Chereads / Senja di Langit / Chapter 2 - Bapak

Chapter 2 - Bapak

Nenek telah kembali berbaring di tempat tidur. Senja, memeriksa pergelangan tangan nenek. Di sana ia masih bisa merasakan denyut nadi nenek.

"Mbok, ke Dokter ya. Nanti bilang yang sakit bagian mana."

Nenek menggeleng. Perlu kalian tahu bahwa simbah ini sangat takut kalau ke dokter, sakit seperti ini kalau Senja tidak membujuk nenek tidak akan mau pergu ke dokter.

"Kalau enggak pergi, nanti bis tambah sakit." Ujar Senja, tangannya meneliti kaki dan tangan neneknya. Berharap tak ada luka di sana. Ternyata memang tidak ada.

"Biar Dokternya yang ke sini, Ja."

Senja menoleh ke arah pamannya yang berdiri di pintu.

"Bisa, Paklik?"

"Bisa, tetangga sebelah juga gitu. Memang Dokternya ditugaskan langsung dari dinas kesehatan."

Senja mengangguk. Lagi pula dari yang Senja dengar, tidak ada biaya yang dipungut untuk memeriksakan kesehatan ke dokter baru itu.

"Sebentar, Paklik ke tempat Pak Dokter dulu."

***

Dokter selesai memeriksa nenek, tak ada masalah serius dan Senja lega mendengar hal itu.

"Mbak Senja, mau cilok itu."

Senja mengikuti arah telunjuk anak kecil yang ada digendongannya. Nenek tertidur seusai minum obat dan bocil kesayangannya ini juga baru saja mandi. Main seharian pastilah membuat perut kecilnya lapar.

"Boleh."

Senja ke luar rumah, ia mendekati pendagang cilok yang berhenti tepat di jalan depan rumah. Tahu saja kalau di rumah Senja ada bocil doyan jajan.

Makan, main, dan tidur. Itulah rutinitas Rifki, keponakan Senja yang masih berada di taman kanak-kanak.

Anak pertama dan kemungkinan menjadi anak satu satunya kakak ke dua Senja. Sejak usia tiga tahun, Rifki dititipkan ke Senja.

Meski terkadang rewel dan membuatnya kewalahan, Senja tetap sayang pada lelaki kecil bertubuh gemuk ini. Tawa dan celotehannya menjadi pengobat lelah Senja.

Banyak yang mengira kalau Rifki adalah anaknya. Padahal usia Senja masih dua puluh tiga, tidak mungkin ia mengandung di usia tujuh belas bukan?

Wajah Rifki yang mirip dengan Senja membuat spekulasi orang asing yang bertemu mereka semakin kuat.

"Bocil. Makan terus jadi tambah gendut." Senja mencubit gemas pipi Rifki. Rifki berada di antara Senja dan nenek, tentu saja Senja memberi batas yang cukup lebar agar Rifki tak bisa menendang buyutnya waktu tidur.

Seperti ini keseharian Senja, saat ia bekerja maka Rifki akan dititipkan ke rumah pamannya yang tepat berada di samping. Anak terakhir sang paman masih kelas lima sekolah dasar, meski begitu dia sudah pintar ngemong.

Brum!

Suara mesin sepeda motor mendekat ke rumah membuat Senja bangkit dari tidurnya. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam.

Senja berjalan menuju pintu rumah yang ia kunci dari dalam. Senja membuka pintu dan mendapati bapaknya yang baru saja turun dari motor.

"Dari mana, Pak?"

Bapak tampak lelah, lelaki paruh baya itu masuk dan langsung menuju dapur.

"Masak apa kamu?"

"Kangkung, sama goreng tempe." Jawab Senja.

Ia melihat penampilan bapak yang jauh dari kata rapi.

"Motor siapa itu, Pak?"

Keluarga Senja hanya mempunyai satu sepeda motor, itu pun sudah telat membayar pajak dan yang biasa Senja gunakan untuk bekerja.

"Temen." Kata bapak seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk.

"Tadi, Simbok jatuh."

Tak ada sahutan, bapak masih asyik menghabiskan makan malamnya.

"Bapak jangan pergi ke gudang lagi."

Gudang itu sering dijadikan sebagai tempat berjudi dan sabung ayam. Sudah banyak yang melapor tapi anehnya tak ada petugas yang menindak lanjuti.

"Apa urusanmu?"

