Chereads / Lady in The Dark / Chapter 6 - Bab 6 : Menghapus Jejak

Chapter 6 - Bab 6 : Menghapus Jejak

"Jadi Anda ingin saya membakar tempat ini?" tanya Louis seraya melirik sang gadis bangsawan yang tengah bersandar di dinding. "Anda serius? Ini akan menghilangkan barang buktinya, loh."

Sekarang mereka telah berada di dalam ruangan yang tersembunyi di balik dinding stadion. Mereka berusaha mencari jejak yang tertinggal di dalam sana, sekaligus mencari potongan tubuh orang tua Aretha yang tersisa. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk yang berarti, seolah orang-orang jahat itu telah menyembunyikan identitas mereka rapat-rapat.

Dan akhirnya, Aretha memutuskan untuk tidak membawa apapun, selain kedua kepala orang tuanya. Dia hanya ingin kedua orang tuanya mendapat peristirahatan terakhir yang tenang.

"My Lady?" Louis kembali memanggil, menyadarkan Aretha dari lamunannya.

"Tidak apa. Itu lebih baik dibandingkan kita dituntut karena gelimpangan mayat ini," ucap Aretha, kembali menghela napas panjang. "Lagipula, barang buktinya bukan di sini. Orang-orang kerajaan tidak akan langsung menerima jika ini berhubungan dengan hal gaib yang diluar nalar."

"Oh? Saya kira Anda sedang memperhitungkan untuk mengembalikan mereka ke keluarganya." Louis menarik sebelah alisnya, terlihat tertarik dengan ucapan tersebut.

"Mengembalikan mereka? Jangan bercanda!" Aretha berdecak kesal. Sepasang manik sapphire itu menyorot penuh kebencian. "Mereka harus membayar bayaran setimpal atas kebejatan mereka selama ini."

Sosoknya yang dulu mungkin saja akan berpikir seperti itu. Aretha tidak akan pernah tega pada siapapun. Namun sekarang, situasinya telah berbeda jauh. Rasa empatinya telah jauh terkubur, tergantikan akan dendam yang tak akan pernah surut.

Sementara Louis hanya menyeringai tipis dan mengangguk paham. Setelah membereskan jasad kepala kedua orang tua Aretha ke dalam tas besar yang mereka temukan, Louis mengambil sebuah obor menyala dan sengaja membuangnya ke sembarang arah.

"Sebentar lagi apinya akan menyebar," ucap Louis seraya mengenakan tas tersebut. "Dan saya tidak ingin Anda terkena api itu. Jadi, permisi sebentar, oke?"

Tanpa aba-aba lagi, Louis langsung menggendong Aretha dengan cepat. Tubuhnya bergerak lincah, pun kakinya yang berlari dengan langkah yang begitu lebar. Sama sekali apia d kekhawatiran di wajahnya, seolah dia tahu bahwa semua akan berjalan sesuai rencana.

Api terus membesar, melahap kayu dan puing-puing bangunan yang ada di sekitarnya. Hawa panas itu mulai merayap, membakar tanpa sisa. Aretha menatap kobaran api itu dengan penuh kebencian sebelum akhirnya menghela napas panjang. Sementara kedua tangannya melingkari leher Louis perlahan.

"Anda yakin kan tidak akan menyesal?" Louis kembali membuka suara setelah melirik ekspresi Aretha.

"Apa kau benar-benar tidak percaya denganku, Louis?" Aretha memutar bola matanya kesal. "Sudah terlambat untuk menyesal. Karena itu, aku tidak ingin menyesali apapun lagi."

Louis terlihat terkejut, sebelum akhirnya mengangguk dan menyeringai tipis. Ia sadar kalau sosok yang menjadi tuan putrinya ini sudah menjadi pribadi yang baru. Pribadi yang jauh lebih dingin dan bengis daripada sebelumnya.

Dan inilah yang ia harapkan.

"Memang seharusnya seperti itu, Nona."

***

Aretha menatap sisa puing-puing stadion yang tersisa dari kejauhan. Kini mereka telah sampai di atas tebing, tempat yang cocok untuk memperhatikan bagaimana gejolak api yang perlahan mulai padam. apia d rasa sesal dalam hati Aretha, seolah sebagian sisi kemanusiaannya telah lenyap.

Aretha juga telah meminta Louis untuk membebaskan budak-budak yang terperangkap dalam penjara kebejatan itu secara diam-diam, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Untuk masalah yang satu ini, Aretha masih memiliki sisi kemanusiaannya.

