di wajah Darrel, "Apa Herman memukulmu lagi?"

Melinda mengangguk lalu kembali menangis. Rahang Darrel mengeras melihat hal itu, ia mengepalkan tangannya dengan kuat. Herman benar-benar keterluan, suami macam apa yang terus menyiksa istrinya seperti ini?

Darahnya berdesir, ia merasa sangat emosi akan apa yang terjadi pada Melinda. Melinda adalah seseorang yang berharga baginya, saat mereka kecil, Melindalah yang menjaganya. Berani-beraninya Herman melukai satu-satunya wanita yang ia sayangi.

"Aku akan membuat perhitungan dengannya!" Geram Darrel.

Darrel segera berdiri, namun Melinda menahan tangannya dengan wajah mengiba. "Jangan, tolong. Aku butuh kamu disini,"

Melihat Melinda yang rapuh, Darrel segera berhenti. Ia kembali berjongkok menghadap Melinda lalu menghapus air matanya perlahan. Namun, tangis Melinda tidak juga berhenti membuat Darrel akhirnya menarik tubuh Melinda ke dekapannya. Melinda mengeratkan pelukannya seolah-olah dekapan Darrel adalah tempat perlindungan yang paling aman. Darrel mengusap rambut Melinda lembut. Apapun yang terjadi ia akan melindungi Melinda sampai kapanpun. Ia bahkan lupa tentang tujuannya memperbaiki hubungan dengan Ilene, istrinya.