"Jadi, apa yang akan Anda lakukan setelah ini, My Lady?"
Louis bertanya pada sang gadis bangsawan yang tengah memakan sarapannya yang tertunda. Lelaki itu senantiasa berdiri di samping Aretha, menunggunya dengan sabar sambil menikmati ekspresi masam sang majikan.
Sementara Aretha bolak-balik membuang napas kasar, seolah ada ribuan beban yang ia pikul di kedua bahunya. Sarapannya tak lagi senikmat hari normalnya. Tentu saja, dia terbebani dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Membicarakan hal ini dengan Louis sekarang juga rasanya bukan hal yang tepat karena mereka tengah berada di suatu restaurant. Ada banyak telinga yang bisa mendengar percakapan mereka.
Karena itu, dia tidak lagi bisa berlama-lama di sini.
"Aku selesai." Aretha menyilangkan sendok dan garpunya di atas piring yang telah bersih. Gadis itu pun beranjak berdiri.
"Secepat itu? Anda sudah tidak lapar lagi?" tanya Louis seraya melangkahkan kakinya selangkah. Disampirkannya jaket merah muda milik Aretha pada gadis itu, membetulkan letaknya perlahan.
"Sudah cukup. Aku sudah kenyang dengan berita pagi ini," ucap Aretha sambil memberikan beberapa keeping emas pada pelayan restaurant. "Ayo pergi, Louis."
Louis pun sedikit membungkukkan tubuhnya, memberi salam formalitas pada pelayan restaurant di samping mereka, Kemudian buru-buru mengikuti langkah Aretha yang telah tiga langkah di depannya.
Setelah keluar dari restaurant itu, keduanya pun kembali masuk ke dalam kereta kuda. Louis cukup terkejut saat Aretha menyuruh kusir kuda itu untuk mengendarai kereta kudanya masuk ke dalam istana kerajaan.
Begitu Aretha telah menyamankan dirinya di atas kursi kereta kuda, Louis kembali memasang senyuman khasnya. Dia merasa ada sebuah rencana menarik yang akan dimainkan kembali oleh gadis di hadapannya ini.
"Jadi, apa yang akan Anda lakukan, My Lady? Kenapa Anda mengarahkan keretanya ke istana?" tanya Louis seraya menatap sepasang manik sapphire itu.
"Aku ingin bertemu Yang Mulia Raja tentu saja," jawab Aretha sambil membuang mukanya ke luar jendela. "Lagipula, aku datang ke sini pun bukan tanpa alasan. Dia pernah bilang kalau akan membantuku kapanpun selagi aku membutuhkannya."
Louis menarik sebelah alisnya. Rasanya agak aneh mendengar seorang paduka raja yang akan membantu seorang putri bangsawan biasa. Karena bagaimana pun juga, Aretha belum menyandang gelar Marquees yang harusnya diturunkan setelah ayahnya meninggal. Jadi melakukan kontak langsung dengan paduka raja tentu akan lebih sulit.
Setidaknya, itu yang dipikirkan Louis sekarang.
"Anda berucap seperti telah mengenal Yang Mulia Raja dari lama. Apa kalian dulu punya suatu ikatan di masa kecil?" tanya Louis, tanpa mengubah intonasi nada pertanyaannya.
"Tentu saja aku mengenalnya. Aku tahu semuanya karena dulu dia calon tunanganku, Louis," jawab Aretha dengan gamblang.
"Hah? Calon tunangan Anda?" Louis mengerjap sesaat, terlampau kaget. "Anda punya tunangan?"
"Iya. Dia adalah calon tunanganku dulu. Tapi sejak dia naik takhta menjadi raja di usia 22 tahun, akhirnya dia memilih untuk fokus dengan urusan kerajaan dan membatalkan pertunangannya denganku," jawab Aretha seraya menghela napas panjang.
"Wah, saya baru tahu." Louis memanggut-manggut, tapi entah kenapa ekspresinya terlihat tak begitu senang. "Sepertinya, saya harus tahu latar belakang Anda lebih banyak."
