"Aku Senja."
Langit mengangguk, ia tersenyum kecil saat menyadari satu hal. Nama mereka berhubungan dengan hal yang ada di angkasa.
"Kamu berangkat jam berapa?"
Hah! Senja seketika melihat jam yang ada di dinding. Astaga, waktunya sangat mepet.
"Duh, maaf sepertinya aku harus berangkat sekarang."
"Tak apa, segeralah berangkat nanti bisa terlambat."
Senja mengangguk. Kalau sampai dia terlambat hari ini, sia-sia perjuangannya tadi.
"Kamu yakin, enggak mau telfon keluargamu?" Tanya Senja sekali lagi.
Sungguh, Senja nanti tidak akan bisa tenang karena meninggalkan orang sakit di rumah, mana ada dua lagi. Nenek dan Langit.
Oh ya, bagaimana nanti jika paklik mencoba masuk ke kamar ini dan menemukan Langit, bisa gawat. Lebih parahnya, paklik akan mengundang para warga dan menuduh Langit sebagai penyusup. Jangan sampai hal itu terjadi!
Langit terkekeh. "Kan, sudah aku katakan. Aku lupa bukan tidak mau."
"Huh, baiklah."
"Em, sepertinya pintu kamar ini harus aku kunci, rumah Pamanku ada di samping, biasanya beliau datang untuk menemui Nenek. Dari pada kamu ketahuan, lebih baik aku kunci saja."
"Ya, silakan. Kunci saja."
Senja mengangguk, dia melihat ke arah Langit sekali lagi sebelum pergi. Semoga tidak terjadi infeksi pada luka lelaki itu.
***
Langit menatap jam yang ada di dinding. Pukul setengah delapan. Pasti mereka sedang mencari dirinya.
Krucuk!
Perut Langit berbunyi, dia menoleh ke arah semangkuk bubur yang ada di atas meja. Sepertinya sangat enak.
Dengan susah payah, Langit berusaha untuk menjangkau mangkuk itu. Dia harus bisa karena tadi sudah menolak kebaikan Senja untuk menyuapi dirinya.
"Kau terlalu jual mahal, Langit. Lihat, untuk makan saja kau masih kesusahan."
Meski begitu, Langit bisa menjangkau dan meletakkan mangkuk itu di atas pahanya.
"Astaga, kenapa lelah sekali padahal hanya bergerak mendapatkan mangkuk ini."
Langit memegang mangkuk itu dengan tangannya yang sakit. Lalu mulai menyendokkan ke mulut dengan tangan yang bebas.
Hitung-hitung melatih kekuatan tangan Langit.
"Lihat saja kalian, kalian pikir aku akan diam saja. Tidak! Aku akan membuat perhitungan pada kalian."
"Aw! Sssh!"
Langit meringis saat lengannya yang sakit terasa nyeri. Sepertinya Tuhan tidak menyukai niatan Langit untuk balas dendam.
Selesai dengan makannya, Langit berusaha untuk meletakkan kembali mangkuk itu ke atas meja.
Bertepatan dengan usahanya, terdengar suara dari kamar samping.
"Iya, Buk. Senja lagi kerja, memang tadi enggak pamit?" Suara lelaki.
Dan Langit tebak, dia adalah pria yang dimaksud Senja tadi, paman gadis itu.
"Aamiin, doakan terus ya, Bu."
Prang!
Pegangan Langit pada mangkuk itu terlepas. Alhasil mangkuk itu terjun bebas ke lantai dan membuat bunyi nyaring yang memekakkan telinga.
"Eh, apa itu?"
Langit menggelengkan kepala. Kenapa harus jatuh sih, padahal dia sedang ada paman Senja di kamar sebelah. Mana tadi, Langit sempat mendengar jika lelaki itu heran dengan bunyi mangkuk jatuh ini.
"Sebentar, Bu. Aku cek di kamar sebelah dulu."
Gawat, jadi lelaki itu ingin masuk ke sini.
Terdengar suara langkah seseorang. Langit melihat ke bawah pintu, bayangan di sana menunjukkan kalau ada orang di balik pintu itu.
Klek!
Klek!
"Loh, kenapa di kunci?"
Klek!
Klek!
"Tumben dikunci?"
