Judi!
Seperti petir yang menyambar di siang hari, rasanya nafas Senja tercekat di tenggorokan.
Judi!
Judi!
Judi!
Itu adalah hal yang paling berbahaya dalam dunia perekonomian. Apa lagi untuk keluarga kurang mampu.
"Enggak mungkin." Kata Senja lirih.
"Hah? Enggak mungkin? Makanya kalau Bapak lu pergi tuh dikinthil in. Biar lu tahu apa yang Bapak lu buat."
Salah satu preman tertawa. Menertawakan Senja yang seperti gadis bodoh saat ini.
"Lu pikir Bapak lu sealim itu? Hahahaha, jangan mimpi. Kalau lu lihat waktu dia main. Ugh, sekali permainan bisa habis berjuta-juta. Soalnya Bapak lu tuh goblok, udah kagak bisa main, nekat pinjem."
Senja menggeleng.
"Kalian pasti menjebak Bapak saya, kan?" Senja menatap dua preman itu dengan sengit. Ia berjalan mendekat ke arah dua orang berbadan besar itu.
"Bapak lu aja yang goblok."
Kedua preman itu tertawa. Suaranya memenuhi satu ruangan rumah ini.
Brak!
Senja menggebrak meja di hadapannya.
"Pergi!"
Senja berteriak.
"Heh? Enak aja lu suruh kita pergi? Panggil Bapak lu dulu, baru kita kamu pergi."
Salah satu preman itu mengangkat dagu Senja. Ia mengapit dua belah pipi Senja dengan salah satu tangannya.
Senja memberontak. Ia langsung melepaskan pegangan itu dengan menyentak tangannya.
"Najis, jangan pegang gue, Anjing!" Senja mengumpat.
"Si Monyet! Disabar in malah ngelunjak!"
Brak!
Senja memelintir tangan pria paruh baya yang berbadan besar itu. Pria ini mencoba menyentuh lengan Senja tapi Senja berhasil menghindar.
"Aduh! Bangke, tenaga lu! Woi, bantu gue."
Melihat temannya yang kesakitan, si pria dengan luka sayatan di wajah mencoba membebasan temannya.
Senja menghindar lagi. Ia membuat gerakan cepat sehingga membuat lelaki yang akan memukulnya itu mengenai si teman.
Bugh!
"Anjing! Lu kenapa pukul gue!"
"Eh, asem mleset."
Senja berlari ke dapur. Ia melepas gas elpiji yang terpasang. Dan segera kembali ke ruang depan.
"Pergi, atau gue timpuk!"
Senja mengangkat tabung gas itu tinggi-tinggi. Ia mencoba mengintimidasi dua preman yang ada di depannya.
"Woi, yang bener lu!" Pria yang baru saja terkena bogem mentah dari temannya tampak syok.
Gadis di depannya ini benar-benar bar bar.
"Asem, balik dulu aja. Nih bocah kayak setan." Bisik preman yang mempunyai luka sayatan. Suaranya yang ngebas dapat didengar oleh Senja.
"Buru!" Kata temannya dengan memegangi muka yang habis terkena bogem mentah.
Mereka berlari kecil menuju pintu ke luar.
"Pergi, brengsek!"
Dua preman itu sampai di luar rumah. Senja buru-buru menutup pintu dan mengancingnya. Ia menghembuskan nafasnya yang tak beraturan. Emosi, sedih, kecewa, bingung semua bercampur jadi satu.
"Hei! Untuk kali ini kami memang gagal. Tapi lihat saja nanti, Bapakmu itu harus segera membayar hutangnya!"
Brak!
Pintu dipukul keras dari luar.
Senja memejamkan matanya. Suara langkah kaki menjauh.
Badan Senja merosot. Ia sungguh takut sekarang. Tuhan, kenapa engkau terus memberi ujian pada Senja. Senja sungguh tidak kuat menghadapi ini.
Bagaimana cara Senja mendapatkan uang dua puluh juta di waktu yang singkat.
"Astagfirullah."
"Astagfirullah."
Tabung gas yang tadi diambil, Senja kembali kan ke tempat semula. Ia juga memasangnya kembali ke regulator.
Satu-satunya barang yang berharga di dapur ini adalah tabung gas. Tak ada magicom, dispenser, apa lagi kulkas.