"Tidak perlu. Itu sama sekali bukan hal penting." Aretha kembali melempar pandangannya ke luar jendela sambil bertopang dagu. "Lagipula, latar belakangku sama sekali tidak menarik. Aku hanya putri bangsawan biasa yang tumbuh di situasi normal sampai di malam usiaku ke-19."
Memang benar. Louis sudah tahu akan hal itu. Detik dimana mereka berikatan, Louis bisa merasakan bagaimana kehidupan Aretha sebelum musibah itu menyerangnya. Tapi rasanya masih ada sesuatu yang membuat Louis kurang puas. Dia belum tahu segala seluk beluk detail mengenai majikannya ini.
"Kenapa calon tunangan Anda bisa diangkat menjadi raja di usia muda, Lady?" tanya Louis, kembali menyetir perbincangan ke topik awal.
"Karena dia adalah pewaris tunggal. Kedua orang tuanya meninggal saat di perjalanan laut. Jadi, terpaksa dia harus menggantikan ayahnya dan naik takhta di usia yang muda."
Louis kembali memanggut-manggut. Sudah jelas kalau lelaki yang akan mereka temui ini berbeda dari lelaki pada umumnya. Namun, salah satu hal yang membuat Louis semakin tertarik adalah gejolak aura dalam diri Aretha tak lagi memancarkan kekelaman seperti sebelumnya.
Ada percikan warna terang yang bermain dalam aura diri Aretha, seolah gadis ini tengah menantikan sesuatu yang menyenangkan.
Apa jangan-jangan ….
"Apa Anda masih menyukainya?" tanya Louis dengan gamblang.
"Hah? Apa maksudmu?" Aretha tersentak sempurna. Ditatapnya sepasang manik ruby dengan terkejut. "Aku masih menyukainya?"
"Iya. Apa Anda masih menyukai lelaki itu, My Lady?" tanya Louis seraya mengambil salah satu telapak tangan Aretha. "Atau mungkin berharap menjadi permaisuri suatu saat nanti?"
Aretha kembali tersentak dan langsung menepis tangan Louis. Gadis itu kembali berdecak dan membuang muka dengan ekspresi masam.
"Suka atau tidak, itu bukan urusanmu, kan?" sahut Aretha dengan nada tidak suka. "Lagipula, iblis sepertimu mana mungkin mengerti perasaan manusia."
Louis menarik sebelah alisnya. Dia sedikit terkejut karena respon Aretha berbeda dari gadis pada umumnya. Jika biasanya seorang gadis akan malu-malu menjawabnya, Aretha malah menjawabnya dengan ketus. Namun, Louis masih bisa melihat gejolak emosi itu dalam diri Aretha.
Apa gadis ini sedang menekan perasaannya supaya Louis tidak mengetahuinya?
Namun, melihat Aretha yang seperti ini juga menyenangkan baginya. Dia menyukai ekspresi gadis ini.
"Tentu saja itu penting, My Lady." Louis menyeringai tipis, kembali meraih telapak tangan Aretha yang tadi sempat ditepis. "Karena jiwa dan ragamu telah menjadi milikku selamanya. Kamu tidak lupa akan hal itu, bukan?"
Aretha menekan bibirnya, tak lagi menepis tangan itu ketika Louis mengecup punggung tangannya perlahan. Ia pun tak lagi bisa menyangkal akan fakta itu. Dia sadar betul kalau dia telah mengikat sebuah perjanjian dengan seorang iblis. Suatu saat nanti, pasti Louis akan meminta semua yang ada dalam dirinya, termasuk perasaannya ini.
Ya, karena dia sadar posisinya sekarang, Aretha berusaha mengubur segala keinginan dan harapannya untuk bersatu kembali dengan lelaki yang sempat singgah di hatinya. Dia bahkan melupakan keinginannya untuk menjadi permaisuri.
Ah, hal itu sudah tidak mungkin menjadi tujuan hidupnya. Karena hidupnya pun, mungkin saja tidak akan bisa selama itu.
