Senja bekerja dengan perasaan yang tidak tenang. Ya Tuhan, karena dia terlalu buru buru sampai tidak menyiapkan makan untuk si Langit.
Pasti Langit saat ini sedang kelaparan. Apa lagi pintu juga dikunci oleh Senja.
***
Langit menatap jam yang menunjukkan pukul dua belas. Dan sampai pada kondisi ini, dia baru makan sebanyak dua kali.
Bayangkan, dengan keadaan luka seperti ini. Dia bisa menghadapinya dengan perut yang lapar. Sungguh menyiksa sebenarnya.
Baiklah, dia sudah pernah merasakan kelaparan yang lebih dashyat dari pada ini, tapi mungkin bedanya waktu itu Langit dalam keadaan sehat.
Sedangkan saat ini, lengan Langit perlu mendapat jahitan.
"Oke, Langit. Kau sudah pernah menahan lapar lebih lama dari pada ini."
***
Empat jam kemudian, Langit sudah tidak memiliki tenaga duduk. Kini dia berbaring lemas, tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya selain bubur serta air mineral tadi.
Langit manatap jam yang ada di dinding. Semoga Tuhan tidak membiarkan Langit mati konyol seperti ini.
Ceklek!
Suara pintu depan dibuka. Tapi sialnya, Langit tidak bisa tahu siapa yang datang.
Jika itu Senja, maka kelaparan yang dialami oleh Langit akan segera berakhir.
"Tadi ada orang masuk, bukan?"
Hem, padahal Langit dengan jelas mendengar jika ada orang yang masuk tapi kenapa tidak ada suara lain. Keheningan masih menyelimuti karena paklik juga harus bekerja di sawit.
Klak!
Klak!
Langit menoleh ke arah pintu. Dan mendapati Senja ada si sana.
"Langit!"
Senja memburu ke arah Langit. Dia sudah membawa bingkisan berisi makanan.
Senja terus mengatakan kata maaf karena dia Langit jadi lemas seperti ini.
"Maaf, aku kurang peka. Aku tidak menyiapkan makanan untukmu. Maaf."
Tangan Senja sibuk membuka bingkisan yang tadi dia beli. Lalu segera menyuapkan ke arah Langit setelah Senja membantu lelaki itu untuk bangun.
"Pasti badan kamu lemas, bukan?"
Langit mengangguk. Seumur hidup, ini kali pertama bagi Langit.
Padahal dulu waktu di pelatihan, Langit diperintahkan untuk menempuh perjalanan tanpa membawa bekal makanan hanya minum saja.
"Terima kasih, Senja. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu."
***
Terhitung sudah tiga hari, Langit berada di kamar ini.
Tangan Langit menatap ke arah lengannya yang sakit. Di sana sudah tidak terlalu sakit, saat ini lebih baik dari pada kemarin.
Sekarang tugas, Langit adalah bagaimana cara Langit bisa keluar dari tempat ini tanpa Senja atau orang lain tahu alasan Langit diburi oleh kelompok preman itu.
Langit mengamati sekitar, sore hari ini. Senja belum pulang tentu saja, apa lagi ini adalah hari kamis. Kemarin gadis itu sudah bilang jika dia lembur.
Huh, bosan juga di tempat ini. Langit harus bisa ke luar tapi bagaimana caranya.
"Astaga, kenapa aku melupakan hal itu."
Langit menepuk jidatnya. Dia meraih sepayunya yang ada di kolong meja.
Ada suatu benda di sana yaitu GPS, jadi nanti temanku akan melihat titik ku di sini.
Saat di terjatuh dan dipukuli bahkan diinjak, membuat sepatu Langit kotor. Dan juga GPS nya mati.
"Ya Tuhan, semoga ini masih bisa berfungsi."
Langit berusaha menyalakan kembali GPS itu.
Dan-
"Yash, berhasil! Bisa!"
Langit senang. Inilah yang membuatnya tak bisa jauh dari benda berbau tangan Arga.
Karena ulah anak buahnya itu, setiap benda yang mereka miliki selalu mempunyai multifungsi.
***
Senja tidak jadi mengambil lembur. Entah kenapa dia ingin segera pulang
Berkendara selama beberapa menit mengantarkan Senja sampai di rumah. Gadis itu segera masuk ke rumah. Dan menuju ke kamar Langit.
