Chereads / Senja di Langit / Chapter 7 - Melawan Preman

Chapter 7 - Melawan Preman

"Abang saya punya hutang ke kalian?"

"Hem, bukan ke kami tapi bos kami. Di sini kami hanya diberi perintah untuk menagih hutang pada Badrul. Tapi sial, Bajingan itu menghindar dan berusaha bersembunyi."

paklik tentu saja syok. Hutang pada lintah darat ini. Ia ingat sekarang, mereka adalah anak buah dari lintah darat yang biasa bermarkas di gudang tua. Di sana adalah tempatnya orang orang nakal di desa ini. Judi, mabuk, sabung ayam bukanlah hal tabu di sana.

Padahal sudah beberapa kali warga melayangkan protes pada pengurus kemasyarakatan seperti RT, RW, bahkan lurah setempat. Tapi mereka tak kunjung memberikan respons.

"Hutang Abang saya berapa?" Paklik ingat. Kemarin ia baru saja mendapat arisan dari pabrik. Sekitar tiga jutaan, jadi jika hutangnya senilai itu ia bisa memberi uang itu untuk melunasi hutang sang kakak terlebih dahulu.

"Dua puluh juta."

"Hah? Dua puluh juta."

Astaga, uang sebanyak itu digunakan oleh apa untuk kakaknya. Padahal dari yang ia lihat, setiap hari yang memenuhi kebutuhan adalah Senja. Keponakannya itu setiap hari super sibuk, tak ada waktu barang merawat diri padahal ia masih muda. Melihat gadis seusianya yang masih sibuk berdandan di mana Senja sangat berbeda, membuat hati Paklik teriris. Bagaimana pun, Senja ini sudah seperti anak kandungnya.

"Jangan bohong! Kalian pasti sudah menaikkan bunganya, kan?"

"Hahahaha, bunga atau sejenisnya itu urusan kami. Kalian sebagai peminjam hanya perlu mengembalikan uang itu tepat waktu!" Preman dengan luka sayatan di pipi mendekati Paklik. Ia menatang paklik dengan terus mengintimdasinya.

"Jadi kamu bisa melunasi hutang Abangmu, kan?"

"Huh, uang itu bahkan tidak digunakan untuk mengurus Ibu kami. Jadi untuk apa saya harus membayarnya. Yang memakai bukan saya, dan saya yakin jika kalian telah menarik Abang saya untuk masuk ke dunia iblis kalian."

Jangan kira dengan badan besar, paklik jadi takut. Paklik adalah juara pencak silat cabang kecamatan dulu wakth kecil.

Senja yang ada di luar rumah sungguh khawatir dengan hal itu. Bagaimana jika pakliknya babak belur akibat keroyokan preman itu.

"Wah, kurang ajar. Ternyata Adik sama Kakak tidak ada bedanya. Kalian hanya mau mengutang tapi tidak mau membaya!"

"Kita harus beri pelajaran untuk orang seperti ini!" Usul preman yang tidak punya sayatan luka. Ia berbadan sedikit lebih kecil dari pada preman dengan sayatan luka di pipi.

"Tentu saja. Mereka sudah ditolong tapi tidak tahu terima kasih."

Senja mendengar itu. Mereka akan menyerang pakliknya. Gawat!

"Rifki, kamu di sini dulu. Mbak Ja mau ke luar buat temui orang itu." Senja merendahkan tubuhnya untuk bisa menjangkau Rifki. Rifki tentu saja bingung, kalau mereka orang yang jahat kenapa harus didatangi. Bukankah seharusnya mereka tidak perlu menghadapi masalah yang akan menimbulkan masalah lagi. Ah, Rifki bingung.

"Mbak Ja?"

Rifki tak sempat menghalangi langkah Senja. Bocah itu hanya terpaku saat Senja menutup pintu dari luar. Semoga semua baik baik saja, Rifki tak suka yang namanya ribut.

Buyut selalu mengajarkan Rifki untuk akur dengan teman. Selalu berbagi, dan harus mengalah jika itu pada yang lebih muda.

"Macam macam kamu."

Preman itu mengeroyok paklik. Dengan sigap paklik menangkis bahkan memukul balik.

Perkelahian itu tak terelakkan. Senja yang datang dari dalam segera membuka pintu, tak lupa ia tutup lagi pintu itu setelah berada di luar.

