Aretha menatap mansionnya dengan tatapan kosong. Mansion yang biasanya dipenuhi kehangatan dan kebahagiaan, kini berubah menjadi hampa dan dingin. Ia kembali mengedarkan pandangannya, kemudian berjongkok dan menyentuh abu kehitaman yang menempel pada aspal.
"Mereka berusaha menghapus jejak, huh?" gumam Aretha seraya kembali berdiri.
Ada abu bakar di aspal itu. Tidak hanya di satu titik, tapi abu itu menyebar dari berbagai arah. Dari aromanya, masih ada bau bekas terbakar yang begitu menyengat.
Dugaannya, mayat para pelayan Bathory telah dibakar sampai menjadi abu. Lidah api itu pasti mengenai bangunan mansionnya, terlihat ada bekas hitam dan aroma bakar pada dinding mansion. Tapi masalanya, bagaimana apinya bisa padam?
"My Lady?" Louis memanggil gadis itu dengan pelan.
Aretha menggeleng pelan.. "Tidak apa. Ayo, masuk," ucap Aretha seraya melangkahkan kakinya.
Ah, entahlah. Aretha tidak tahu lagi. Tubuhnya begitu lelah sekarang.
Sesampainya di dalam, semua perabotan dalam mansion itu berantakan seperti kapal pecah. Barang-barang berhamburan, pecahan dimana-mana, dan bekas perkelahian pun masih ada.
Melihat pemandangan mengerikan ini, seketika kepala Aretha berdenyut hebat. Pandangannya berputar. Ia pun jatuh berlutut sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba sakit.
"Lady!?" Louis langsung memegangi bahu Aretha kaget. Dipegangnya kening Aretha yang seketika panas. "Anda tidak apa-apa? Suhu tubuh Anda meningkat."
Aretha hanya menggeleng pelan seraya menyandarkan kepalanya di bahu Louis. Entah kenapa, energinya seolah terkuras habis. Padahal dia tidak melakukan apapun.
Atau mungkin … karena ia kembali ke tempat yang membawanya pada kenangan buruk?
Aretha menggigit bibir bawahnya seraya memejamkan matanya perlahan. Ia tak lagi bisa berpikir. Pusing yang tak lagi tertahan akhirnya menelan kesadarannya.
"Lady?!"
***
Saat Aretha membuka matanya, langit-langit kamar yang terang menyapa pandangannya. Diliriknya sekujur tubuh yang masih mengenakan pakaian lusuh. Ada rasa syukur dalam hati karena Louis tak menggantikan baju tanpa perizinannya.
Kemudian Aretha menoleh, mendapati Louis yang baru saja masuk ke dalam kamar dengan sebaskom air panas dan kompres.
"Berapa lama aku pingsan?" tanya Aretha lemah.
"Hm, sekitar sepuluh menit?" Louis meletakkan baskom air panas itu di atas nakas sebelah kasur. Kemudian ia kembali menyunggingkan senyuman retorikal. "Wah, wah, ada apa dengan ekspresi Anda?"
Aretha hanya menghela napas panjang dan kembali menggeleng lemah. Ia pasti sangat berbeda dari yang dilihat Louis tadi. Terbaring tak berdaya di sini menjadi salah satu kelemahannya sekarang.
"Saya membiarkan Anda di sini tadi selagi menyiapkan air hangat dan kompres. Apa Anda kecewa karena saya tidak menggantikan pakaian Anda?"
Aretha memutar bola mata malas. "Jangan bercanda, Louis."
"Tapi ekspresi Anda sendiri yang terlihat agak kecewa, loh."
Aretha tidak terkejut mendengarnya. Dia sudah menduga kalau Louis akan senang mempermainkan ucapannya. Namun, ia terlalu lemah untuk menanggapi ketidakseriusan ini.
Aretha kembali menghela napas panjang seraya mengangkat kedua tangannya. Ia akan mengesampingkan ego dan rasa malunya saat ini. Pasalnya, tubuhnya benar-benar tidak bisa berkompromi dengan otaknya sekarang.
"Bawa aku ke kamar mandi. Tubuhku benar-benar lemas, Louis," bisiknya pelan.
Louis mengangguk seraya menyunggingkan seringaian tipis.
"Dengan senang hati, My Lady."
***
Aretha kembali menghela napas panjang. Diamatinya luka dan lebam yang ada di sekujur tubuhnya. Siksaan dari neraka dunia itu benar-benar merubahnya dari ujung atas sampai kaki. Terlebih setelah ia mendapatkan pelecehan dari om-om mesum itu. Aretha jadi jijik sendiri pada tubuhnya. Ia benar-benar merasa tidak pantas untuk bersanding dengan siapapun.
Tapi untungnya, Louis berbeda dari mereka. Meskipun sosok sebenarnya adalah iblis, tapi ia masih punya tata krama di depan Aretha. Ia hanya membopong Aretha sampai di bathup. Kemudian membiarkan gadis itu membuka baju dan membasuh tubuhnya sendiri.
Sudah hampir lima belas menit Aretha berendam di sini. Kepalanya sedikit lebih ringan, pun dengan suhu tubuhnya yang berangsur membaik. Entah apa yang Louis masukkan ke dalam air bathup ini, Aretha tidak terlalu memedulikannya.
Sekarang, ia hanya memikirkan bagaimana kehidupan yang harus ia jalani saat ini.
"Benar-benar di luar dugaan," gumam Aretha seraya memendam kepalanya pada permukaan air bathup. "Kenapa semuanya harus terjadi padaku?"
