'Abangmu itu benar-benar beban keluarga'
Kalimat itu teringang di kepala Senja.
Beban keluarga? Senja akui bahwa bapaknya adalah beban keluarga, beliau memang tak pernah berkontribusi dalam masalah atau pun keperluan keluarga semenjak terkena pemutusan hubungan kerja.
Tapi kenapa, saat ada orang yang mengatakan bahwa bapak beban keluarga, Senja masih saja sedih. Padahal itulah kenyataannya.
Senja menatap ke depan, lampu-lampu rumah warga yang terang menjadi pemandangan malam ini. Bukit belakang rumah yang biasa dikunjungi muda mudi untuk menghabiskan waktu bersama.
Jarang Senja datang kemari, mungkin kalau ada masalah Senja biasanya datang ke tempat ini. Semilir angin, dengan pemandangan lampu rumah juga bintang dan bulan yang menghiasi langit cukup untuk membuat hati Senja tenang.
Air mata Senja perlahan menetes. Ini kali pertama sejak terakhir kali Senja menangis karena simbah yang sakit sampai tak bisa berjalan.
Dulu waktu kecil, Senja tidak mempunyai cita-cita, ia pikir menjadi orang yang kuat sudah cukup untuk menjalani hidup. Nyatanya sampai saat ini kuat yang Senja maksud belum juga ia miliki.
Terkadang ia masih menangis karena suatu hal. Hidup sebagai anak terakhir tak selamanya mudah, mungkin bagi sebagian orang itu adalah anugerah karena mendapat kasih sayang ekstra dari orang tua mereka.
Tidak bagi Senja, diusianya yang sekarang harusnya Senja sedang disibukkan dengan pendidikan atau karier, mengatur kencan dengan lelaki tampan yang menjadi incaran, dan mengunjungi tempat wisata terkenal bersama teman. Tapi Senja, gadis itu disibukkan dengan berbagai persoalan keluarga. Menjadi orang tua untuk anak berusia tujuh tahun, menjadi suster dadakan untuk simbah, dan sebagai tulang punggung keluarga sejak bapak berubah.
Senja tak pernah menyalahkan Rifki atau simbah, mereka justru kekuatan Senja untuk menghadapi dunia yang kadang berlaku tidak adil untuk dirinya.
"Ya Allah, Senja harus bagaimana? Senja dapat uang sebanyak itu dari mana?"
Air mata Senja terus membasahi pipi. Malam yang terang ini berbanding terbalik dengan suasana hatinya.
Ia bingung, sedih, dan marah sekaligus. Menjadi dewasa memang tidak mudah, tapi kenapa takdir Senja serumit ini.
Ini semua bermula karena keegoisan ibu, kakak, dan bapaknya. Karena keegoisan mereka, Senja yang menanggung.
"Kalian tega, membuatku yang menanggung semua!"
"Kenapa harus aku!"
Senja berteriak. Mungkin hal ini bisa membuat hatinya lega, walau hanya sedikit.
"Kenapa harus aku yang menjadi tempat pelampiasan!"
"Kalian jahat!"
"Kalia-"
Bruk!
Senja menoleh ke belakang. Suara seperti benda jatuh itu membuat suaranya tertahan.
Tidak ada orang, atau benda yang jatuh. Lantas dari mana suara itu. Suaranya terdengar jelas.
Senja mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Ia berjalan ke semak semak yang seperti mencurigakan. Karena menurut Senja, suara itu berasal dari sana.
Semakin dekat, hati Senja semakin berdebar. Ia mengambil batang kayu yang cukup besar di bawahnya, hanya berjaga jaga jika ada orang jahat yang sejak tadi ada di sana.
Mungkin yang lebih ekstrem, suara itu berasal dari meteor atau benda langit yang jatuh, Senja akan kaya jika ia bisa mengambilnya dan membawa benda itu ke museum, pasti Senja akan mendapat uang banyak dan bisa melunasi hutang bapak. Senja juga bisa membuka usaha untuknya mencari nafkah.
Duh, pikiran Senja sudah melantur ke sana ke mari. Padahal belum tentu suara itu berasal dari benda langit yang terjatuh.
Satu!
Dua!
Tiga!
