Semua mati.
Mayat akan pelayan-pelayan mansion bergeletak mengenaskan di sepanjang koridor. Luka tusuk dan bekas tembakan terpatri jelas di tubuh itu. Bekas percikan dan genangan darah pun mewarnai dinding serta lantai mansion yang putih.
Seketika Aretha mual melihat situasi yang amat mengerikan ini. Isi perutnya langsung bergejolak taktlanya indra penciumannya semakin menangkap bau amis yang menyengat. Pun kakinya yang semakin bergetar hebat saat menyadari seberapa brutalnya pembantaian ini.
"A-apa … apa yang terjadi di sini?" gumam Aretha. "Ke-kenapa semua mati―"
"KYAAAAAA!"
Aretha tersentak sempurna. Gadis itu langsung menoleh pada lorong di belakangnya dengan cepat. Itu jeritan seseorang yang sangat ia kenal.
"HENTIKAN! HENTIKAN AARRGH!"
Tidak salah lagi, itu suara ibunya!
"Ibunda!" Aretha langsung bergerak cepat. Pikirannya kalut. Tak lagi memedulikan rasa takut, ia pun segera berlari menyusuri koridor mansion yang begitu luas. "Ibunda! Ibunda!"
"KYAAAA! TOLONG! HENTIKAN―ARGH!"
"DIAM KAMU!"
Aretha merasa adrenalinnya semakin berdesir cepat. Firasatnya sangat buruk. Jantungnya berdegup sangat keras. Suara itu terdengar semakin jelas dan mengerikan dari dalam kamar. Hingga akhirnya, langkahnya pun terhenti tepat di depan pintu kamar sang orang tua.
BRAK!
"IBUNDA!"
Seketika Aretha terhenyak melihat kedua orang tuanya yang telah tergeletak mengenaskan. Langkahnya pun kembali tertahan saat menyadari adanya orang-orang berjubah hitam yang berdiri tepat di depan kedua orang tuanya. Di tangan mereka terdapat belati yang penuh akan bercak darah.
Mereka pembunuhnya.
"Pem … pembunuh …." Aretha melotot, menatap orang-orang itu dengan penuh kebencian. Satu langkah tegap, tangannya pun terkepal bersiap untuk meninju wajah mereka. "APA YANG KALIAN LAKUKAN―"
BUGH!
Aretha terjatuh. Satu pukulan tepat di tengkuk leher langsung melemahkan kesadaran Aretha. Tubuhnya pun ambruk tepat di hadapan salah seorang dari mereka. Detik kemudian, Aretha merasakan kepalanya diinjak dengan keras.
"Oh? Ini kah anak yang dimaksud?" lelaki itu merendahkan tubuhnya. "Dia masih sangat muda ya sepertinya?"
"Yah, namanya juga bocah baru pubertas. Kita butuh yang masih perawan supaya nilai jualnya tinggi."
"Yah, persembahan itu juga perlu yang perawan, kan?"
Samar-samar, Aretha masih bisa mendengar percakapan mereka. Namun, tubuhnya terlalu lemah. Satu serangan telak tadi seakan melumpuhkan tubuhnya dalam sekejap mata. Pun sekarang kesadarannya berangsur menghilang.
"Tumbal … ah, dia terlalu cantik untuk ditumbalkan. Sayang sekali."
Dan terakhir kali yang Aretha ingat sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya adalah seringaian para lelaki itu.
[Apa … apa yang akan mereka lakukan padaku?]
*******
Malam ini seharusnya menjadi malam yang membahagiakan bagi Aretha Barothy. Ia tahu kalau seisi mansion tengah menyiapkan suatu kejutan untuknya. Terlihat bagaimana para pelayan yang tengah mendekorasi ruang tengah, semerbak aroma kue yang tercium dari dapur, dan kiriman hadiah yang tak henti mendatangi kediamannya.
Ya, tepat saat pergantian hari, umur Aretha akan genap berusia 19 tahun. Sebagai anak yang terlahir dari darah bangsawan Bathory, sudah sepatutnya usia tersebut dirayakan sebagai usia kematangan seorang wanita.
Oleh karena itu, Aretha sengaja tidak bergegas keluar kamar sepanjang malam. Ia memilih untuk mendekam di kamar sambil mengamati langit malam yang dipenuhi kemerlap bintang. Terlalu sibuk memikirkan kejutan macam apa yang akan diberikan oleh keluarganya nanti.
Apakah mereka akan pura-pura memarahinya? Atau mencoba membangunkan Aretha di tengah malam? Atau hanya terang-terangan meneriakkan "selamat ulang tahun!" seperti tahun sebelumnya?
Namun, semua bayangan indah itu pun hancur ketika sebuah jeritan menggema dari luar kamarnya. Itu terjadi tepat ketika jam dinding berdentang tepat pukul 12 malam.
Dan semua terjadi begitu cepat. Orang-orang berjubah itu membunuh seisi penghuni mansion kebanggaannya, kecuali dirinya sendiri.
Aretha tidak pernah menyangka kalau ternyata malam ini ternyata adalah malam terburuk di sepanjang sejarah hidupnya.
Dan sekarang, Aretha terbangun di dalam sebuah jeruji sel. Gadis itu merintih pelan saat merasakan denyutan keras dari dalam kepalanya. Sepertinya bekas injakan penjahat tadi menyisakan memar tak kasar mata.
"Ini … dimana!?" Sepasang mata itu pun mengerjap pelan, mencoba memfokuskan pandangannya yang masih agak kabur.
Gadis itu mengedarkan pandangan, menyadari seberapa sempitnya jeruji sel ini. Ukurannya hanya 2x3 meter dan tingginya pun sepertinya tidak lebih dari 1,5 meter. Ia sadar bahwa ini bukanlah jeruji sel yang ada di dalam penjara. Tempat ini lebih seperti kandang hewan besar!
