Satu minggu semenjak lelaki yang bernama Langit itu pergi, Senja melewati hari-harinya seperti biasa.
Bekerja, menyiapkan keperluan rumah, seperti itu terus.
Kini yang menjadi beban adalah tentang perpanjangan kontrak. Senja tidak yakin dia akan diangkat menjadi karyawan tetap.
Reputasinya sudah buruk sejak awal. Dan jika sudah buruk, bahkan kebaikan segunung pun tidak bisa menghilangkan reputasi itu.
"Mbak Ja, Rifki enggak mau sekolah."
Gerakan tangan Senja yang sedang memakaikan baju nenek terhenti.
Kenapa mendadak bocah kecil itu tidak mau sekolah? Ada apa?
"Kok enggak mau? Memang ada masalah apa?"
Senja berusaha untuk mempercepat gerakan tangannya. Dia melirik ke arah jam yang ada di dinding, pukul enam.
Minggu ini, Senja akan masuk pukul tujuh. Dan entahlah, apakah ini akan menjadi hari terakhir Senja bekerja di pabrik garment itu.
"Kenapa, Cil?"
Senja mendekati Rifki yang masih berdiri di dekat pintu. Bahkan bocah itu baru saja bangun dan langsung buang air kecil saat Senja akan mengganti popok nenek.
Rifki hanya menggeleng sebagai jawaban. Lelaki muda itu mengucek matanya.
"Loh, kalau enggak ada alasan yang tepat, Rifki harus sekolah dong. Mau tinggal kelas? Tahun ajaran depan, Rifki sudah kelas satu."
Rifki sepertinya memikirkan perkataan Senja, terbukti bocah itu terdiam seraya memilin ujung baju.
Senja bisa merasakan jika bocil di hadapannya ini sedang sedih.
"Hua!" Sedetik kemudian, Rifki menangis.
Nenek menoleh, beliau tentu saja panik saat melihat buyutnya menangis.
"Enggak apa kok, Mbok. Ini cuman rewet seperti biasanya, enggak mau sekolah."
Senja berusaha menenangkan hati Nenek. Dia tidak mungkin membiarkan nenek ikut kepikiran.
Dengan gerakan cepat, Senja langsung menggendong Rifki dan membawa bocah itu ke ruang depan.
Senja tak lantas menanyakan apa yang terjadi, dia duduk dan membawa Rifki ke pangkuannya.
Mengelus punggung kecil itu dan membiarkan Rifki menumpahkan segala kesedihannya.
Rifki ini tipe bocah yang kuat. Kalau bukan karena sesuatu mengusik hatinya, pasti Rifki tidak akan sesedih ini.
"Minum dulu." Senja menyerahkan satu gelas air putih yang selalu disedikan di depan.
Rifki mengusapkan ingus ke baju Senja. Untung saja, Senja belum ganti baju kerja.
"Kemarin Bu Guru bilang perpisahan nanti bawa orang tua."
Senja mendengarkan kalimat terbata yang ke luar dari mulut mungil Rifki.
"Terus?"
"Katanya, nanti ada sesi foto sambil bawa surat kelulusan bareng ayah sama Ibu."
Oh, seperti itu. Senja sepertinya mengetahui apa yang terjadi hari ini.
Memang benar, taman kanak-kanak telah menyelesaikan semua materi. Dan baru tiga hari ini selesai pengambilan nilai.
"Rifki sedih karena enggak ada Ibu sama Ayah?"
Kepala kecil yang sedang menempel di tubuh Senja itu mengangguk. Dia kembali menangis, karena saat ini tubuhnya bergetar sedikit.
"Rifki pingin kayak temen-temen. Ada Ayah sama Ibu. Rifki pingin dianter, dijemput, sama foto bersama Ibu dan Ayah."
Hati Senja rasanya teriris. Anak sekecil Rifki, mengucapkan kalimat yang sangat menyayat hati. Sekuat tenaga, Senja mencurahkan kasih sayang pada Rifki tetap saja peran dan kehadiran orang tua dirindukan oleh Rifki.
"Cup! Cup! Jagoan harus kuat! Rifki anak baik yang istimewa." Senja mengelus pelan kepala Rifki.
Senja tidak marah, karena Senja bisa merasakan apa yang Rifki rasakan. Jangankan, Rifki yang anak kecil, bahkan dirinya sebesar ini terkadang iri dengan kasih sayang yang didapat anak lain.
