Chereads / Senja di Langit / Chapter 12 - Namanya Langit

Chapter 12 - Namanya Langit

Lelaki yang terluka parah itu terbangun. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membuatnya terbangun.

Pukul berapa ini?

"Aww!" Dia menggerakkan badannya, berusaha untuk bangun sendiri walau sangat tidak mungkin.

Lengannya terasa sangat ngeri. Lengan yang bebas dari luka terasa berat, dia menunduk dan melihat kepala seseorang ada di sana.

Gadis yang telah menolongnya. Dia perlu berterima kasih, kalau bukan karena gadis ini mungkin sekarang akan ada berita ditemukan orang meninggal di bukit.

Rasanya tidak tega membangunkan gadis itu, tapi kalau tidak dibangunkan kasihan. Kalau tidak salah, tadi malam gadis ini bicara jika dia adalah tulang punggung. Jadi pastinya gadis itu bekerja hari ini.

"Hei!" Lelaki itu menggoyangkan lengannya.

"Bangun!"

Senja merasa ada pergerakan di bawahnya. Dia terbangun, mengucek mata sebentar.

"Jam berapa ini?" Gumam Senja.

"Eh? Kamu sudah bangun?"

Senja baru menyadari jika orang ini sudah bangun.

"Bagaimana? Masih terasa sakit di bagian mana?" Senja sontak menegakkan punggungnya kala menyadari jika dirinya tertidur di atas lengan lelaki itu.

"Sudah lebih baik dari tadi malam."

Senja mendesah lega. "Syukurlah."

Senja jadi salah tingkah saat lelaki yang ada di ranjang itu menatap ke arahnya. Ada apa?

Oh, pasti ada air liurnya atau matanya banyak kotoran. Senja segera mengusap mulut dan membersihkan mata.

Tapi lelaki itu masih menatap ke arah Senja.

"Ada apa?"

"Aku butuh air."

Astaga, Senja sangat payah. Padahal dia sudah menyiapkan air hangat di dalam gelas untuk lelaki ini tapi dia lupa memberikannya. Pasti air itu sudah dingin.

"Air putih ya?"

Lelaki itu mengangguk.

Senja segera mengambil gelas dan sedotan. Sedotan ini dia ambil dari kamar sebelah, nenek selalu menggunakan sedotan yang bisa ditekuk.

Dengan pelan serta hati-hati, Senja mengarahkan sedotan itu ke mulutnya.

Salah fokus lagi, melihat bibir penuh itu Senja jadi cengo.

Astagfirullah. Buru-buru, Senja tersadar. Dia tidak boleh seperti ini. Dia adalah wanita!

"Apa lagi?" Tanya Senja saat lelaki ini tak kunjung mengalihkan tatapannya .

"Kamu enggak kerja?"

"Ya Allah!" Sontak Senja langsung berdiri. Dia melihat jam yang ada di ponsel. Gila sudah setengah enam lebih. Bahkan Senja belum salat!

Senja langsung keluar, dia bergerak cepat untuk menyiapkan semuanya.

Mulai dari salat, masak, mandi, sampai membangunkan Rifki, dan membantu Rifki bersiap.

Soal salat, Senja tidak tahu apakah Allah akan menerima ibadah subuhnya. Tapi yang pasti, Senja sudah berusaha dan ini tak disengaja oleh Senja.

Rifki telah mandi, lelaki kecil itu sedang sarapan. Waktu itu digunakan Senja untuk bersiap, dia menggunakan seragam putih bawahan hitam hari ini.

Semua Senja lakukan dengan cepat. Waktu terasa cepat berlalu dalam keadaan seperti ini. Padahal Senja belum mengurus nenek.

Astagfirullah, hari ini masih untung karena Senja masuk pukul setengah delapan.

"Ayo, Rifki! Hari ini jangn rewel ya, Cil. Mbak Ja harus kerja, kan kamu pingin mobil remot. Nah, Mbak harus kerja dulu biar ke beli."

Senja berusaha memberikan pengertian pada Rifki. Meski hyperaktif dan terkadang membuat Senja gemas karena keunikannya. Rifki ini termasuk anak yang pengertian.

Jika dikasih tahu dengan lembut, maka dia akan mengerti. Seperti saat ini.

"Iya, Mbak Ja. Rifki enggak usah ditunggu. Kan, Rifki sudah besar. Udah enggak nakal kayak dulu."

Ugh, gemas sekali bukan. Ingin sekali, Senja menciumi pipi gembul itu sampai Rifki minta ampun. Tapi waktunya tidak tepat.