Langit terus menatap ke bawah celah pintu. Gagang pintu terus bergerak, artinya orang itu masih berusaha untuk membuka pintu ini.
"Tumben sekali dikunci oleh Senja. Dan bunyi tadi, bukannya berasal dari kamar ini?"
Paklik bergumam. Tentu saja dia penasaran dengan asal suara tadi.
"Apa aku hanya salah dengar? Tapi itu tadi sangat nyata." Semakin dibuat bingung Paklik.
"Semoga saja memang salah dengar. Dan kalau pun ada orang lain di rumah ini, tentu saja aku akan tahu. Aku bahkan selalu terjaga untuk mengawasi rumah ini."
Paklik meyakinkan dirinya bahwa suara tadi hanya salah dengar. Dia tidak mau menghabiskan waktu untuk mengurus bunyi tadi.
Langit dapat bernafas lega ketika bayangan paman Senja sudah tidak ada.
Astaga, ini lebih mendebarkan dari pada uji kekuatan fisik yang biada Langit lakukan.
***
Pukul dua belas siang, Langit merasa lengannya yang sakit sudah terasa nyaman. Dia melihat ke bawah, di mana pecahan mangkuk itu berada.
Dia harus membersihkan hal itu. Bisa-bisa, Senja terkena pecahan mangkuk. Duh, semakin tidak enak hati Langit. Sudah ditolong kini malah memecahkan barang, dan semua itu karena dia terlalu percaya diri bisa sendiri.
Langit mengumpulkan tenaganya, dia tidak mungkin terbaring di tempat tidur ini terus. Dia harus menggerakkan badannya yang pasti kaku karena baru saja mendapatkan accident.
"Ugh!" Langit berusaha menekuk kakinya. Terasa sangat sakit di sana.
Tentu saja, mereka dengan brutal menginjak kaki Langit. Dengan sisa tenaga, tadi malam Langit kabur. Semula dia berjalan lalu tak kuat dan akhirnya merangkak.
Bayangan kejadian semalam terlintas di kepala Langit. Hampir saja dia meregang nyawa karena tindakan bodohnya.
"Kau harus kuat, Langit. Ingat kau ini komandan."
Langit berusaha untuk berdiri dengan kedua kaki.
"Aw! Huh! Ayo Langit, kau pasti bisa."
Langit berusaha untuk berjalan tapi baru ingin mengayunkan kaki, tubuhnya oleng dan kembali terduduk.
"Huh, bisa. Kamu pasti bisa Langit!"
Dan akhirnya setelah percobaan ke dua, Langit bisa berjalan sendiri. Dia berusaha untuk melemaskan kaki dengan berjalan kecil menuju dinding.
Yang pasti menghindar dari pecahan mangkuk tadi.
"Tuhan, maafkan aku jika terlalu gegabah tadi malam. Tapi izinkan aku untuk menegakkan keadilan."
Langit menatap ke arah pecahan mangkuk. Tentu dia harus membereskan kekacauan yang telah dibuat. Dengan pelan, Langit jongkok lalu memungut pecahan mangkuk yang terbelah menjadi tiga itu.
Selesai mengumpulkan pecahan itu, Langit kini berdiri seraya berpegangan pada meja.
Di atas meja juga ada foto usang seorang pria. Apa ini adalah foto ayahnya Senja? Mengingat wajah Senja dan lelaki ini mirip.
"Hem, mungkin saja." Gumam Langit.
***
Senja sedang berada di depan mesin jahit pegangannya. Dia membersihkan mesin itu, agar saat menjahit garment yang dia buat tidak terkena noda.
Jam istirahat sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Tapi seperti biasa, Senja tidak akan ke kantin. Lebih baik uang itu untuk beli jajan, snack, camilan Rifki.
"Astaga!" Senja memekik. Dia baru tersadar satu hal. Bagaimana caranya lelaki itu, Langit untuk makan dan minum.
Dan yang lebih parah, Senja telah mengunci pintu kamar. Jadi sangat tidak mungkin bagi Langit untuk berjalan dan mengambil makanan di luar kamar.
"Ya Tuhan aku harus bagaimana. Kalau izin pasti aku akan dipecat."
Senja tidak tenang. Bagaimana cara Senaja agar bisa ke rumah tanpa dirinya ditegur?
Semoga tidak tejadi sesuatu dengan lelaki itu