Senja terus memapah lelaki asing ini. Ia sesekali melihat ke belakang, barang kali mereka berada di dekatnya.
Syukurlah, sepertinya tidak ada yang mendekat. Senja membawa lelaki itu menuruni undakan yang menghubungkan antara pemukiman rumah warga dan bukti.
"Awas! Hati-hati!"
Bruk!
Lelaki itu terjatuh di atas Senja. Untung saja di bawah mereka masih rumput, jadi sakitnya tidak terlalu.
"Duh, berat banget!"
"Ssshh. Ma-af."
"Okelah, enggak apa. Ayo bangun, sebelum orang-orang itu datang."
Dengan sekuat tenaga, Senja mendorong lelaki yang ada di atasnya. Setelah berhasil menyingkirkan lelaki ini, Senja segera membangunkannya. Ia kembali menarik lelaki itu.
"Plis, tinggal sedikit lagi kita sampai."
Nafas lelaki itu semakin memburu. Takutnya pingsan, Senja tidak mungkin menggendongnya bukan. Secara dari ukuran badan saja, lelaki ini jauh lebih tinggi dari Senja.
"Sebentar, duduk dulu sini!" Senja meletakkan lelaki itu di kursi dekat pos kamling. Senja harus memastikan kalau keadaan sekitar aman, semoga tidak ada orang yang melihatnya memasukkan lelaki yang sedang terluka ke rumah.
Yang terpenting lagi, rumah pakliknya sudah tertutup rapat.
"Aman!"
Setelah memastikan keadaan aman, Senja kembali ke pos kamling. Lelaki itu sedang mencoba untuk tetap duduk, dan kini bersandar di tembok kayu.
"Masih kuat, kan? Rumahku ada di sana, aku enggak punya pilihan lain selain bawa kamu ke sana." Ucap Senja seraya melihat luka di sekujur tubuh lelaki ini. Sebenarnya ada masalah apa, sampai gerombolan itu sangat murka.
"Kamu, bukan penjahat, kan?"
Lelaki itu menggeleng pelan. Pertanyaan ini yang sejak tadi ada di benar Senja. Ia hanya takut kalau lelaki ini seorang penjahat, apa lagi kalau sampai lelaki ini adalah begal, pencuri, atau penjarah. Duh, jangan sampai.
Senja tidak bisa menilai dari mukanya karena muka lelaki ini sudah terpenuhi oleh darah.
"Ayo!"
Senja meletakkan tangannya ke bawah ketiak lelaki tersebut. Lalu membawanya menuju rumah.
Klek!
Tak lupa Senja mengunci pintu rumah. Sebelum masuk rumah pun, Senja mengecek ke depan. Ia mengintip dari jendela rumah.
Aman! Gerombolan itu tidak mengikuti Jeha. Semoga mereka memutuskan untuk pergi dari pada mencari lelaki ini.
Senja meneruskan langkahnya. Ia membawa lelaki ini ke kamar sang bapak. Lagi pula tidak ada yang meniduri tempat ini, jadi Senja bisa bebas meletakkan lelaki ini di kamar.
"Hati-hati. Sedikit lagi sampai!"
Hati-hati, Senja meletakkan badan besar itu. Ia meluruskan kakinya.
"Sebentar."
Senja pergi ke dapur. Ia mencari baskom, lalu mengisinya dengan air. Bukan hanya satu tapi tiga baskom yang ia ambil dan semuanya terisi oleh air. Yang satu terisi oleh air hangat.
Tak lupa, Senja juga membawa handuk kecil dan waslap. Waslap ini biasa ia gunakan untuk membersihkan badan simbah. Senja membawa barang itu ke kamar tempatnya meletakkan si lelaki misterius.
"Oh, iya. Lupa!"
Baru saja duduk, Senja kembali bangkit. Ia lupa mengambil tissu basah dan kering. Tissu ini adalah alat tempur Senja saat ia membersihkan bagian bawah simbah.
Terkadang saat simbah terlalu lama menggunakan popok dewasa, kulitnya menjadi iritasi. Jadi Senja menyediakan salep gatal, iritasi, bahkan ia juga siap alcohol dan obat merah.
Berguru pada pengalaman, karena Rifki sedang masa aktif dan ingin tahu. Terkadang anak itu tidak bisa memperkirakan mana tindakan yang akan menyakitkan dan menguntungkan. Ceroboh dan terkadang menimbulkan luka, itulah tipe bermain anak anak seusia Rifki.