"Pak, di sana tempatnya orang enggak bener. Nanti kalau Bapak kesliweng terus ikutan gimana?"

"Huh, tahu apa kamu? Jangan sok ngatur Bapak, cuman gara-gara kamu kerja dan Bapak nganggur. Bukan berarti kamu bisa ngatur Bapak ya!"

Nah, kan. Selalu seperti ini, kalau Senja memberi masukan bapak selalu tersinggung dan membahas soal pekerjaan. Senja tidak sesabar itu, ia mempunyai emosi yang kadang tidak bisa terkontrol turunan dari bapak.

"Senja enggak pernah mempermasalahkan Bapak yang enggak kerja, Senja malah seneng soalnya Bapak enggak perlu merantau jauh ke kota."

"Halah. Bikin selera makan ilang aja."

Bapak beranjak dari meja makan. Ia masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit keras. Senja hanya takut kalau nenek atau Rifki bangun.

"Heh, hilang selera makan? Habis gitu?" Senja berdecih. Ia mengambil piring kotor bekas bapak dan segera mencuci piring itu.

Kalau di rumah hanya ada dirinya dan bapak, mungkin dengan senang hati Senja akan menjawab perkatan bapak dengan kalimat bersajak yang indah. Sudah biasa seperti itu, paling nanti lengan atau kaki Senja akan memar.

***

Hari sabtu, Senja paling senang hari sabtu dan minggu. Di rumah dan bisa merawat nenek. Setiap hari, Senja selalu memakaikan popok pada neneknya apa lagi kalau malam.

"Iya, bentar, Cil."

"Ayo, ayo, Mbak Ja. Ifki, nanti telat."

Senja memutar bola matanya malas. Bocil itu tumben takut terlambat, biasanya malah susah untuk diajak pergi ke sekolah.

Senja selesai dengan bekal yang ia siapkan untuk Rifki. Masih pukul tujuh kurang dan Rifki sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Heran, semangat sekali hari ini.

Semua pekerjaan rumah telah Senja selesaikan, masakan telah siap di meja makan, baju kotor sudah Senja cuci dan sudah dijemur, rumah juga kincolong rapi karena sejak subuh Senja sudah bangun.

"Buyut, Rifki berangkat ya." Senja berpamitan pada nenek yang duduk di kursi depan rumah, berjemur.

"Rifki, salim dulu."

"Hati-hati, buyut."

Ceklek!

Pintu kamar bapak terbuka. Senja melongok ke dalam dan mendapati bapak yang ke luar dengan setelan rapi, tas ransel.

"Bapak mau ke mana?"

"Kakung?" Rifki mengerjap.

"Kerja, di rumah malah enggak dihargai. Berangkat, Bu."

Nenek tampak ingin menangis, ia ingin menghentikan langkah anaknya tapi tak punya tenaga.

Senja menghadang jalan bapak. "Kerja di mana, Pak? Sama siapa? Dan siapa yang enggak menghargai, Bapak?"

"Masih tanya lagi, ya kamulah!" Bentak bapak.

Senja menekan kesabarannya. Ia tak mungkin meladeni bapak di depan nenek dan Rifki.

"Oke, Pak. Senja minta maaf. Bapak mau kerja di mana?"

"Di kota, sudah jangan banyak omong!" Bapak melanjutkan langkahnya, kini ia berjalan dengan cepat.

Senja mengikuti bapak, ia ingin tshu di mana bapak akan bekerja.

"Ja!" Panggilan lirih nenek membuat langkah Senja terhenti.

Senja berbalik, ia mengurungkan niatnya. Mendapati sang nenek yang telah menangis.

"Sudah, Nek. Bapak udah tua, dan besar pasti bisa jaga diri. Jangan khawatir ya."

Nenek mengangguk, meski hati dan pikirannya kacau. Anak pertamanya selalu seperti itu.

"Mbak, Ja. Kakung mau ke mana?"

Senja beralih ke Rifki. Ia tersenyum lalu mengusap kepala anak kecil itu.

"Kerja, cari uang buat jajan Rifki."

Rifki tersenyum. "Asyik, bisa minta banyak jajan."

Senja mengangguk. Ia menoleh ke arah jalan yang tadi dilewati bapak. Kalau memang itu yang bisa membuat bapak senang, Senja tak akan menghalangi. Yang terpenting masih ada nenek dan Rifki.