Senja sudah masuk ke rumah. Ia menuruti perintah pakliknya dan segera mengunci pintu.
"Mbak Ja. Tadi orang jahatnya belum mandi ya? Kok Mbak Ja siram?"
Bocah itu Rifki, tadi pasti sempat melihat ke jendela makanya bisa tahu kalau Senja menyiraminya.
"Hahahaha." Senja terkekeh, ia sendiri tak tahu apakah dua preman itu sudah mandi atau belum. Hem, tapi sepertinya belum mengingat wajah kumel dua preman itu.
Ew, memang kalau orang seperti itu pasti jarang mandi. Huek!
"Iya, penjahatnya belum mandi."
Senja membenarkan. Rifki, bocah itu ikut tertawa.
"Mbak, Ja. Rifki mau main."
Wajah memelas Rifki membuat Senj
a tak enak hati untuk melarang. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan sedang tidak baik. Takutnya terjadi hal yang tidak diinginkan. Mengingat, orang seperti mereka akan menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.
"Em, Rifki kan belum mandi. Ayo, mandi dulu. Ini udah sore."
"Ha? Sore?"
Rifki melihat jam lalu melihat ke arah jendela.
"Emang udah sore banget ya, Mbak Ja?"
Maklum, Rifki ini belum mengerti atau belum tahu cara membaca jam. Makanya tadi ia melihat ke arah jendela untuk memastikan sore yang Senja maksud.
Benar kata Mbak Ja, ternyata hari sudah sore. Kalau tidak mandi sekarang, nanti bisa dingin.
"Oke, siap. Ayo mandi! Mandi! Mandi!"
Rifki tampak bersemangat, bocah itu langsung melepas baju dan celananya di hadapan Senja. Senja hanya menggelengkan kepala, kala bocah itu berlari menuju kamar mandi dengan keadaan tanpa baju. Badannya yang gembil membuatnya tampak lucu. Oke, lucu karena masih kecil kalau sudah besar lain lagi. Bisa dikatakan orang gila nantinya.
"Rifki, Jangan lari. Nanti jatuh."
Mendengar ultimatum sang tante, Rifki langsung memelankan langkah kakinya. Awas, nanti terjatuh. Kalimat itu terngiang di kepala. Hem, kalau terjatuh bisa sakit dan bonyok.
Senja menyusul beberapa saat kemudian. Ia sudah mandi dan tinggal memandikan Rifki. Tadi juga telah mengganti baju dan popok simbah. Akhirnya ia bisa memiliki waktu untuk mencari informasi lowongan kerja.
***
Ini saatnya, Senja bergelut dengan banyaknya koran berisikan informasi tentang lowongan kerja.
Rifki, si gembul yang baru saja mandi sudah pergi ke rumah sebelah. Senja tak bisa menyuruh Rifki untuk tetap tinggal, yang ada Senja sendiri jadi tidak tega.
"Ini, wah ini kan perusahaan yang gajinya gede itu."
Dari informasi yang Senja dapat di internet. Perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi makanan itu memberikan gaji pada karyawannya tak main-main. Di sosial medianya, banyak orang yang ingin bergabung ke perusahaan itu karena iming-iming gaji yang besar.
"Wah, kesempatan nih."
Senja membaca dengan saksama iklan yang ada di laman sosial medianya. Kalau info lowongan seperti dari perusahaan ini, Senja yakin tidak akan ada di koran.
"Supervisor? Kepala divisi? Staf accounting?"
Dengan teliti, Senja membacanya. Barang kali ada posisi yang cocok sesuai dengan pendidikan Jeha.
"Kalau kayak begini, ya enggak ada cocok."
Ya kali lulusan sekolah menengah seperti dirinya menjadi kepala divisi, bukannya semakin maju justru divisi yang ia pimpin akan mengalami kekacauan.
"Staf marketing." Senja terus membaca. Sampai matanya membulat kala membaca posisi yang dibutuhkan di baris paling bawah.
"Office girl!"
Nah, ini!
Senja memekik bahagia.
Ia sadar diri, posisi yang tepat untuk dirinya dan yang bisa ia raih sekarang adalah sebagai office girl.
"Eh, tapi kalau di sana. Rifki sama Simbah siapa yang jaga."
