Pulang bekerja hari ini sangat melelahkan. Tadi setelah dari ruangan HR, tatapan sinis dan kelimat pedas terlontar untuk Senja. Seperti tanpa merasa bersalah mereka mengatai Senja sebagai pembuat onar.
Senja ingin membalas perkataan mereka tapi ia masih memikirkan nasibnya. Ia masih memerlukan pekerjaan ini, setidaknya sembari ia mencari-cari pekerjaan di tempat lain Senja harus menahan semua emosinya.
"Huh, sabar!" Senja masih terduduk di atas motor. Ia menyangga wajahnya dengan sebelah tangan seraya melihat mata hari terbenam di hadapannya.
"Matahari masih berputar bukan? Senja Kirana masih memiliki banyak kesempatan." Ya, rezeki bisa datang dari mana saja.
Senja segera turun dari motor, ia membuka tas kecilnya dan mengambil ponsel. Mencari informasi tentang lowongan pekerjaan.
Bekerja itu tentang kenyamanan bukan hanya tentang uang. Jika sudah tak merasa nyaman, maka lebih baik Senja mundur. Bukan berarti ia orang yang mudah putus asa tapi ia tak suka dengan lingkungan kerjanya saat ini. Mereka terlalu egois dan suka mencari muka.
Bekerja dengan manusia seperti itu membuat hati, fisik, dan pikiran kita bermasalah.
"SPG? berpenampilan menarik?"
Senja menggulir lagi layar ponselnya. Jika ada kata-kata tentang berpenampilan menarik, Senja cukup tahu diri. Ia bukan termasuk kriteria itu. Dulu saat masih duduk di sekolah menengah pertama, seorang lelaki yang satu kelas dengan Senja mengoloknya. Kata cowok itu, muka Senja mirip aspal.
Senja bukan gadis lemah, ia membalas perkataan orang itu dengan bogem mentah. Alhasil Senja harus dibawa ke ruang bimbingan konseling. Tak ada penyesalan di diri Senja walau telah membuat sudut bibir cowok itu sobek. Saat disuruh berdamai pun Senja tak mau memulai lebih dulu. Ia justru tersenyum miring dan memberi kata mutiara pada lelaki yang mengoloknya.
'Sesama orang jelek enggak usah ngata in. Muka lu yang kayak monyet itu enggak pernah disuruh ngaca!'
Senja tertawa pelan mengingat masa itu, sejak saat itu murid lelaki tak ada yang berani berurusan dengan Senja. Tak tahu saja mereka, bahwa Senja dulu pernah ikut ekstra karate saat sekolah dasar.
Tapi sejak saat itu juga, Senja selalu menjadi lebih sadar diri. Ia tak pernah mau ikut berfoto satu kelas. Ia cukup tahu diri.
"Pramuniaga?"
Ah, profesi satu ini. Senja pernah menjadi pelayan di salah satu rumah makan dan ia bisa bertahan satu tahun kurang. Sebelum kakaknya pulang dari kota setelah menengok sang suami yang lama tak pulang dan menangis membuat kehebohan, kakaknya itu mengadu bahwa sang suami telah berselingkuh. Lalu meminta Senja mengasuh Rifki yang saat itu masih berusia tiga tahun.
Senja harus ke luar dari warung makan itu karena tidak mungkin ia membagi waktu antara bekerja dan mengasuh Rifki.
"Haish, ini apa enggak ada posisi yang cocok gitu?" Senja frustrasi. Jarinya tak sengaja memencet salah satu link loker yang tersedia.
"Eh? Apa ini?"
Senja membaca dengan saksama lowongan kerja di layar ponselnya. Posisi office girl sedang dibutuhkan, gaji yang ditawarkan juga cukup besar. Senja mengerutkan keningnya, perusahaan apa ini? Kenapa berani membayar seorang office girl sebanyak itu.
"Ya ampun, PT. Sinar Cahaya."
Senja mengangguk, oh pantas jika perusahaan itu berani membayar upah sebanyak itu. Perusahaan itu terkenal besar dan sukses. Bergerak dibidang teknologi pangan. Senja pernah bermimpi menjadi salah satu karyawan perusahaan itu, yang pasti di posisi kantor tapi kenyataan tak mendukung Senja.