Dan kini, hanya ada mereka berdua. Aretha harus kembali memulai untuk menjalankan rencana balas dendamnya. Namun sebelum itu, ia harus memastikan satu hal.

"Louis, aku ingin bertanya sesuatu." Aretha membalikkan tubuhnya, menatap sepasang iris ruby sang servant yang menyimpan segudang rahasia.

Ya, Aretha harus memastikan kembali kalau sosok iblis yang ada di hadapannya saat ini benar-benar berada di pihaknya. Setidaknya untuk sementara waktu.

"Ada apa, My Lady?" Louis membungkukkan sedikit tubuhnya. Senyuman tipis itu kini terpatri di bibirnya.

"Apa kamu hanya mengikat kontrak denganku saja?" tanya Aretha dengan sorot mata begitu dalam. Ia benar-benar harus memastikan hal ini. "Atau kamu memiliki partner lain, Louis?"

Louis menarik sebelah alisnya, sebelum akhirnya berlutut dan meraih punggung tangan Aretha. Ditatapnya sepasang iris sapphire yang bergetar samar. Kedua mata yang begitu indah, berpadu dengan keputusasaan dan kebencian.

Ah, Louis benar-benar menyukai sisi dalam Aretha.

"Tentu saja hanya Anda, Lady Aretha Bathory," bisik Louis dengan penuh penekanan. Bibirnya menyeringai tipis. "Tanda kontrak yang kumiliki hanya satu. Lagipula apa yang membuat Anda berpikir seperti itu?"

Aretha menggigit bibir bawahnya. Entah kenapa dia justru tidak menyukai seringaian lelaki ini, seolah dia telah bisa menebak apa yang Aretha pikirkan.

"Aku takut kamu akan berkhianat," ucap Aretha pelan. Gadis itu melepaskan tangan Louis seraya membuang muka.

"Yah, Anda memang benar. Manusia itu memiliki banyak wajah. Sulit sekali menebak apa yang ada di dalam diri mereka sebenarnya," ucap Louis seraya kembali berdiri. Ada jeda sesaat sebelum Louis melanjutkan,"Bahkan mungkin dirimu sendiri masih berada di antara hitam dan putih, bukan?"

Aretha mengangguk pelan. Dia tidak bisa menyangkal ucapan Louis yang ada benarnya. Aretha ingin berbuat jahat pada orang-orang yang telah menyakitinya, tapi di sisi lain ia tidak akan mungkin melakukan hal keji pada manusia tak bersalah.

Tapi sekarang, bagaimana bisa tahu kalau mereka bersalah atau tidak?

"Jadi apa yang kamu inginkan sekarang, Aretha Bathory?"

Aretha sadar Louis telah mengganti panggilannya. Tak lagi ada kata 'lady' ataupun 'anda' di dalamnya. Itu artinya Louis tengah berbicara sebagai iblis, bukan lagi servant seperti tadi.

"Aku ingin kamu tidak pernah mengkhianatiku, Louis. Aku ingin supaya kamu tetap berada di sampingku apapun situasinya. Aku ingin kamu bersumpah akan hal itu," jawab Aretha dengan penuh penekanan.

Louis kembali menyeringai tipis. Sepasang manik sapphire itu kembali memancarkan aura ketegasan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, seolah melenyapkan sosok rapuh dalam tubuh Aretha.

Kembali diraihnya punggung tangan gadis itu, kembali mengecup lamat-lamat ukiran tanda kontrak tersebut. Sepercik cahaya keunguan pun muncul pada tanda tersebut.

"Apa yang kamu lakukan?!" tanya Aretha, refleks menarik tangannya. Memang tidak sakit, tapi tetap saja dia was-was. "Cahaya apa tadi?"

"Hanya sedikit jimat dariku," jawab Louis dengan santai. "Sejujurnya, ini lucu sekali kamu memilih untuk bersekutu denganku daripada dengan manusia."

Aretha menghela napas kasar seraya membuang muka.

"Kalaupun aku bisa melakukannya sendiri, aku tak akan pernah meminta bantuanmu. Tapi sekarang aku bahkan tidak tahu siapa yang telah mengkhianati keluargaku. Setidaknya iblis di depanku ini lebih baik daripada manusia yang berperilaku melebihi iblis."

"Eh?" Louis tersentak, agak terkejut mendengarnya. Namun, melihat senyuman Aretha yang begitu kecut, ia pun tersenyum tipis. "Dalam satu hari, mimpi buruk bisa merubah pribadi seseorang, hm?"

Ah, Louis benar-benar tertarik pada apa yang ada di dalam tubuh Aretha sekarang. Dia tidak sabar untuk memanennya suatu saat nanti.