Pengangguran, Senja resmi menjadi pengangguran hari ini. Rasanya sangat lega karena tidak memiliki tanggungan lagi.
Tanggungan seperti vermakan dan juga jahitan. Sungguh kedua hal itu sering membuat kepala Senja berdenyut.
Tapi tidak apalah, mungkin ini menjadi salah satu pengalaman agar Senja menjadi pribadi yang lebih cekatan nantinya.
Senja menoleh ke arah nenek yang sedang tertidur, juga Rifki yang sedang berada di rangkulannya.
Demi menyambung nyawa dan untuk kedua orang ini, Senja harus terus bekerja. Keperluan terus ada, kebutuhan menantin untuk Senja tuntaskan. Meski ada pesangon dari pihak pabrik, tapi itu akan terus berkurang jika Senja tidak Bekerja.
Senja menunduk. Mengelus kepala Rifki yang orangnya sedang tertidur pulas.
Anak sekecil ini harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Semua karena sifat egois kedua orang tua Rifki.
Padahal di desa juga ada pekerjaan jika orang itu mau bertanya di sekitar.
"Nanti, Mbak Ja telfon Ibu sama Ayah ya, Cil. Kalau Ibu sama Bapak kamu lagi seret ya sudah masih ada Mbak Ja."
Senja mendaratkan ciuman ke kening Rifki.
Bocah ini sama seperti dirinya, kalau tidur seperti kebo, tidak akan terbangun walau ada suara ledakan sekeras apapun. Yang bisa membangunkan ya karena keinginan sendiri atau air.
"Kenapa dulu kamu itu enggak jadi anakku saja sih, Cil? Jadi kamu enggak perlu kehilangan sosok orang tua."
"Eh, tapi siapa nanti Bapaknya?"
Senja tertawa sendiri. Aneh saja pikirannya ini, lalu siapa ayah Rifki nanti? Lee min ho, kah?
***
Tut!
Tut!
Tut!
Suara telefon yang sedang menunggu untuk diangkat oleh orang di seberang sana. Senja menunggu dengan sangat sabar, melebihi sabarnya saat dibentak atau dimarahi oleh sang atasan waktu di pabrik.
Huh, pabrik itu benar-benar tempat Senja melatih mentalnya. Mental, kecepatan, keberanian Senja diuji di sana.
"Enggak diangkat Mbak Ja?"
Senja menoleh pada Rifki yang kini baru saja bergabung. Kasihan, wajah Rifki sangat ketara jika bocah itu kecewa.
"Sabar ya, ini baru percobaan pertama. Nanti sore, kan bisa atau nanti malam. Mungkin Ayah sama Ibu lagi sibuk bekerja."
Senja sebenarnya tak mau memberikan harapan. Dia sudah sangat hafal dengan tabiat kakaknya, yang suka sekali lepas tanggung jawab tidak tahukan kakaknya itu mengenai masa pertumbuhan anak.
Masa pertumbuhan anak tidak bisa diulang lagi tapi kenapa masih ada orang tua contohnya kakaknya sendiri suka sekali mengabaikan sang anak.
"Sudah, Mbak Ja. Kalau memang tidak bisa mending Mbak Ja yang ambil saja ya."
Senja mengangguk. Ya mau bagaimana lagi, mungkin ini yang terbaik.
"Oke, Cil. Ingat enggak boleh marah, sabar ya, pasti Ibu sama Ayah sedang sibuk kerja buat jajan sama sekolah Rifki."
Astaga, padahal satu rupiah pun keluarga kecil kakaknya tidak pernah mengisi kantong untuk biaya hidup Rifki. Semua murni berasal dari keringatan Senja. Tidak apa, Rifki sudah seperti anaknya sendiri.
Oleh karena itu, Senja harus bekerja karena mungkin itu waktu yang tepat.
"Iya, Mbak Ja. Terima kasih, Mbak Ja. Maaf Rifki merepotkan."
Ya Allah, anak sekecil ini sudah tahu apa artinya maaf terima kasih dan merepotkan. Senja sangat bangga dengan Rifki, semoga dia tidak menjadi pengangguran seperti dirinya, Senja bertekad untuk menabung agar Rifki bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi.
Dihancurkan oleh kenyataan cukup Senja saja yang mengalami.