Senja menepuk jidatnya. Bagaimana bisa ia melupakan hal sepenting itu. Perusahaan ini ada di pusat kota. Jaraknya dengan rumah Senja sekitar empat puluh lima menit. Kalau Senja harus melaju, pulang pergi, ia yakin tak akan sanggup. Yang ada, baru beberapa hari bekerja tubuhnya akan tumbang.
Tangan Senja terulur untuk mengelus pelipisnya. Di sana terasa berdenyut.
Nenek bisa saja ikut dengan paklik. Tapi Rifki, bagaimana dengan bocah itu? Dia masih kecil dan masih memerlukan bimbingannya.
Kasihan jika Senja tinggal, sudah ditinggal ayah dan ibunya masa Senja juga ikut pergi dari kehidupan anak itu.
Takutnya mental anak itu bisa terganggu.
"Huh, pusing." Senja merebahkan dirinya di atas kursi panjang. Ia memejamkan mata, berusaha menghilangkan rasa pusing yang melingkupi kepalanya.
Baiklah, sebaiknya Senja mencari lowongan kerja di tempat lain.
Ngomong-omong soal kerjaan. Kenapa Senja sampai sepusing ini dalam mencari pekerjaan, bukankah ia masih bekerja di pabrik? Jawabannya karena Senja tidak yakin kontraknya akan diperpanjang. Mengingat reputasi Senja yang sering kali terlambat.
Senja tak mungkin tidak bekerja, kebutuhan semakin banyak. Apa lagi, kejadian preman yang beberapa hari ini membuat Senja tak tenang dalam menjalani harinya. Hutang yang bapaknya tinggalkan adalah dorongan terbesar untuk Senja mencari pekerjaan yang menghasilkan lebih banyak uang.
Senja terus mencari. Ia sudah mendapat beberapa persero, secepatnya Senja akan memasukkan lamaran ke sana. Posisi? Tentu saja yang sesuai dengan kemampuan dan pendidikan terakhir Senja.
Selesai dengan kegiatannya itu, Senja mengemasi koran yang berserakan. Tangannya berhenti di udara kala melihat laman lowongan kerja di perusahaan produksi makanan tadi. Ternyata Senja belum sempat menekn tombol kembali.
Ada rasa tidak rela pada diri Senja, saat ia ingin menghapus halaman itu. Tangannya bergerak ingin menekan tombol kembali tapi hatinya tak rela.
"Oke, kita coba buat daftar."
Pada akhirnya, Senja masuk ke website pendaftaran online perusahaan itu. Walau ia hanya melamar sebagai office girl, cara untuk mengajukan lamaran ternyata sama seperti bagian lain.
biarlah, Senja mencoba. Toh, belum tentu juga Senja diterima.
Dari ratusan bahkan ribuan orang pasti hanya orang beruntung yang bisa diterima.
Dengan gerakan lincah, tangan Senja melengkapi data dirinya. Ia juga mengunggah beberapa dokumen yang diperlukan seperti ijazah, kartu tanda penduduk, dan kartu keluarga, tak lupa surat cakap dari kepolisian.
"Done!" Senja tersenyum.
Huh, apa pun hasilnya setidaknya Senja sudah mencoba. Ia tak akan menyesal.
Hari sudah melewati waktu Magrib. Senja memutuskan untuk mengambil air wudu sebelum menjemput Rifki di rumah sebelah.
Walau hanya di rumah sebelah, tentu saja Senja tak bisa membiarkan Rifki bermain sampai sepetang ini. Kata orang dahulu, bisa pamali.
Dalam solatnya, Senja terus berdoa. Ia berharap Allah memberinya jalan yang paling baik, agar Senja bisa melewati semua rintangan di hidupnya dengan lancar.
Juga, Senja meminta agar dirinya selalu diberikan ketabahan dan kekuatan untuk menghadapi semua.
Selesai salat, Senja ke luar rumah. Ia berjalan pelan ke rumah yang ada di sebelah rumah neneknya, yaitu rumah sang paklik.
"Mas, tolonglah. Keluarga kita juga butuh uang! Mona sudah mau masuk sekolah menengah. Kebutuhan semakin banyak!"
Suara itu membuat Senja menghentikan langkahnya. Itu suara bulik.
"Abangmu itu benar-benar beban keluarga!"
Deg!