Chereads / Senja di Langit / Chapter 18 - Wisuda

Chapter 18 - Wisuda

Pukul lima pagi, dan rumah Senja sedang ribut dipenuhi oleh suara Rifki.

Rifki, lelaki kecil itu sedang ribut masalah persiapan menuju sekolahnya. Ya, hari ini adalah hari di mana Rifki resmi lulus dari taman kanak-kanak.

"Mbak Senja, ayo bangun! Ayo!"

"Aduh!"

Senja tak bisa menutupi rasa sakitnya, kala Rifki memukul pantatnya. Bocah ini kalau sedang semangat, semua benda yang ada di hadapannya ditabok.

"Duh, Rifki! Sembarangan pukul bokong!"

"Bentar, dong! Ini loh, airnya belum panas."

Senja sedang memanaskan air untuk Rifki mandi, agar anak itu tidak kedinginan mandi sepagi ini. Bahkan Senja baru selesai salat subuh, dan lelaki kecil ini ribut ingin segera mandi.

"Ih, Mbak Ja! Kok malah jadi reog! Kan, Rifki cuman minta mandi, Mbak Ja enggak perlu bujuk Rifki kayak biasanya."

Senja menepuk kepala pelan. Bahasa dari mana itu? Reog? Hei! Yang benar saja, Senja secantik ini dikatakan sedang ngereog?

Cantik kalau dilihat dari sedotan maksudnya.

"Idih! Udah sana, duduk dulu. Acaranya masih jam delapanan. Kalau mandi sekarang nanti keringetan lagi!"

"Tapi, Rifki mau baca puisi, Mbak!"

Sedetik kemudian, Rifki menutup mulut. Astaga! Apa dia baru saja membuka rahasia.

"Puisi? Puisi apa?"

"Ah, apa sih. Siapa yang ngomong puisi, kalau begitu, Rifki bobok lagi aja."

Rifki berlari keluar dapur. Dasar mulut tidak bisa diajak kompromi. Kan, ini kejutan kenapa Rifki malah bilang ke Senja.

Senja menggeleng pelan. Dia mematikan kompor yang sedang memanaskan air.

Syukurlah masih bisa diberitahu. Sepagi ini memang mau membantu panitia menyiapkan snack?

***

"Mbak Ja. Cepat!"

"Mbak Ja!"

"Heh! Jangan teriak-teriak! Mbah Yut kaget nanti."

Rifki menutup mulut.

Senja memperhatikan penampilan Rifki dari atas sampai bawah. Tampan sekali.

Baju batik, celana bahan cokelat. Sungguh perpaduan yang sempurna untuk Rifki.

"Mbak Ja, kok Om Langit belum sampai?"

Langit? Astaga, Senja baru ingat lelaki itu, tentang janji lelaki itu yang mau menemani Rifki.

Jam menunjukkan pukul setengah delapan kurang, tapi lelaki itu tak kunjung datang.

"Mbak Ja, coba telefon Om Langit! Suruh cepat ke sini!"

Senja mendengkus. Bocah ini sudah seperti bos saja, menyuruh ini itu. Apa tadi? Telefon? Mau telefon ke nomer mana, Senja saja tidak punya nomer ponsel Langit.

"Enggak bisa, Mbak Ja enggak punya nomernya."

"Ha? Kok bisa?"

"Ya, bisalah. Ini buktinya."

Rifki mengernyit. Bukankah mereka berdua adalah teman.

"Gimana sih, Mbak Ja. Masa nomernya teman sendiri tidak punya."

"Suka-suka Senjalah."

Tidak mungkin, Senja meminta nomer ponsel Langit bukan?

***

Delapan kurang sepuluh. Waktunya sangat mepet, dan Langit belum juga menuju rumah Senja.

"Mbak Ja, Om Langit bohong ya." Wajah Rifki sudah tertekuk. Kasihan sekali, tapi bagaimana lagi kalau ini kenyataannya.

"Mungkin Om Langit sibuk. Sudah yuk, kita berangkat. Nanti terlambat, pamit sama Mbah dulu."

Rifki mengangguk. Bahu bocah itu merosot, semangatnya untuk menghadiri acara ini hilang.

Senja menoleh ke pintu rumahnya. Tidak ada tanda-tanda, Langit akan muncul.

Huh, memang sudah seharusnya Senja tidak menaruh harapan pada lelaki itu.

Langit dan segala dunianya merupakan misteri.

***

Senja membantu Rifki untuk turun dari motor. Suasana tempat parkir sudah penuh dengan kendaraan dari wali murid.

Tentu saja, di acara perpisahan. Sekolah akan menampilkan pertunjukan yang dibawakan oleh murid taman kanak-kanak, ada juga persembahan dari kelas Rifki.