******
Sesampainya mereka di istana, penjaga istana segera membawa Aretha untuk menemui Raja. Tidak seperti bangsawan pada umumnya yang harus membuat janji, Aretha bisa memasuki istana dengan mudah. Hal ini dikarenakan darah Keluarga Bangsawan Bathory yang mengalir di tubuhnya mengijinkannya untuk bisa bertemu Paduka Raja secara langsung. Kebetulan sekali, sang raja tengah berada di ruang kerjanya dan tidak sedang berhadapan dengan tamu.
Dan begitu Aretha dipersilahkan masuk, ia langsung mengangkat ujung gaunnya seraya memberikan hormat pada sang raja.
"Hormat saya pada paduka raja Kerajaan Engrasia, Yang Mulia Arthur."
Arthur, raja yang masih berusia 24 tahun itu langsung mengangguk dan tersenyum senang. Ada pancaran berbeda dari sepasang manik coklat itu. Aretha bisa merasakan dari sorot mata yang begitu teduh.
"Masuklah, Aretha. Kupikir kita tidak perlu terlalu formal seperti ini," ucap Arthur seraya bangkit dari bangku meja kerjanya. "Edgar, tolong bawakan kami teh dan camilan."
Edgar, sang pelayan pribadi Arthur segera mengangguk dan bergegas keluar ruangan untuk menyiapkan apa yang diminta sang raja.
Sementara Aretha hanya bisa tersenyum kecil. Arthur masih sama seperti dulu. Tanpa menggunakan embel-embel Lady, Arthur langsung memanggilnya dengan nama kecilnya. Sesuatu yang amat Aretha jarang dapatkan dari orang lain.
"Anda repot-repot, Yang Mulia," ucap Aretha pelan. Padahal menurutnya, Arthur tidak perlu menyambutnya sampai seperti itu, seolah dia adalah tamu penting.
"Tidak apa. Aku senang melihatmu ke sini, Aretha. Ayo, duduk. Aku juga ingin berbincang denganmu."
Arthur mengajak Aretha untuk duduk di sofa yang tertata di tengah ruangan. Sofa itu memang diperuntukkan untuk tamu-tamu yang mengunjunginya saat ia berada di ruang kerja. Bisa juga tempat beristirahat baginya setelah melewati hari yang begitu melelahkan.
Dan kali ini, Arthur terlihat begitu senang, seolah stress yang sedari tadi menyerangnya langsung lenyap begitu saja.
"Apa saya mengganggu Anda, Yang Mulia?" tanya Aretha setelah duduk di hadapan Arthur.
"Tentu saja, tidak. Aku justru senang karena bisa bertemu denganmu lagi," ucap Arthur seraya mengibaskan tangannya. "Jujur saja, melihat berita keluargamu di headline koran, aku jadi khawatir. Tapi aku bersyukur karena kamu selamat dari musibah itu."
Aretha tersenyum simpul. Nada ucapan Arthur yang begitu hangat jadi membuatnya merasa kalau pertemuan ini jauh dari kata formal. Mereka seperti teman lama yang bertemu kembali.
Tapi, Aretha ke sini bukan untuk berbincang hangat. Ada suatu fakta yang harus ia beri tahu pada raja di hadapannya ini.
"Saya sangat berterima kasih karena kepedulian Anda. Tapi sayangnya, kejadian itu bukan musibah semata, Yang Mulia. Itu adalah pembantaian yang direncanakan oleh sekelompok orang tertentu," ucap Aretha dengan sorot mata yang begitu lurus.
"Eh?" Arthur mengangkat sebelah alisnya, mimik mukanya berubah menjadi lebih serius. "Maksudmu, ada fraksi yang telah merencanakan hal ini?"
"Ya, Anda benar. Ada fraksi yang ingin menggulingkan Anda, Yang Mulia." Aretha mengangguk tegas, kemudian menarik napas panjang sebelum akhirnya kembali berucap, "Dan ini ada kaitannya dengan sekte gelap."
Arthur terbelalak sempurna. "Sekte gelap, katamu?"