"Karena itu adalah garis takdir Anda."
Aretha melirik, entah kenapa tidak terkejut pada Louis yang tengah masuk membawakan pakaian ganti. Aneh rasanya, tapi Aretha memang belum merasakan emosi tertentu sejak ia berikatan dengan Louis, selain emosi apia da tentunya.
Rasanya benar-benar seperti mati rasa.
"Mata Anda benar-benar seperti orang yang telah melihat kematian, Lady." Louis mendekat, duduk di pinggiran bathup dengan seringaian khasnya. "Sapphire yang begitu cantik, tapi juga menyedihkan."
"Kamu mengejekku?" Aretha mendengkus sambil melipat kedua kakinya. "Aku memang telah melihat banyak kematian dalam dua hari terakhir. Rasanya … warna dalam duniaku jadi gelap semua."
Ya, rasanya begitu gelap, pahit, dan mengerikan di saat yang bersamaan.
"Salah satu trik untuk mengguncangkan mental lawan, yaitu membiarkan dia melihat sesuatu mengerikan yang tak pernah terjadi dalam hidupnya," Louis melepas sarung tangannya perlahan sebelum kemudian menyentuh permukaan air.
"Tapi Anda tidak bisa memasang wajah seperti itu untuk menghadapi musuh, bukan?" Louis menyentuh pipi Aretha, menarik dagu itu dengan lembut. "Anda tahu apa yang harus Anda lakukan bukan, My Lady?"
Aretha terdiam sesaat, memperhatikan sepasang manik ruby itu. Jika ini adalah kondisi normal, pasti jantungnya telah berdegup kencang dengan perlakuan Louis yang begitu manis. Bahkan bisa saja ia jatuh hati pada pesona Louis saat ini. Karena untuk kategori seorang pelayan, ketampanan Louis benar-benar di atas rata-rata.
Namun, Aretha sama sekali tak merasa seperti itu, seolah dia telah biasa berhadapan dengan Louis. Ia hanya memandang Louis dengan datar. Sepasang manik sapphire itu belum menunjukkan pancaran kehidupan yang sebelumnya bersemayam di sana.
"Apa saya perlu merilekskan tubuh Anda?" tanya Louis, bergeser ke pinggiran bathup di belakang Aretha. "Kalau Anda tidak bicara apapun, saya anggap iya."
Aretha hanya mengangguk pelan. Hingga ia merasakan jemari dingin itu menyentuh pelipisnya, memijit kepalanya perlahan. Ada sensasi nyaman yang mulai menggelitik kepalanya. Jemari itu berhasil membuainya dalam rasa tenang.
Kedua alis yang sedari tadi berkerut pun perlahan memudar, menunjukkan betapa rileksnya kepala Aretha sekarang. Ekspresinya pun melunak, bersama dengan sepasang iris sapphire yang kembali memancarkan aura kehidupan.
"Aku tidak pernah menduga kalau pijitan iblis seenak ini," ucap Aretha seraya melirik wajah Louis di atasnya. "Apa setelah ini kamu akan menghasutku untuk melakukan suatu hal berbahaya?"
"Ahahaha, mana mungkin. Saya hanya seorang pelayan saat ini, My Lady," ucap Louis sambil menyengir riang. "Lagipula sudah tugas seorang pelayan untuk melayani majikannya, bukan?"
Aretha kembali terdiam. Memang benar kalau posisi mereka saat ini adalah majikan dan pelayan. Tapi itu semua kan bermula dari kontrak perjanjian mereka. Toh, pada akhirnya Louis juga akan meminta raga dan jiwanya sebagai makanan penutup.
"Kenapa kamu memilih untuk menjadi pelayanku?" tanya Aretha, kembali memejamkan matanya. "Padahal … kamu bisa punya jabatan lebih tinggi, seperti tunangan misalnya?"
Kedua sudut bibir Louis kembali terangkat.
"Oh? Jadi Anda menginginkan saya jadi tunangan Anda?" Louis merendahkan kepalanya. "Apa Anda mulai terpikat dengan saya?"
"Hah?"
Sepasang iris sapphire itu kembali terbuka saat merasakan deru napas yang berada tepat di atasnya. Refleks, tangan itu segera mendorong wajah Louis dengan kasar, tidak membiarkan lelaki itu mendekati dirinya.
"Jangan konyol. Aku tidak akan terpikat dengan iblis sepertimu," ucap Aretha dengan penuh penekanan. "Hubungan kita hanya sebatas kontrak perjanjian, kan?"
Ya, tentu saja Aretha tidak mau memiliki tunangan beda jenis dengannya. Dia masih normal. Sekalipun hidupnya hancur, pasti di masa depan nanti ia juga akan mendambakan kehidupan yang kembali normal.
Meskipun kemungkinan untuk kembali normal itu sangat kecil.
"Ahahaha, lihat? Reaksimu saja seperti itu, Lady," ucap Louis, tersenyum geli. Ia kembali bergeser, kini berada di depan Aretha dan kembali menarik dagu gadis itu. "Tapi ada satu hal yang harus Anda ingat mulai sekarang."
"Apa?"
"Tanpa menjadi tunangan pun, jiwa dan ragamu milikku selamanya, Aretha Bathory."
Aretha terdiam, tanpa sadar menelan ludah susah payah. Dilihatnya iblis yang tengah menyeringai licik itu.
Sepertinya, memang tidak ada pernah kata kembali mulai detik ini.