Semua orang telah mati.
Tak ada lagi tawa hina dari sekumpulan orang mengejeknya. Tak ada pula orang-orang berjubah hitam yang memaksanya masuk ke dalam jeruji sel. Dia benar-benar berada di tengah kumpulan mayat yang bersimbah darah.
Aretha bangun dari meja panjang itu, kembali memandang situasi mengerikan ini sekarang. Seharusnya ia puas, tapi rasanya tidak. Ia belum puas. Masih ada banyak musuh tak terlihat di sekitarnya. Bangsawan-bangsawan yang selama ini bersembunyi di balik topeng baik mereka.
Sekarang, hatinya benar-benar dipenuhi kebencian dan dendam.
"Semuanya telah dibinasakan sesuai instruksi Anda."
Sebuah suara yang sama kembali menyapa Aretha. Aretha menoleh, memperhatikan bayangan hitam itu yang berangsur menjadi sosok manusia yang mengenakan pakaian butler. Gadis itu semakin menatapnya hampa.
"Kenapa aku tidak mati juga?" tanya Aretha tanpa basa-basi lagi. "Kamu seharusnya mengambil nyawaku juga, kan?"
Lelaki itu sama sekali tak terkejut mendengar pertanyaan Aretha. Ia justru berlutut dan meraih tangan Aretha sebelum mengecup punggung tangannya perlahan.
"Apakah itu adalah pertanyaan yang pantas diajukan oleh seorang Lady yang baru saja mengikat kontrak dengan seorang iblis seperti saya?"
Ah, ternyata lelaki ini adalah iblis. Entah kenapa Aretha tidak kaget mendengarnya.
"Bukankah untuk memanggilmu, kamu perlu mengambil nyawaku?" tanya Aretha pelan. "Seharusnya aku sekarang telah mati, kan?"
"Hmm, tapi sayangnya pemanggilan iblis tidak semudah yang mereka rencanakan, My Lady. Mereka telah salah dalam mengetahui siapa yang ditumbalkan dan siapa yang tidak," Lelaki itu menatap Aretha dengan tenang. Sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman retorikal.
Aretha hanya diam, mencoba mencerna ucapan sang iblis dalam diam.
"Lagipula, aku menyukainya," lelaki itu berbisik pelan, membawa tangan Aretha pada pipinya yang dingin. "Aku menyukai apa yang ada di dalam jiwamu, My Lady. Karena itu … aku membiarkanmu hidup untuk memupuk apa yang ada di dalam dirimu."
Aretha masih terdiam sambil menatap lelaki itu dengan hampa. Aretha tidak tahu lagi mana hal yang salah atau tidak. Dia tidak tahu bagaimana proses pemanggilan iblis yang sebenarnya, sementara lelaki ini belum terlihat ingin memberitahunya.
Siapa yang sebenarnya ditumbalkan? Siapa yang sebenarnya memanggil iblis ini? Aretha sama sekali tidak paham.
Jika dia berada di situasi yang normal, mungkin saja dia akan langsung bertanya blak-blakan. Namun sekarang, rasanya ia begitu lelah. Emosi yang telah memainkan tubuhnya ini benar-benar menguras tenaganya. Hingga rasanya ia tidak peduli lagi pada apapun.
"Kalau begitu, sekarang kau adalah pelayanku, bukan?" tanya Aretha, memastikan kembali pada pria di hadapannya ini.
"Benar sekali." Lelaki itu menyeringai tipis seraya berdiri dan membungkuk hormat. "Gunakan saya sebagai alat balas dendam Anda, My Lady."
Aretha kembali terdiam sesaat. "Kenapa balas dendam? apia d berkaitan dengan sesuatu yang kamu cari dariku?"
Lelaki itu menyeringai tipis dan mengangguk kembali. Disentuhnya kembali jemari Aretha, menunjukkan sebuah symbol baru yang terukir di punggung tangan gadis tersebut.
"Itu benar. Emosi Anda yang begitu murni … saya sangat menantikan untuk memanennya," bisik lelaki itu seraya membelai punggung tangan Aretha. "Dan symbol kontrak ini … adalah tanda bahwa Anda adalah milik saya, My Lady."
Aretha terdiam kembali. Dia mengerti kalau hidupnya telah berada di tangan iblis ini. Simbol yang terukir di punggung tangan kirinya adalah saksi bisu dari perjanjian mereka.