"Wah, sebentar lagi mulai. Ayo, Rifki!"

Senja menarik tangan Rifki, membawa bocah itu melalui pintu masuk. Walau wajahnya masih cemberut, Rifki mencoba untuk tersenyum saat teman dan gurunya meminta Rifki untuk bersiap ikut dalam pementasan.

Senja duduk di kursi pinggir. Tempat ini yang strategis untuk melihat ke arah panggung.

Pertunjukkan pertama adalah menyanyi dan menari. Semua siswa diikut sertakan.

Tak lupa Senja mengambil video sebagai kenang-kenangan, juga untuk

dikirimkan ke orang tua Rifki.

Huh, mereka berdua seakan tak menganggap Rifki.

Acara yang hanya bisa terjadi sekali seumur hidup, tidak bisa mereka datangi. Kurang ajar memang!

Untung ada Senja dan nenek buyut sebagai penyemangat utama bagi Rifki.

"Baiklah, selanjutnya akan ada pembacaan puisi. Penampil kali ini adalah saudara Rifki Nur."

Eh? Apa tadi? Rifki Nur?

Bukankah nama itu adalah keponakannya.

Senja melihat Rifki yang maju satu langkah, bahkan lelaki kecil itu sedang menghela nafas bersiap membacakan puisi. Jadi yang tadi pagi itu, dia keceplosan.

Lucu sekali Rifki ini. Andai anak itu adalah anak kandung Jihan, pasti Rifki menjadi anak terbahagia.

"Malaikat penolongku!"

Suara Rifki menggelegar. Memenuhi aula yang disulap menjadi acara perpisahan.

"Malaikat penolong? Pasti itu kamu!"

"Astaga!"

Hampir saja Senja berteriak. Senja menoleh dan mendapati Langit sudah duduk di sampingnya.

"Langit?"

"Ya? Maaf, tadi ada sedikit masalah. Jadi terlambat deh. Tapi sepertinya masih bisa lihat Rifki, apa lagi mau tampilkan puisi ya."

"Iya, ini kayaknya kejutan. Soalnya dia enggak ada kasih tahu aku."

"Dia juga sedih tadi karena kamu enggak datang. Dia pikir kamu bohong." Lanjut Senja.

"Aku bukan lelaki seperti itu. Bohong bukan keahlianku."

Senja menoleh. Benarkah? Lalu maksud dari tidak ingin bertemu Senja lagi itu apa?

***

"Mbak Ja. Ayo foto di situ!"

Acara telah selesai. Anugerah lagi, Rifki mendapat peringkat pertama. Luar biasa bukan?

Sudah pasti karena didikan Senja, tidak mungkin salah lagi.

"Eh, oke. Sebentar."

"Ayo, Om!"

Rifki dengan semangat menarik tangan Senja dan Langit. Sungguh seperti keluarga kecil yang sedang menemani anak sulungnya wisuda.

"Nah, ayo!"

Senja dan Langit mulai berpose. Ya tentu saja sedikit canggung karena mereka memang tidak sedekat itu.

"Ayah dan Ibu. Ayo lebih dekat!"

Idih, fotografernya minta ditabok apa gimana?

Saat ini Rifki ada digendongan Langit. Lalu Langit dan Senja disuruh mendekat?

Tidak! Senja tidak bisa!

Grep!

Tangan Langit merangkul Senja.

"Oke, sip!"

Satu!

Dua!

Tiga!

Cekrek!

Senja tersenyum dengan kaku.

***

"Terima kasih ya, Om." Rifki terus mengatakan itu semenjak pulang dari acara.

"Iya, Rifki. Om juga minta maaf karena terlambat. Oh ya, ini ada hadiah buat kamu."

Saat ini Langit sedang berada di rumah Senja. Langit naik mobil bersama Rifki, dan Senja menaiki motor.

"Wah!"

"Bilang apa, Rifki!"

"Terima kasih, Om."

Wajah Rifki berbinar. Rasanya sangat senang.

"Om, Rifki senang sekali hari ini. Rifki punya foto sama Om dan Mbak Ja."

Senja mengelus kepala Rifki pelan. Kasihan anak ini.

"Oh ya, Om. Kan, Om sama Mbak Ja teman. Kok Mbak Ja, enggak punya nomer hp, Om."

Gawat!

Rifki dan mulut tidak bisa dikontrolnya sedang beraksi.

"Tadi, Mbak Ja. Mau hubungi Om tidak bisa."

Aduh! Rifki!

"Oke, nanti Om kasih nomer ponsel ke Mbak Ja."

Sialan!