"Enggak kok, Rifki selalu jadi anak baik yang nurut dan tidak neko-neko."
***
Pukul tujuh pagi, Senja sudah berada di salah satu toko emas yang ada di kecamatan ini. Tepatnya, toko emas ini ada di dekat pasar.
Senja menunggu giliran dipanggil. Dia selalu mendapat urutan paling akhir, entah kenapa selalu seperti ini. Padahal Senja datang lumayan awal, mungkin bagian HRD memanggil sesuai abjad.
"Senja Kirana."
Senja sontak berdiri. Oh, ternyata dia sudah dipanggil. Semoga saja Senja bisa terpilih. Dengan membenarkan sedikit bajunya, Senja masuk ke kantor itu.
Hawa dingin langsung menusuk ke kulit Senja, rasanya begitu dingin di ruang berpendingin ruangan ini.
"Selamat siang, Pak."
Huh, ternyata petugas seleksi hari ini laki-laki, sebenarnya tidak masalah mau lelaki atau perempuan yang penting Senja bisa lolos.
"Selamat siang, Saudari Senja Kirana."
"Betul, Pak. Saya Senja Kirana."
Senja menjabat tangan lelaki paruh baya yang ada di hadapannya. Mereka dibatasi oleh sebuah meja kayu.
Senja tidak duduk, sesuai dengan informasi yang dia peroleh dari internet. Jangan duduk sebelum petugas memberikan arahan.
"Silakan duduk, Mbak Senja!"
Nah, barulah Senja duduk.
"Baik, terima kasih, Pak."
Dan mulailah wawancara kerja itu. Pengalaman kerja, dan kehidupan sehari-hari Senja ditanyakan.
"Baik, Mbak Senja. Terima kasih sudah hadir dan ikut serta test wawancara untuk perusahaan ini. Lulus atau tidaknya akan kami umumkan melalui email. Dan perlu saya informasikan bagi yang lolos test ini akan mengikuti training di perusahaan pusat selama tiga bulan."
Deg!
Training di pusat. Pusatnya di daerah mana? Astaga, Senja tidak tahu tentang hal ini. Mau bertanya pusatnya di mana, tapi nanti malah menunjukkan jika Senja ini kurang persiapan.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Test wawancara hari ini selesai. Senja segera pulang. Selepas ke luar dari gedung itu, Senja segera mencari informasi di mana pusat perusahaan emas ini.
"Hah? Jakarta?"
Senja mengerjap pelan. Jakarta. Jauh sekali. Kalau Senja lolos bagaimana? Siapa yang mau mengurus nenek dan Rifki.
Selama tiga bulan? Kenapa lama sekali.
"Eh, tapi belum tentu aku lolos, kan?"
"Tapi kalau enggak lolos, aku kerja di mana?"
Ah! Pusing!
Senja beranjak dari halaman gedung itu. Dia sudah tak semangat seperti tadi pagi. Padahal sebelum berangkat, Senja begitu bersemangat. Dia salat tahajud, dan juga salat dhuha. Berharap bisa lolos dan mendapat pekerjaan.
Langkah Senja membawanya ke sebuah toko swalayan. Sepertinya air minum dapat membuat pikiran Senja tenang.
"Selamat pagi, selamat berbelanja!" Sapaan dari pekerja di swalayan itu membuat Senja tersenyum.
Hem, apa toko ini membuka lowongan ya.
Kaki Senja melangkah, bukannya langsung ke tempat minuman, Senja justru berputar ke seluruh stand yang ada.
Dinginnya AC membuat Senja berpikir untuk menyejukkan badan. Lelah sekali wawancara hari ini.
Meski tidak menunggu selama biasanya, tetap saja duduk dengan hati yang was-was membuat Senja lelah.
Selesai berkeliling tanpa mengambil barang, Senja menuju stand minuman. Minuman dingin bukan pilihan Senja, karena sebenarnya Senja tidak bisa minum es. Punya radang.
Tangan Senja terulur untuk mengambilnya, bertepatan dengan sebuah tangan yang juga mengambil botol itu.
Karena tangan Senja yang ada di atas, otomatis orang itu yang lebih dulu. Senja melepas pegangan tangannya.
"Eh, maaf-"
Deg!
Lelaki itu.
"Saya yang minta maaf. Loh, Senja?"