Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Senja di Langit

Honeylili_456
--
chs / week
--
NOT RATINGS
11.6k
Views
Synopsis
Kata orang menjadi anak terakhir itu adalah anugerah. Apa pun yang diinginkan pasti akan terpenuhi. Agaknya kalimat itu tak berlaku untuk Senja. Sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara kehidupannya jauh dari kata anugerah yang orang katakan. Kakak pertamanya, pergi dari rumah menjadi tenaga kerja di luar negeri dan tidak ada kabar. Lalu kakak ke duanya merantau ke kota mengikuti sang suami meninggalkan satu orang anak yang masih kecil. Tinggal Senja yang bisa diandalkan. Terkadang ia ingin mengeluh tapi kepada siapa? Ayahnya berubah menjadi ringan tangan semenjak terkena pemutusan hubungan kerja, neneknya sakit-sakitan, ibunya tidak ada sejak ia kecil. Sesekali ia ingin menjadi gadis manja yang bergantung pada seseorang tapi agaknya Tuhan belum mempertemukan Senja dengan orang itu. Sampai suatu hari, ia tak sengaja bertemu lelaki yang tergeletak bersimbah darah. Karena kasihan Senja menolong lelaki itu. Ternyata karena hal itu, Senja dipertemukan dengan lelaki idamannya. Sejak saat itu, Senja berusaha untuk memantaskan diri sebagai pendamping lelaki itu. Tapi ada penghalang tak kasat mata di antara mereka. Apakah Senja bisa mendapatkan kebahagiaannya? -cerita ini hanya fiksi semata cover by unsplash
VIEW MORE

Chapter 1 - Terlambat

Tin!

Tin!

Klakson mobil berbunyi nyaring, sang sopir hampir saja menabrak motor yang nekat menyeberang padahal kendaraan yang ia kendarai sudah dekat.

"Maaf, Pak!"

"Woi, kalau nyebrang yang bener! Mau mati lu!"

Senja tak menghiraukan makian sang sopir, ia sudah biasa mendapat makian seperti itu. Yang pasti setelah sampai Senja akan mendapat kata-kata mutiara yang tak jauh berbeda dengan kalimat si bapak tadi.

Gerbang menjulang di depannya masih terbuka lebar, jelas saja karena karyawan gedung satu baru masuk pukul setengah delapan.

Senja buru-buru memarkirkan motornya, ia berlari begitu selesai memarkirkan motor itu asal.

"Mbak helm!"

Salah seorang petugas meneriaki Senja.

Senja meringis, kenapa ia lupa melepas pelindung kepala ini. Ah, membuat waktu Senja semakin lama saja.

Senja kembali ke motornya dan meletakkan helm di atas spion. Ia kembali berlari, gedung dua tempatnya bekerja berada menjorok ke dalam dan sesuai aturan ia harus melewati gedung satu terlebih dahulu untuk pemeriksaan.

Jika bisa dan boleh, sebenarnya Senja bisa melewati jalan lurus yang akan menghubungkan dirinya dengan gedung itu tapi lagi-lagi peraturan itu membuat Senja dan karyawan lain tidak bisa melanggar.

Nafas Senja ngos-ngosan. Ia harus melewati jalan berbelok sebelum sampai di gedung satu.

Sebenarnya mau secepat apa pun Senja sampai, ia tetap terlambat tapi jika semakin lama ia datang semakin marah pula atasannya nanti.

Namanya sudah tercoreng karena sering terlambat dan surat peringatan pertama telah ia dapat. Senja sebenarnya juga tidak mau datang terlambat, ia juga lelah harus berlari seperti terkejar setan seperti ini.

"Astagfirullah." Senja berusaha mengatur nafasnya, ia telah sampai di pintu masuk gedung dua.

Satpam yang berjaga hari ini menggeleng pelan melihat kehadiran Senja.

"Telat lagi, Mbak?"

Senja mengangguk. Ia maju dan segera menempelkan kartu pegawainya di mesin absen.

"Pantes atasanmu lihat ke pintu terus."

Senja meringis pelan, ia tak membalas kalimat satpam perempuan yang terkadang disangka lelaki itu, karena potongan rambut dan postur tubuhnya sudah menyerupai lelaki.

"Ya Allah, kuatkan aku. Aku masih butuh pekerjaan ini." Senja berdoa lirih.

"Bismillah." Apa pun itu, ia harus menghadapinya karena pada dasarnya dirinya yang bersalah di sini. Oh, bukan tapi keadaan yang bersalah di sini.

Salahkan kakak keduanya yang lebih mementingkan suami dari pada anak. Wanita yang sembilan tahun lebih tua dari Senja itu berkata harus ikut ke mana pun sang suami pergi, ia tak mau kalau sampai suami tersayangnya kepincut wanita lain. Pasalnya beberapa kali sanak saudara Senja yang di perantauan melihat saudara ipar Senja itu memboncengkan wanita muda.