"Tempat apa ini!?" Aretha membungkam bibirnya tak percaya.
Tak hanya dirinya. Di sekelilingnya juga terdapat jeruji sel yang serupa. Banyak manusia yang terkurung di tempat itu dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Tubuh mereka hanya berbalut pakaian tipis. Aretha yakin tak ada daging yang tersisa di balik pakaian itu.
"Akh … sakit … mama aku mau pulang …."
Samar-samar, Aretha bisa mendengar rintihan dari salah seorang gadis kecil di balik jeruji sel lain. Ternyata, kondisinya lebih parah dari apa yang ia bayangkan. Gadis itu terluka parah dengan memar di sekujur tubuhnya. Wajahnya pun babak belur, seperti habis dipukuli banyak orang.
"Keluarkan aku dari sini … hiks … hiks … kumohon …."
BRAK!
Aretha tersentak kaget saat jeruji sel itu dipukul keras. Seorang pria gendut muncul, menatap gadis kecil itu dengan bengis. Tangannya pun masuk ke dalam sela jeruji, kemudian menjambak rambut gadis itu dan membenturkan kepalanya dengan keras.
"BRENGSEK!" pria itu menghardik kesal. "DASAR TIDAK TAHU DIUNTUNG! INI YANG KAMU DAPATKAN KALAU TIDAK BISA MEMBERIKAN PELAYANAN DENGAN BENAR!"
Lagi-lagi Aretha tersentak. Pikirannya mulai kalut. Pelayanan? Pelayanan apa maksudnya?
"Bunuh saja aku … daripada harus melayani hidung belang seperti mereka … bunuh saja aku … hiks … hiks …." Gadis kecil itu terisak begitu pilu. Sama sekali tak memberi perlawanan berarti dari pria gendut itu.
Pria itu berdecak kesal. Kemudian menghempaskan kepala sang gadis dengan kasar. Diliriknya dua orang pria berjubah hitam yang sedari tadi mengikutinya, memberikan isyarat mata pada mereka.
"Bunuh dia," bisik pria gendut itu dengan penuh penekanan. "Dia sudah rusak. Tidak akan ada lagi untungnya buat kita."
DOR!
Satu tembakan langsung membolongi kepala sang gadis tanpa ragu. Tanpa merasa berdosa, pria gendut itu justru menertawakan kematian gadis kecil itu sambil menepuk-nepuk ujung jeruji selnya.
Aretha kembali terhenyak, menutup bibirnya erat-erat. Sepasang iris sapphire itu menatap segerombolan pria itu dengan tak percaya. Gadis kecil itu benar-benar mereka bunuh dengan sekali tembakan.
Gila. Apa-apaan ini?
Aretha pun meneguk ludahnya susah payah. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-bukunya memutih, menahan diri agar tubuhnya tidak bergetar ketakutan.
Bagaimana bisa ada tempat semacam ini? Apa tidak ada seorang pun dari kerajaan yang mengetahui tindakan kotor ini? Pembantaian keluarga, penculikan, penganiayaan, hingga … pembunuhan.
Ini semua tidak masuk akal. Benar-benar tidak manusiawi. Orang-orang ini harus dihukum seberat-beratnya.
"Oh? Si gadis bangsawan telah bangun rupanya?"
Aretha langsung mendelik tajam saat pria gendut itu menghampirinya. Di belakang pria itu, dua orang berjubah hitam mengikuti langkahnya dalam diam. Aretha tidak bisa melihat wajah mereka karena tudung jubah itu menutupi setengah wajah mereka.
"Siapa kalian!?" Aretha menyeru penuh kebencian. "Berani-beraninya kalian berbuat tindakan keji seperti ini! Lepaskan aku!"
Alih-alih menjawab, pria itu justru menyeringai lebar, sesekali mengecap bibirnya seolah melihat mangsa yang menggiurkan di depannya. Ditariknya wajah Aretha hingga membentur jeruji sel dengan keras.
"Aretha Bathory. Ah, aku suka sekali melihat wajahmu yang putus asa seperti ini," bisik pria gendut itu dengan penuh penekanan.
Jantung Aretha seakan berhenti berdetak saat pria gendut ini mengetahui nama lengkapnya. Otaknya sudah kalut, tak lagi bisa memikirkan bangsawan mana yang telah membayar orang-orang ini untuk menghancurkan dirinya. Ia kembali menelan ludah susah payah, berusaha mengeluarkan segenap keberaniannya untuk tidak takut melawan pria jahat ini.
"Apa maumu!?" hardik Aretha keras. Dicengkramnya tangan pria itu dengan sekuat tenaga. "Dasar sampah! Bejat! Kalian sama sekali tidak punya hati nurani! Orang-orang seperti kalian yang pantas mati!"
Alih-alih terpancing emosi, pria gendut itu justru terbahak keras. Jemarinya semakin mencengkram rambut Aretha dengan kencang, memaksa gadis itu untuk mendongak melihatnya. Kekuatan Aretha tentu kalah jauh dari cengkraman pria gendut itu.
"Ah, benar-benar gadis pemberani. Aku benar-benar salut dengan didikan Marquis Bathory." Mata pria itu memincing tajam, seringaiannya semakin lebar.
Aretha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang semakin menjalari permukaan kulit kepalanya.
"Apa kamu tahu seberapa senangnya aku saat mendengar bahwa darah keluargamu yang terpilih menjadi tumbal pemanggilan iblis?" bisik pria itu dengan penuh penekanan. "Ah, rasanya … darahku benar-benar mendidih mendengarnya, Bathory."
Deg!
Sepasang manik sapphire itu terbelalak sempurna. Tumbal, katanya? Apa-apaan ini!?