"Tapi ini di luar kota. Mana katanya sulit masuk sana." Huh, bahu Senja melorot.
Bahkan untuk menjadi office girl di perusahaan impiannya pun, Senja tidak bisa. Malang sekali nasib Senja.
"Heh, Bondan!"
Suara besar mengejutkan Senja. Gadis itu terlonjak dan berdiri. Dua orang berbadan kekar sudah berada di teras rumahnya. Pakaiannya seperti preman, dan muka dua lelaki itu terdapat bekas luka.
"Cari siapa, Pak?"
"Bondan mana?"
Bondan, nama bapak Senja. Ada apa gerangan, kenapa orang garang ini mencari ayahnya.
"Bapak saya tidak ada di rumah, Pak."
"Oh, jadi kamu anaknya. Jangan bohong kamu! Jangan coba-coba sembunyikan bajingan itu!"
Senja terlonjak kala salah satu di antara mereka mengatai sang bapak dengan sebutan kotor seperti itu.
"Jaga omongan Anda ya, Pak. Datang ke rumah orang tanpa permisi, seenaknya nyebut orang dengan panggilan kayak gitu." Senja maju satu langkah.
"Heh, lu enggak usah sok ya! Bapak lu mana? Cepet panggil dia ke luar! Terserah kita mau sebut dia apa! Cepet suruh dia ke luar!"
"Saya sudah bilang sama kalian. Bapak saya tidak ada di rumah!" Balas Senja tak kalah menggunakan nada tinggi. Ia juga memberi tatapan tak suka pada dua preman di depannya.
"Halah! Jangan coba sembunyikan dia! Ayo kita cek ke dalam!"
Dua orang itu menerobos dan berusaha membuka pintu dari luar. Senja menarik tangan dua orang itu dengan sekuat tenanga. Enak saja main masuk ke rumah orang tanpa permisi.
"Heh? Kurang ajar! Yang sopan ya!"
Tangan Senja disentak. Senja sampai terhuyung ke belakang karena sentakan keras dari dua orang itu.
Dua orang itu berhasil mendobrak pintu. Lalu masuk dan berteriak memanggil nama ayah Senja.
"Bondan!"
"Bondan! Ke luar kamu!"
"Ish, kurang ajar!"
Senja berjalan mendekat. Ia mencegah salah satu preman itu yang akan membuka pintu kamar sang nenek.
"Bapak berdua. Kalau masih tidak sopan saya akan berteriak maling ya!"
Dua orang itu saling pandang lalu tertawa. Senja merasa dipermainkan karena hal itu.
"Teriak saja! Toh, tidak akan ada orang yang datang. Kamu pikir, kami tidak tahu kalau daerah sekitar sini sepi."
Sial, Senja menyumpahi dua orang ini. Salahkan nenek moyang Senja yang memilih rumah di daerah gang sempit ini.
"Baik. Mari kita bicara dengan tenang!"
Senja tak punya pilihan lain. Jika nenek atau Rifki mendengar keributan ini, mereka pasti akan takut.
"Kami tidak mau! Yang kami mau, sekarang tunjukan di mana berandal sialan itu."
"Saya bersumpah, Bapak saya sedang tidak ada di rumah. Baru kemarin dia pergi bekerja ke luar kota." Kata Senja dengan mata mendelik. Sungguh berurusan dengan dua orang kolot ini sangat melelahkan.
"Jangan bohong kamu!"
"Sudah berulang kali saya bilang, saya tidak bohong. Memang ada urusan apa kalian sama Bapak saya?" Tanya Senja.
"Bapak kamu itu hutang pada bos kami."
Mata Senja melotot. Hutang? Astaga? Apa lagi ini.
"Apa? Tidak mungkin!"
Hutang untuk apa, bahkan bapaknya tak pernah memberi Senja uang barang untuk biaya obat sang nenek.
"Huh, kamu pasti tidak tahu. Bapakmu itu hutang dua puluh juta pada bos kami untuk bermain judi."
Jedar!
Senja terpaku.
Judi?