Kasihan sekali, padahal Senja selama ini selalu berdoa agar kisahnya tidak berulang tapi kini malah Rifki yang mengalaminya.
"Oke, Mbak Ja janji bakal telefon Ibuk sama Ayah. Biar nanti mereka pulang saat perpisahan Rifki, jadi Rifki bisa foto bareng."
Wajah Rifki mendongak. Senja melihat harapan yang besar dari kedua bola mata Rifki.
"Janji, Mbak Ja?"
Senja mengangguk yakin. Walau kedua orang tua Rifki sangat sulit untuk dihubungi.
"Kalau mereka enggak bisa datang bagaimana?"
Senja kembali mengelus kepala Rifki.
"Mereka datang atau tidak, Rifki harus siap dengan semua itu. Ingat, Ibu dan Ayah bekerja untuk Rifki. Jadi nanti kalau Ibu sama Ayah tidak bisa datang, Rifki enggak boleh marah, yang terpenting kita sudah berusaha untuk hubungi mereka dahulu."
"Oke, Mbak Ja."
"Baiklah, Rifki. Hari ini kamu harus ke sekolah, walau tidak ada pelajaran, Mbak Ja yakin Bu Guru sedang menyiapkan sebuah permainan."
"Permainan apa, Mbak Ja?"
Oke, sepertinya kesedihan Rifki sudah teralih. Lihat saja, sekarang badannya sudah tegak tidak gelendotan seperti tadi.
"Kucing-kucingan mungkin." Senja menyebutkan nama permainan yang sangat disukai Rifki. Bocah ini sangat suka dengan permainan yang berhubungan dengan kejar kejaran.
"Rifki mau sekolah!"
***
Sampai di pabrik. Lima menit sebelum masuk, rasanya sangat dag dig dug ser.
Masa, di hari pengumuman pengangkatan karyawan Senja terlambat.
Tapi mungkin ini sudah dihitung terlambat. Lihat saja banyak operator yang sudah menancap gas. Tentu saja mereka sedang kejar target atau sedang banyak vermakan.
Senja segera ke kursinya. Dia mengambil kain perca dan membersihkan mesin. Mesin yang mungkin sebentar lagi akan berpisah dengan Senja.
"Senja, selesai jam kerja. Kamu menghadap HVBP." Sang supervisor yang selama ini selalu menguji mental Senja tiba-tiba berbicara seperti itu.
"Baik, Bu."
Senja kembali melanjutkan pekerjaannya.
Beberapa teman yang ada di satu line Senja menoleh ke arahnya lalu mulai berbisik.
Pastilah mereka sedang membicarakan Senja yang sebentar lagi akan lengser.
Sudahlah, mungkin ini adalah jalan terbaik bagi Senja. Lama ada di tempat ini pun, Senja akan terus terkena mentalnya.
Sebenarnya pekerjaan bisa Senja atasi, tapi lingkungan kerja Senja begitu membuatnya kena mental.
***
Senja berjalan dengan pelan. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Jalan ini akan menjadi saksi bisu bagaimana Senja berlari agar bisa absen tepat waktu.
Bangunan ini akan menjadi kenangan bagi hidup Senja. Menjadi salah satu tempat yang pernah Senja kunjungi di di hidupnya.
Senja kembali tersenyum saat mengingat pertama kali Senja datang. Semua tampak mudah, Senja pikir dia bisa lolos dan menjalani dengan mulus tapi yang namanya bekerja dengan orang banyak yang memiliki pemikiran berbeda merupakan tantangan tersendiri.
Dituntut untuk menyesuaikan diri. Senja tidak mampu untuk hal itu, sebagian dari dirinya adalah sifat yang diturunkan oleh sang bapak, keras kepala. Tapi di tempat ini, hal itu tidak berguna.
Senja menoleh, dia melihat pintu masuk gedung dua pabrik ini.
Saksi bisu bagaimana Senja berjuang.
Huh, baikalah mungkin memang rezeki Senja di sini sampai hari ini saja.
Senja percaya bahwa sepanjang nafas berhembus kesempatan untuk mencari uang masih ada.
"Semangat Senja, kamu sudah melakukan yang terbaik."
Ya, Senja tidak menyesal. Biarkan semua berjalan semestinya Senja tidak akan memaksa.