"Loh, astaga?"
Pintu di kamar langit terbuka sedikit.
Senja segera membuka pintu tersebut. Dan menemukan ranjang itu kosong, Langit tidak ada di sana.
Ke mana perginya lekaki itu. Luka lekaki itu memang belum sepenuhnya sembuh, tapi Senja sangat heran dengan tubuh Langit yang begitu kuat menahan sakitnya.
Jika itu orang lain, pasti akan pjngsan dan berakhir di rumah sakit.
Senja melihat ke arah meja. Di sana ada sebuah dari Langit, yang ditulis lelaki itu sendiri.
Senja membaca dengan seksama. Menatap ke arah ranjang yang kini kosong menyisakan selimut serta satu bantal.
"Huh, dia ternyata sudah pergi."
Ada sedikit rasa kecewa di hati Senja karena lelaki itu pergi tanpa berpamitan langsung pada Senja tanpa mengucapkan salam perpisahan.
Senja duduk di atas ranjang. Rasanta masih tidak rela dia pergi tanpa berpamitan langsung padanya.
Lagi pula bagaimana Langit bisa pergi. Dan kenapa lelaki itu kuat sekali membuka kunci pintu.
Semoga jika memang lelaki itu pergi karena tidak bisa terlalu lama ada di sini, Tuhan tolong lindungi dia dan pasti akan menjaga dia.
Senja mencoba untuk tersenyum. Dia juga tidak ada kuasa untuk menahan Langit di sini.
Memang Senja ini siapa, dan berperan apa?
Dari pada terlalu larut dengan perasaannya. Senja memilih untuk membersihkan kamar ini.
Di mulai dari ranjang, Senja akan mengganti sprei bantal dan kasur.
Tapi-
"Kalungnya Langit."
Astaga, kalung dengan ukiran nama Langit di bandul kotanya itu tertinggal. Sepertinya tidak sengaja tertinggal karena berada di bawah bantal.
Senja menggenggam benda itu. Mau diapakan benda ini. Sedangkan Langit sendiri telah menuliskan hal itu.
"Baiklah, aku simpan saja."
Senja mengantongi kalung berwarna perak itu.
Saat Senja sedang menyapu halaman tak sengaja bertemu dengan bulik istri dari pahamannya.
"Em, Bulik. Tadi ada orang yang masuk atau mencurigakan di sekitar sini."
Bulik berpikir sejenak. Dia ingin memastikan sesuatu, dugaan Senja. Langit kabur dibantu oleh beberapa teman, itu adalah hal yang sangat lumrah melihat bagaimana kondisi Langit.
"Em, kalau tadi sih, ada yang mencurigakan gitu. Masa tadi ada dua orang jalan ke sana ke mari. Seperti mengamati sesuatu."
Nah, pasti dua orang ini yang membantu Langit.
"Oke, Bulik. Terima kasih."
Senja selesai dengan alas sapunya. Kini dia beralih ke kamar mandi.
Sepertinya badan Senja akan terasa segar setelah mandi.
Bicara soal Rifki, bocah itu sedang betada di rumah samping.
Senja sudah memberikan pengertian pada bocah kecil itu, harus sabar.
Sedikit sedih kala Senja teringat bagaimana bunyi surat yang ditulis Langit.
Kenapa sih, rasa sedihnya sampai seperti ini padahal dia dan Langit tidak ada hubungan apa pun.
Langit pasti memiliki alasan yang kuat untuk keamanan dirinya dan keluarganya.
Oke, Senja harus bisa berdamai dengan keadaan ini. Langit bukan bagian dari keluarga atau orang yang memiliki hubungan dengan Senja, jadi otomatis lelaki itu bisa pergi seenaknya. Tanpa pamit tanpa memedulikan perasaan Senja.
***
Senja, dengan surat ini aku berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nyawaku.
Terima kasih karena telah merawatku.
Dan lewat surat ini aku minta maaf, jika aku pergi tanpa pamit.
Aku harap kita tidak akan bertemu lagi, ini juga demi keselamatan mu dan keluarga mu. Aku tidak ingin kalian terseret dalam masalahku.