Senja mengerjapkan mata, orang yang ada di sampingnya. Benarkah ini lelaki itu.
'Aku harap kita tidak akan bertemu lagi'
Penggalan surat yang Langit tinggalkan waktu itu memenuhi kepala Senja. Lelaki ini tak mau bertemu dengan Senja lagi.
Segera, Senja beranjak dari sana. Walau tadi Langit memanggil namanya, Senja akan berpura-pura tak mendengar.
Isi kepalanya menyuruh Senja untuk pergi, tapi hati Senja sangat berat melewatkan kesempatan ini.
"Senja?"
Baru saja dua langkah, tapi lelaki ini kembali memanggil Senja.
"Y-ya?"
Kening Langit mengkerut. Ada apa dengan Senja, apa dia salah orang tapi kalau dilihat dengan saksama memang ini Senja, wanita yang menolong Langit waktu itu.
"Senja, ini aku Langit."
Senja tersenyum kaku. "Ya, aku ingat."
Ingat juga kala kamu tidak mau bertemu aku, lanjut Senja dalam hati.
"Kamu dari mana?" Langit menatap Senja dari atas sampai bawah.
Bukannya kalau berpakaian seperti ini, identik dengan orang yang sedang melamar pekerjaan. Oh, mungkin Langit sedang berbasa-basi.
"Habis melamar kerja."
Langit mengangguk.
"Oh ya, ini kamu mau ambil minuman ini tadi." Langit mengulurkan botol minum yang Senja dan dirinya pegang tadi.
"Buat kamu saja, aku ambil yang ini. Kalau begitu aku pergi dulu."
Senja berjalan dengan tergesa, dia menuju kasir dan ke luar.
Langit mengerjap. Buru-buru sekali gadis itu. Segera Langit menyusul Senja.
Langkah kaki Senja berusaha untuk cepat.
"Senja!"
Suara Langit terdengar dekat. Lelaki itu mengikuti Senja?
Grep!
Tangan Senja berhasil diraih oleh Langit. Tentu saja, Senja terkeju, dia berusaha untuk melepas pegangan tangan Langit.
"Ada apa?"
Langit merasa ada yang berbeda. Sikap Senja tidak sehangat waktu itu.
"Kamu marah?"
Senja melirik ke sekitar. Mereka sedang berdiri di depan toko swalayan. Kejar-kejaran, seolah sepasang kekasih yang sedang dalam pertengkaran.
"Enggak." Sial kepala Senja malah mengangguk.
Langit tertawa.
Astaga, masih tampan atau malah lebih tampan dari dulu. Kenapa juga tubuh Senja tidak bisa diajak berkompromi.
"Eh, maksudnya aku enggak marah. Memang marah karena apa?"
Buru-buru Senja menjelaskan. Halo, Senja Kirana kalian berdua sudah menjadi orang asing, maksudnya memang orang asing sejak pertama kali bertemu. Duh, apa sih pokoknya gitu dah.
"Aku minta maaf karena pergi gitu aja waktu itu."
Huh, dasar! Sudah membuat orang tidak tenang waktu bekerja. Eh, malah pergi, pakai nulis surat perpisahan lagi!
"Santai saja."
Lain di mulut, lain di hati. Begitu saja terus, sampai harga sembako turun!
"Kamu ada waktu. Aku traktir makan."
"Maaf, aku harus pulang."
Menolak adalah pilihan paling benar.
"Oh, kalau begitu aku antar."
"Tidak perlu, nanti merepotkan."
Langit terlihat menggeleng. "Tidak merepotkan, ayo!"
Tangan Senja ditarik menuju mobil yang ada di tempat parkir swalayan itu.
Ini untung atau buntung. Duh, jantung Senja kenapa malah berdetak sekencang ini.
"Kita langsung pulang?"
Kita? Langsung pulang? Seperti mereka satu rumah saja.
"Em, sepertinya langsung-"
Mata Senja tidak sengaja melihat anak kecil berseragam taman kanak-kanak.
"Rifki! Kita jemput Rifki dulu!"
"Oke."
Senja mengangguk tapi Langit tak kunjung melajukan mobilnya.
"Ada apa?" Pasalnya sejak tadi, Langit terus melihat ke arah Senja.
"Sabuk pengaman."
"Oh! Maaf." Maklum saja, Senja jarang maksudnya tidak pernah naik mobil semewah ini.
***
Senja berdiri di dekat pagar taman kanak-kanak, tempat sekolah Rifki.
Ternyata belum waktunya pulang. Mungkin sebentar lagi.
"Rifki ini anak kamu?"
Setua itu wajah Senja?
"Bu-"
"Senja!"