Melihat perkelahian itu, meski ia juga pemegang sabuk hitam sepertinya Senja tak perlu ikut berkelahi.

Aha!

Dia tahu suatu cara. Senja melihat posisi paklik yang tepat ada di depannya. Tepat sekali.

Senja mengambil selang dan menyemprotkannya ke arah dua preman itu. Air yang membasahi tubuh dua orang berbadan kekar tersebut membuat mereka menghentikan aksinya.

"Woi! Sialan!"

"Berhenti!"

"Enggak akan!" Senja terus menyemprotkan air ke arah mereka. Mengkode pada paklik untuk memberi tendangan mematikan ke mereka berdua.

Bug!

Bug!

Dua preman itu terkapar. Senja sangat puas melihat hal itu. Sudah babak belur dan kini juga basah kuyub. Berhasil!

"Sukur in. Udah gue kasih tau Bapak gue kagak di rumah. Ngeyel lu pada."

"Sudah, Ja."

Atas printah dari pakliknya, Senja pun mematikan air kran.

Paklik mendekati dua preman yang sudah tepar itu. Ia menepuk sebelah pipi preman itu masing masing.

"Saya peringatkan ke kalian! Jangan datang lagi ke sini. Urusan kalian itu dengan Badrul, jadi cari sana Badrulnya. Jangan mengganggu anak, ibu atau keluarganya."

"Kalian mengerti!"

Plak!

Masih sempat paklik menampar pipi keduanya.

Preman dengan luka sayatan di pipi berusaha untuk berdiri. Ia terus memegangi ulu hatinya yang nyeri. Dengan sekuat tenaga preman itu membangunkan temannya, lalu mereka berdua pergi dengan saling merangkul.

Oho, mesra sekali.

"Sukur in!" Senja terus mengucapkan kalimat sumpah serapah pada mereka.

Huh, Alhamdulillah untung ada paklik. Kalau tidak, mungkin sekarang rumah Senja sudah tak memiliki pintu depan.

"Senja, sini Paklik mau bicara."

Senja menghampiri paklik yang sekarang sudah duduk di kursi depan rumah.

"Kenapa, Paklik?"

"Bener, Bapak kamu punya hutang sama mereka?"

Senja melihat ke bawah.

"Iya, Paklik. Kata mereka kemarin begitu. Bapak ada hutang dua puluh juga ke mereka."

"Kemarin?"

Senja mengangguk. Ya maksudnya bukan kemarin itu.

"Maksud Senja minggu lalu, Paklik."

"Astaga, Ja. Jadi mereka sudah ke sini sejak minggu lalu. Kenapa kamu enggak bilang sama, Paklik?"

Senja menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ya, sebenarnya Senja tak mau merepotkan siapa pun. Apa lagi paklik punya kehidupan sendiri, rumah sendiri, tentunya keluarga dan kebutuhan mereka masing masing. Merepotkan bukan keinginan Senja.

"Pantas mereka kayak setan tadi."

Hem, bukan kayak setan lagi. Tapi mereka itu memanglah setan.

Orang-orang yang memiliki hutang pada mereka sebagian besar yang ketagihan berjudi. Seperti bapak.

Tanpa belas kasihan, mereka menaikkan bunganya dan tiba-tiba hutang mereka menjadi membengkak. Tak ada perjanjian tertulis, mereka hanya perlu membayar sejumlah yang telah ditetapkan.

"Huh, terus kita dapat uang itu dari mana, Ja. Paklik yakin mereka bakal balik lagi. Bahkan yang lebih parah, mereka datang dengan jumlah yang banyak."

Itu juga yang Senja takutkan. Mereka akan datang lagi dengan menambah personil.

Senja takut hal ini diketahui oleh neneknya. Dan kini keselamatan keluarganya terancam. Setelah dihabisi oleh paklik pasti mereka akan semakin dendam dan tidak akan tinggal diam.

"Senja juga bingung, Paklik. Uang segitu saja Senja belum pernah pegang."

Mentok mentok hanya tiga juta. Itu pun langsung habis untuk memberi keperluan rumah dan juga pengobatan nenek.

"Ya sudah, nanti kita coba cari cara untuk dapat uang segitu. Kamu masuk gih, tutup dan kunci pintunya rapat-rapat. Rifki disuruh di rumah saja."

Senja mengangguk. Ia langsung menjalankan perintah dari pakliknya.