Anaknya yang masih sekolah di taman kanak-kanak tidak mau Senja tinggal walau bu guru telah membujuk lelaki kecil itu. Terpaksa dan juga tak tega, akhirnya Senja tinggal sebentar di sana sampai anak kecil itu membaur dengan temannya. Hampir setiap hari seperti itu dan itulah yang membuat Senja sering terlambat.

***

"Sekarang saya tanya, kamu maunya bagaimana?" Supervisor bernama Neni itu berkacak pinggang sambil menatap tajam salah satu anak buahnya.

Senja diam, kata seniornya yang telah lama bekerja di sini lebih baik diam dari pada semakin memancing amarah.

"Kamu sudah saya peringatkan loh tapi kenapa tidak ada niatan untuk berubah? Kamu sudah bosan bekerja di sini? Kamu mau pindah kerja lagi?"

Semakin menunduk, Senja tetap dalam keterdiamannya. Beberapa karyawan yang seperti Senja hanya bisa melihat. Mereka juga tak mau ikut campur dan berakibat diberi kultum seperti Senja.

"Satu kali lagi kamu terlambat, saya tidak bisa memberi toleransi. Apa kata yang lain kalau saya masih mempertahankan kamu?"

"Maaf, Bu."

"Maaf terus tapi tidak ada niatan untuk berubah."

"Sana kembali bekerja. Jangan buat rijekan lagi, bahan yang kamu rusak sudah banyak! Bekerja yang benar kalau masih mau di sini!"

Senja segera duduk di kursinya. Ia melepas ganjalan mesin yang terpasang dan mulai membersihkan mesin terlebih dahulu.

"Kalau kamu masih tidak serius dalam bekerja, banyak orang yang siap menggantikan kamu, Senja."

Senja mengangguk. Ia meraih bahan yang siap untuk dirinya jahit, sudah banyak tumpukan di mejanya dan ia harus segera membereskan itu.

Ya, inilah dunia garment. Andai bisa memilih, Senja juga tak mau bekerja seperti ini. Terkadang mereka bekerja seperti robot, dituntut cepat dan benar. Sekali membuat kesalahan seperti Senja maka akan terus diingat dan dicap buruk.

Ia baru tiga bulan bekerja di sini, setiap hari yang ia pikirkan adalah kenapa jam di dinding itu seakan tidak berputar? Waktu kerja yang hanya delapan jam serasa delapan tahun. Lama.

***

Sendiri dan sendiri, kata yang selalu menjadi pendaming Senja. Semenjak sering terlambat, beberapa teman yang satu line dengannya semakin mengucilkan dirinya.

Senja dinilai tak cukup cekatan dan mumpuni untuk menjadi anggota line mereka. Senja sadar akan hal itu, ia akan diam saja jika beberapa dari mereka mulai menyindir Senja yang sering tidak tepat waktu.

Dalam kondisi seperti ini, Senja tak bisa seenaknya membeli makanan di kantin. Waktu istirahat ia gunakan untuk memperbaiki beberapa jahitan yang masih salah. Oh, ayolah, bahkan di tempat ini Senja baru pertama kali memegang mesin jahit.

"Huh, andai aku anaknya orang kaya. Pasti lagi sibuk nyusun skripsi. Bukan sibuk bredel jahitan kayak gini."

Senja menunduk dan meminum air yang baru saja ia isi dari galon.

Hanya air ini yang ia gunakan sebagai pengganjal perut. Ingin membeli makan di kantin tapi ia teringat tentang neneknya yang membutuhkan banyak biaya untuk berobat.

"Astagfirullah. Capek banget Ya Allah. Senja mau kabur aja dari sini Ya Allah. Senja enggak kuat!"

Senja menghembuskan nafasnya, ia dipaksa kuat oleh keadaan tapi sebenarnya ia ingin sekali menyerah.

Dunia kerja dengan segala keindahannya belum juga berpihak kepada Senja.

Terkadang karena merasa putus asa, Senja ingin menerima lamaran dari Rohmat, si tukang parkir minimarket dekat rumahnya. Tapi dirinya tak menyukai orang itu.

Senja merebahkan kepalanya di meja mesin, ia ingin angkat tangan dan kabur saat ini juga.

***

Pulang kerja, tidak ada kata istirahat untuk Senja. Ia langsung mencuci celana neneknya yang terkena ompol.

"Ja? Ja?" Panggil lirih sang nenek dari arah kamar. Senja yang memang sengaja membuka pintu kamar mandi agar bisa mendengar jika neneknya memanggil segera beranjak.

"Kenapa, Mbok?"

"Astagfirullah."

Senja memekik karena menemukan sang nenek sudah tergeletak lemas di lantai. Berusaha tidak panik, Senja keluar dan meminta bantuan pamannya.

Nenek dibaringkan kembali ke atas tempat tidur. Sepertinya tadi ingin berdiri tapi tongkat nenek tergelincir jadi otomatis nenek juga ikut jatuh.

Seperti inilah keseharian Senja, belum lagi kalau si bocil pulang dari bermain. Semakin banyak hal yang harus Senja lakukan.