"Huaaa!!!"
Senja terjatuh. Tangan dan badannya bergetar karena melihat orang yang tergeletak di sana.
Darah melumuri tubuh orang itu.
"Astagfirullah." Senja berusaha untuk menguasai diri. Ia melihat ke sekeliling, barang kali ada orang lain yang ada di sini.
Dengan memberanikan diri, Senja mendekati orang itu. Tangan Senja terulur untuk menyentuh kaki orang yang sekarang terbaring itu.
Senja menggoyangkan kaki orang ini. Dan baru Senja sadari kalau orang ini berjenis kelamin laki-laki.
Potongan rambutnya yang pendek membuat Senja yakin jika dia adalah laki laki.
"Ssshh."
Senja terkejut, ia berjingkit dan mundur beberapa langkah.
Lelaki ini masih hidup tapi kenapa bisa terluka seperti ini. Kira kira apa yang membuatnya berdarah-darah.
Senja melihat ke sekeliling. Mencari sesuatu yang mencurigakan, barang kali ada hewan buas yang membuat lelaki ini terluka.
Atau lelaki ini terjatuh dari puncak bukit?
Hah, pusing!
Senja tak tahu, ia bingung sendiri.
"Kalau aku masih di sini, nanti ada polisi datang. Aku disuruh ikut ke kantor lagi, dan yang lebih parah aku bisa dijadikan tersangka."
Senja semakin pusing karena pemikirannya sendiri.
"Dari pada panjang urusan, mending aku pergi dari sini."
Senja bersiap untuk pergi.
"To-long!"
Langkah Senja terhenti karena suara merintih itu. Ia menoleh ke arah lelaki yang kini melihatnya.
Ragu, Senja ragu kalau menolongnya. Sebenarnya, Senja bisa saja menolong lelaki itu tapi apa tidak ada masalah yang timbul nantinya. Ia hanya tak mau menambah masalah dan berakibat pada dirinya, ia harus bekerja karena sekarang, em maksud Senja sejak dulu ia adalah tulang punggung.
"Maaf, aku enggak bisa menolong. Maaf ya."
Senja bergegas pergi dari sana. Langkahnya semakin menjauh agar ia bisa acuh pada orang itu.
Bahkan Senja hampir saja terjatuh, karena melihat sekelompok orang yang terlihat bergerombol. Senja berhenti, otaknya menyuruh waspada.
"Kita cari dia sampai dapat!"
Deg!
Dia? Dia siapa? Lelaki tadi.
Entah naluri dari mana, Senja langsung berbalik menuju tempat di mana lelaki tadi berbaring.
Sesekali, Senja menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa gerombolan lelaki tadi tidak mengejarnya. Untung mereka tak menyadari keberadaan Senja.
Nafas Senja memburu, seiring langkahnya yang dipercepat.
Sampai di tempat tadi, Senja langsung menghampiri lelaki tadi.
Puk!
Puk!
Senja menepuk pelan pipi lelaki itu.
"Kamu yang dicari orang itu?" Pertanyaan random yang Senja lontarkan dijawab dengan anggukan.
"Saya enggak tahu apa yang membuat kamu seperti ini tapi sebagai sesama manusia, saya hanya ingin membantu kamu."
"Sssh. To-long saya."
Senja mengangguk. Kalau dari yang Senja kira, orang ini sepertinya baru saja membuat masalah dengan gerombolan tadi.
"Ayo! Saya bantu!"
Dengan sekuat tenaga, Senja membangunkan tubuh yang berlumuran darah itu. Meski sangat mustahil jika Senja bisa membuatnya berdiri, tapi nyatanya saat ini lelaki itu berdiri walau badannya berpegangan erat pada Senja.
Senja memapah pelan lelaki itu, tinggi sekali baru Senja sadari.
"Lewat sini!"
Senja sengaja melewatkan jalan yang berbeda dengan gerombolan lelaki mencurigakan itu.
"Ssshh." Sesekali lelaki asing itu berdesis kesakitan.
Senja melihatnya, ia hanya berharap langkah yang diambil ini tidak salah. Semoga lelaki ini bukan orang jahat.
Sama saja, Senja mempertaruhkan masa depan keluarganya saat ini.