Kompor dengan satu tungku ini juga Senja dapatkan dari bantuan pemerintah. Terkadang tiga bulan sekali, beras dan berbagai sembako pemerintah diberikan kepada janda tua atau keluarga kurang mampu. Tentunya, Senja mendapatkan hal itu karena satu kartu keluarga dengan mama.
"Ja?" Suara sang nenek terdengar.
Senja langsung berlari, entah kelebihan atau karena kebiasaan. Padahal suara nenek sangat lirih tapi Senja masih bisa mendengarnya, walau pintu kamar ditutup rapat.
"Ya, Mbok."
Senja duduk di samping nenek. Ia mengambil tisu yang ada di atas meja dan mengelap dahi nenek. Cuaca panas memang membuat keringat berkucuran.
"Tadi apa, kok ribut-ribut?"
"Eh?"
Ternyata nenek dengar. Senja tersenyum. Ia mengelus lengan nenek dengan pelan.
"Itu Mas Riyanto dateng. Tadi pagi, Senja pesen jamur."
"Hem, ribut banget. Suara Riyanto beda ya?"
Senja memutar otaknya. Alasan apa lagi yang harus ia berikan. Yang masuk akal gitu.
"Ya, lagi batuk, Mbok."
Nenek tampak mengangguk. Setelah itu, nenek kembali melanjutkan tidurnya. Ia memejamkan mata.
"Eh? Kok tidur lagi. Ayo ganti popok dulu ya."
Senja baru ingat jika popok sang nenek belum diganti. Ia melihat jam yang tertempel di dinding. Setengah lima lebih, hampir jam lima.
"Sebentar, Ja siapkan dulu."
Dengan cekatan Senja menyiapkan keperluan neneknya. Mulai dari baju ganti, minyak telon, bedak bayi, popok, air hangat di ember kecil, perlak, dan waslap.
Seperti inilah keseharian Senja. Ia terus bergelut dengan benda benda ini setiap hari.
Sudah seperti memiliki bayi saja, itulah komentar dari beberapa orang yang Senja temui jika gadis itu sedang membeli keperluan nenek.
Bahkan banyak yang menyarankan Senja untuk memakaikan popok bayi berukuran jumbo untuk nenek. Hem, ide itu sedang Senja tampung.
Saat gajian minggu lalu, Senja sudah membeli dua pack popok dewasa. Rencananya akan Senja habiskan dulu stok ini lalu ia akan mencoba saran dari orang-orang.
Mungkin karena terbiasa, Senja dengan cepat mengganti baju, popok, dan mengelap tubuh nenek. Ini tak sebanding dengan yang neneknya lakukan saat dia kecil dulu.
Kalian tentu tahu, jika saat kecil orang yang merawat Senja adalah nenek. Kedua kakak Senja juga dirawat oleh nenek. Selepas sekolah menengah atas mereka langsung pergi ke kota lain untuk merantau. Sialnya, mereka malah melupakan kehidupan di rumah.
"Oke, sudah selesai."
Senja melepas masker dan juga sarung tangannya. Sudah seperti dokter atau tenaga medis yang melakukan operasi.
"Mbak Ja." Suara Rifki memenuhi rumah.
"Di kamar, Buyut, Rif."
Bug!
Bug!
Bug!
Langkah kaki cepat membuat Rifki dengan cepat sampai di kamar nenek.
"Hah!"
Senja melihat baju dan wajah Rifki. Baju merah itu terkena banyak noda, wajah si pemilik baju juga tak luput dari noda dan keringat.
"Astaga, Rifki. Tadi main apa?"
Dengan matanya yang polos, Rifki melihat ke arah Senja.
"Rifki tadi main bola. Ugh, seru, Mbak Ja. Tim Rifki menang. Yeaa!!!"
Senja menggelengkan kepalanya pelan. Senja yakin jika bukan gol dari Rifki yang membuat tim lelaki kecil itu menang.
"Okelah, karena baju dan badan Rifki udah kotor. Mandi ya, tapi nanti biar keringatnya hilang dulu."
Rifki mengangguk.
"Mbak Ja mandi dulu. Jaga Buyut, diajak bicara biar Buyut enggak tidur ya."
Rifki mengangguk lagi. Kalau yang ini adalah pekerjaan mudah. Yang biasa Rifki jalankan.
Senja bangkit. Sebelum ke kamar mandi, ia berjalan ke kamar untuk mengambil baju ganti.
"Buyut, sudah makan? Mau minum enggak? Yuk main suit Jepang."
Senja tersenyum mendengar itu. Huh, mereka adalah kekuatan Senja.