"Oke, sarapannya sudah. Sekarang kita berangkat. Mbak Ja antar dulu ya, nanti Mbak balik lagi buat urus Buyut."

Rifki mengangguk.

***

Pulang dari mengantar Rifki, Senja telah selesai mengganti popok simbah. Dia juga sudah menyuapi bubur untuk simbah.

Luar biasa bukan? Inilah hal yang Senja lakukan setiap hari. Tak heran jika Senja kerap sekali datang terlambat, belum lagi kalau Rifki rewel.

Tapi seiring berjalannya waktu, Rifki semakin pintar. Dia bisa diberi pengertian. Senja sangat tertolong karena hal itu. Dia jadi tidak terlambat beberapa waktu terakhir.

Dan hari ini, hampir saja Senja akan kembali terlambat. Tapi untung dia masuk pukul setengah delapan hari ini.

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh lebih. Gila saja, dia menyiapkan Rifki sekolah, masak, dan merawat nenek dalam waktu satu jam. Itu tergolong cepat.

Sekarang giliran si lelaki tadi.

Senja masuk ke kamar bapak, dia membuka pintu dengan pelan.

"Oh, sudah bisa duduk."

Senja tersenyum kecil. Lelaki tadi sudah bangun dan sekarang duduk bersandar di pinggir ranjang.

Tak lupa, Senja membawa mangkuk berisi bubur dan teh hangat.

"Sarapan dulu."

Senja bersiap untuk menyuapi lelaki ini.

"Em, bisa bantu aku buat pakai baju dulu?"

Senja tersenyum kikuk. Astaga, dia melupakan hal itu. Tadi malam hanya Senja selimuti.

"Ah, iya. Maaf."

Karena baju yang tadi malam sudah tak layak pakai, Senja berjalan ke lemari dan mencari baju bapaknya. Berharap ada yang bisa digunakan lelaki ini.

"Nah, ini."

Dengan pelan Senja memakaikan baju pada lelaki itu.

"Ini baju Bapakku." Tanpa di minta Senja memberitahukannya.

"Maaf kalau jelek bajunya. Adanya itu." Melihat baju yang bermerek digunakan lelaki ini, tanpa di minta Senja minta maaf. Dia sudah memakaikan baju sederhana pada tubuhnya.

"Tidak apa. Aku yang harusnya meminta maaf. Merepotkan dan membuat kamu tidak tidur semalam. Aku janji tidak akan menyeretmu pada masalahku."

Senja mengangguk.

"Aku bisa sarapan sendiri. Taruh saja di sana!"

Mata Senja mengerjap. Benarkah bisa?

"Beneran?"

Lelaki itu mengangguk.

Baiklah, Senja manut saja. Dia meletakkan mangkuk itu di atas meja. Sengaja diletakkan di dekat ranjang agar bisa terjangkau.

"Lebih baik, kamu segera berangkat."

"Em, aku ganti kain yang ada di lenganmu dulu. Tadi aku beli perban."

Lelaki itu menatap lengannya yang terluka. Di sana terasa perih dan linu. Dia mengangguk dan mempersilakan Senja untuk menggantinya.

Perban yang Senja pasang memang tak serapi para tenaga medis.

"Ini aku hanya menyarankan. Luka kamu ini cukup parah, jadi lebih baik segera ke rumah sakit. Maaf, aku enggak bisa antar untuk pagi ini. Tapi kalau kamu ada kontak keluarga yang bisa dihubungi, aku bisa bantu sambungan ke mereka."

"Aku lupa kontak mereka."

"Hah?" Lupa? Bisa begitu ya?

"Oh, oke." Senja merapikan perban dan obat merah yang tadi dipakai.

"Entah kalau nanti siang atau sore." Lanjut lelaki ini.

Hem, sedikit aneh.

Lelaki ini, bukan orang jahat bukan?

Kenapa Senja baru memikirkan hal ini!

"Tenang aku bukan orang jahat kok. Kenalkan, namaku Langit."

Senja tersenyum kecil. "Langit? Jadi nama yang ada di kalung itu nama kamu."

Langit mengerjap.

"Oh, maaf. Aku tidak sengaja membacanya saat membersihkan lukamu tadi malam."

Langit mengangguk.

"Nama kamu?" Tanya Langit. Padahal dia sudah menyebutkan nama, biasanya orang lain akan menjawab cepat namanya. Apa lagi kalau lawan bicara langit adalah perempuan.

"Em, aku Senja."