"Kalau begitu, kamu bisa langsung membunuh mereka semua tanpa terkecuali?" tanya Aretha pelan. "Daripada memakan banyak waktu, lebih baik kamu membunuh mereka semua langsung, kan?"
"Ahahaha, pertanyaan yang bagus," ucap lelaki itu seraya mengangguk dan menyentuh dagunya, memasang pose berpikir. "Jika saya masih berada dalam full kekuatan seperti tadi, mungkin saja bisa. Tapi sekarang, sebagian kekuatan saya berada di dalam tubuh Anda."
"Tubuhku?" ulang Aretha seraya menatap telapak tangannya. "Ah, saat kamu memegang kepalaku tadi?"
"Ya, perjanjian itu mengikat kita berdua. Sekarang, saya juga bisa mengambil tubuh seperti manusia berkat kontrak tersebut, My Lady."
"Dan sekarang kamu juga harus menyamar menjadi manusia?"
"Betul sekali. Tidak baik jika orang lain tahu kekuatan ini, bukan?" lelaki itu memperlebar seringaiannya. "Karena di luar sana, kita tidak tahu siapa saja orang yang berikatan dengan iblis seperti saya."
Aretha tersentak, kemudian menghela napas panjang seraya menyeka surai coklatnya. Entah kenapa ini mulai terasa rumit. Kepalanya pun mulai berdenyut hebat karena menerima banyak informasi asing dalam beberapa menit.
Namun, inti dari percakapan ini adalah iblis ini akan menjadi pelayannya selama dia menjalankan rencana balas dendam itu. Meskipun terdengar kurang bagus, tapi sepertinya situasi ini agak menguntungkan dibandingkan harus bergerak seorang diri. Setidaknya, Aretha memiliki seseorang yang bisa ia jadikan pegangan jika terjadi sesuatu hal tak terduga lainnya.
"Baiklah, kalau begitu. Kita belum berkenalan resmi, bukan?" Aretha mengulurkan tangannya. "Aku Aretha Bathory. Sekarang, aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil saja saya Louis." Lelaki itu menjabat tangan Aretha. "Itu adalah nama yang akan saya gunakan selama menjadi manusia."
Aretha mengangguk pelan sebelum melepas tangan dingin itu. Aretha sadar betul kalau setelah ini hidupnya tidak akan sama lagi. Selain mencari pelaku utama dari sekte gelap ini, dia juga harus membalaskan dendamnya pada orang-orang yang telah menghancurkan keluarganya tanpa terkecuali.
Ya, dia telah melampaui batas dari seorang Aretha Bathory.
"Apa Anda menyesal telah mengikat kontrak dengan saya?"
Pertanyaan Louis kembali membuat Aretha mengangkat kepala, memperhatikan sosok yang selalu tersenyum tenang itu. Dia menghela napas panjang sebelum mengalihkan pandangannya pada hamparan mayat di stadion itu.
"Sudah terlambat untuk menyesal," bisik Aretha seraya tersenyum pahit. "Mereka yang menuai, maka mereka yang akan menerima akibatnya, bukan?"
Louis tampak sedikit terkejut, kemudian menyeringai tipis. Sepasang iris ruby itu pun kembali menyala saat memperhatikan punggung Aretha. Dia mengerti maksud dari ucapan majikannya dan dia sangat menantikan hal itu.
Sementara Aretha melangkah perlahan, menuju mayat dari pria besar yang telah memimpin ritual itu. Dua kepala orang tuanya masih tergeletak tak jauh dari sana. Dengan perasaan yang amat pilu, Aretha pun menyentuh kedua kepala itu.
"Ayah … Ibunda …."
Tubuh kecil itu mulai bergetar samar. Tak tega melihat kedua kepala orang tuanya seperti ini, Aretha mendekap keduanya dengan erat. Tangisannya pun pecah, bersamaan dengan sekelebat memori yang menghampiri benaknya.
Aretha benar-benar tidak bisa memaafkan orang-orang keji ini. Tak peduli bangsawan dari manapun, Aretha tidak akan pernah memaafkan mereka!
"Hiks … aku akan membunuh mereka semua …." Isak Aretha seraya mengeratkan dekapannya. "Aku bersumpah akan membunuh mereka semua tanpa terkecuali … Ayah … Ibu ….!"