Obat, dan tissu Senja letakkan di kotak yang ia buat dari potongan kardus.
Sampai di kamar, Senja langsung meletakkan barang barang itu di meja samping ranjang.
"Mulai dari mana dulu ini?"
Bingung, tentu saja. Apa lagi dia adalah laki-laki, andai perempuan Senja akan cepat untuk mengganti serta mengobati luka itu.
Hem, ya sudahlah. Kalau Senja tidak nekat. Mungkin ini akan menjadi lama dan tidak kunjung selesai.
"Bismilla. Ya Allah, Senja enggak ada maksud apa, pun cuman mau bantu kok." Tangan Senja terulur untuk meraih jaket lelaki itu.
Dengan usaha ekstra, akhirnya Senja bisa melepaskan jaket hijau tua yang juga berlumuran darah itu dari badan si lelaki.
Huh, lelah juga. Padahal hanya melepas jaket, belum yang lain.
Sekarang tinggal kaos polos berwarna hitam yang membalut tubuh lelaki ini.
Senja terdiam sebentar, ia salah fokus karena bentuk badan lelaki ini yang sangat fokus.
Bahkan saat, Senja berhasil membuka kaos polos itu, ia sampai tertegun dan meneguk ludah karena perut kotak-kotak yang luar biasa indah itu.
Astagfirullah.
Senja menggelengkan kepalanya. Pikiran apa ini, padahal dia sedang berada di keadaaan henting.
Segera, Senja melakukan tugasnya. Ia mengelap tubuh lelaki itu yang berlumuran darah.
Mulai dari tangan, hingga area pinggang. Senja bergidik ngeri karena melihat luka sayatan yang ada di lengan sebelah kanan lelaki itu.
"Ini, sayatan apa?"
"Pi-sau. Shhh."
Senja meringis, membayangkan betapa perihnya luka itu jika terkena air.
"Aw! Sshh!"
"Eh? Maaf." Senja tak sengaja menekan luka itu.
"Pe-lan!"
Baiklah, Senja akan berusaha untuk pelan. Ia harus berhati-hati mengingat seluruh tubuh lelaki ini membiru. Seperti orang yang dikeroyok saja.
Mulai dari tangan, ke badan. Senja dengan telaten membersihkan darah yang mengering itu.
"Sssh. Per-ih!"
"Eh? Astaga. Maaf."
Padahal Senja sudah berusaha untuk pelan tapi sepertinya masih saja sakit.
"Dikasih obat merah aja kali ya. Aku enggak punya stok obat lain."
Karena hanya obat merah yang Senja punya, gadis itu mengoleskan ke luka sayatan yang ada di lengannya.
"Shhh!"
"Tahan sebentar!"
Sekarang giliran wajah. Bahkan Senja sampai lupa untuk membersihkan wajah lebih dahulu karena salah fokus ke perut.
Ada luka di pelipis kiri dan sudut bibir. Bahkan hidungnya juga mengeluarkan darah.
Tangan Senja menggantung di udara saat wajah lelaki yang sedang ia seka itu semakin terlihat.
"MasyaAllah."
Luar biasa tampan, Senja sampai tidak berkedip menatapnya. Walau ada luka di beberapa sudut tapi hal itu tidak menyurutkan kadar ketampanan lelaki ini.
"Sshh."
"Huh, Astagfirullah." Sudah beberapa kali, Senja dibuat terkagum dengan wajah lelaki ini. Gila, kenapa bisa lelaki setampan ini berurusan dengan geng itu.
Tak jauh berbeda dengan luka lengan, Senja mengoleskan salep luka memar di sudut bibir dan hidung.
Berbeda dari tadi, lelaki yang berbaring lemah itu sekarang melihat Senja dengan lekat. Tak ada rintihan seperti tadi tapi justru hal itu membuat, Senja salah tingkah. Untung saja Senja tidak menjatuhkan air yang ada di dalam baskom.
Wajah sudah selesai. Mata Senja baru sadar jika lelaki ini menggunakan kalung.
Kalung? Lelaki seperti ini menggunakan kalung? Hem, raida aneh.
Senja memegang kalung itu dan terdapat nama yang terukir di sana.
Langit.
Langit? Nama lelaki ini?