Suara wanita membuat Senja menoleh, ibunya Sasa, teman Rifki.
"Eh, Mbak Yus."
Wajah mbak Yus penuh dengan pertanyaan. Wanita tiga puluh tahun itu mencuri pandang ke arah Langit.
"Sudah lama kamu, Ja?"
"Baru saja kok, Mbak."
"Sama siapa, pacar kamu ya?"
Senja melotot. Duh, mana mau lelaki tampan ini menjadi pacar Senja. Ada-ada saja ibu dua anak ini.
"Bukan, Mbak. Ini teman aku, Langit namanya."
"Halo, saya Langit." Langit mengulurkan tangan. Dengan wajah semringah Yus menyambut uluran tangan Langit, tidak lupa menyebutkan nama juga.
"Langit kerja di mana? Kok bisa kenal Senja?"
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan Yus. Sudah seperti wawancara dengan orang penting saja.
"Ibuk!"
Gadis kecil dengan kucir dua berlari ke arah mereka. Yus, tentu saja menyambut anak itu dengan senang. Kan, anaknya!
Bahkan wanita tiga puluh tahun itu lupa dengan jawaban yang sudah diujung lidah Langit. Syukurlah, Senja juga panik saat Yus bertanya.
Tapi juga penasaran, apa yang akan Langit berikan sebagai jawaban.
"Sasa, Rifki mana?"
Sasa menoleh, seperti baru menyadari keberadaan Senja.
"Rifki masih di dalam. Tadi nangis."
Senja langsung berjalan ke arah kelas Rifki.
Kenapa dengan bocil kesayangannya itu.
"Kenapa kok bisa nangis, Sa?" Yus mencoba menanyakan sebab Rifki si gembul menangis.
Sasa menggeleng sebagai jawaban.
Langit memilih mengikuti Senja.
"Permisi, Bu."
Ibu? Oh, panggilan itu membuat Yus sadar. Dia ibu dari dua anak, dan masih sempat mengangumi lelaki muda yang memperkenalkan diri sebagai teman Senja.
Langit menyusul Senja yang kini sudah masuk ke kelas dengan tembok bercat warna hijau itu.
"Cup! Cup!"
Senja langsung membawa Rifki ke pelukannya. Membuat guru Rifki yang mencoba menenangkan anak didiknya minggir memberikan ruang.
"Sepertinya, Rifki sedih karena Ibu dan Ayahnya tidak datang besuk."
Senja juga akan sesedih ini.
"Iya, Bu Guru. Terima kasih, maaf merepotkan. Biar Rifki yang saya tenangkan."
Bu guru itu pamit. Pekerjaannya untuk menyiapkan perpisahan besuk masih banyak.
Langit mengangguk sopan kala bu guru lewat.
Langit ikut jongkok seperti yang Senja lakukan.
Senja terus mengelus punggung Rifki. Mau bagaimana lagi, kakaknya tidak bisa datang jangankan datang dihubungi saja tidak bisa.
Sepertinya lelah menangis, Rifki melepas pelukannya. Pandangannya langsung tertuju pada Langit yang kini jongkok di sampaing Senja. Kursi kecil itu tidak mungkin diduduki orang dewasa bukan?
"Om siapa?"
"Temannya, Mbak Ja." Senja yang menjawab.
"Halo, Rifki ya?"
Rifki mengangguk. Bocah itu mengulurkan tangan. Salim.
"Rifki ganteng, Om."
Senja menahan tawa. Sedih pun masih bisa narsis.
"Iya, percaya kok. Kamu mirip Mbak Senja. Om pikir tadi anaknya Mbak Ja."
Langit jadi ikut memanggil Senja dengan panggilan kesayangan Rifki.
"Bukanlah, Om."
"Kenapa kok nangis?"
"Ya, sedihlah, Om."
Langti tak bisa menahan senyumannya, tangannya terulur mencubit pelan pipi Rifki.
"Kenapa sedih?"
"Ibu sama Ayah besuk enggak datang. Padahal Rifki besuk wisuda."
Duh, macam wisuda kuliah saja. Padahal masih TK.
"Ya sudah nanti biar Mbak Ja, sama Om yang datang."
Senja sontak menoleh ke arah Langit. Hei!
"Langit?"
"Wah, serius?"
Langit mengangguk keras.
Rifki meraih tangan Langit dan mencium tangan itu lagi.
"Terima kasih, tapi nama Om siapa?"
"Om Langit." Rifki tersenyum.
"Om ganteng kayak Rifki."
Plak!
Skenario apa ini? Besuk Langit datang ke acara perpisahan Rifki. Katanya tidak mau bertemu Senja lagi? Bagaimana sih?