Satu hari di neraka terlewati dengan penuh siksaan. Entah sudah berapa anak yang terbunuh hanya karena masalah sepele. Pikiran Aretha semakin kalut. Ia ingin menolong, tapi ia sendiri pun tak punya kekuatan. Oleh karenanya, dendam dan amarah itu semakin bergemuruh dalam hatinya.
Aretha benar-benar membenci dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa. Rasanya percuma saja terkenal sebagai anak keturunan dari Marquis Bathory yang terkenal hebat di medan perang. Karena nyatanya, ia tidak punya kekuatan apapun untuk keluar dan membawa anak-anak malang itu dari tempat ini.
Aretha pun memilih diam. Terlebih saat ia merasakan jeruji selnya bergerak. Diliriknya orang-orang berjubah hitam yang tengah mendorong jeruji sel itu. Mereka ada empat orang dan semuanya sama-sama menutupi setengah wajahnya dengan tudung jubah itu.
"Kemana kalian membawaku?" Aretha bertanya pelan. "Apakah sudah waktunya aku dijadikan tumbal?"
Sayangnya, tak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua hanya diam membisu dan tetap mendorong jeruji sel tersebut.
Aretha pun menghela napas panjang. Ia pun memendam kepalanya di antara kedua kakinya yang tertekuk, sementara benaknya terus berpikir kemungkinan untuk kabur dari tempat ini. Berusaha menemukan celah pun rasanya sulit sekali karena orang-orang berjubah hitam ini selalu berada di sekelilingnya.
Ah, sekarang Aretha benar-benar merindukan keluarganya, rumahnya, dan kehidupannya sebelum insiden ini terjadi. Dia rindu kehidupannya yang normal.
Andai saja waktu bisa berputar kembali ….
******
KLANG!
Jeruji sel itu berguncang hebat. Aretha yang sempat ketiduran pun langsung tersentak kaget. Dilihatnya orang-orang berjubah hitam itu yang telah membukakan pintu jeruji sel dengan kasar. Mereka menyeringai lebar, seolah telah menantikan saat ini tiba.
"Argh!" Aretha merintih pelan saat tangannya ditarik paksa. "Hentikan―aduh!"
Sebuah borgol besi kembali mengikat kedua pergelangan tangannya. Aretha meringis, merasakan perih dari borgol yang terlalu kencang. Orang-orang berjubah hitam itu pun memaksanya untuk keluar dari jeruji sel.
Sebuah stadion besar menyapa pandangan Aretha. Namun, itu bukan stadion mewah yang biasa digunakan untuk arena pertarungan ksatria, melainkan sebuah stadion kumuh yang tak terpakai lagi. Parahnya lagi, puluhan orang bertopeng dengan balutan pakaian bernuansa gelap berdiri di bangku penonton.
Aretha terhenyak tak percaya. Belum sempat memperhatikan sekelilingnya dengan jelas, kepalanya dipaksa untuk tetap memandang lurus. Di tengah stadion, terlihat sebuah meja kayu panjang yang dikelilingi oleh sebuah symbol bintang segi enam di tengah lingkaran. Aretha pernah melihatnya di sebuah buku usang dalam perpustakaan mansionnya.
Simbol itu adalah sebuah lingkaran sihir gelap.
"Aretha Bathory. Akhirnya, hari penumbalanmu terjadi juga. Kami telah menantikan saat ini tiba."
Seorang lelaki bertubuh besar telah menunggunya di tengah panggung stadion. Dia mengenakan jubah yang sama seperti orang-orang yang membawa Aretha. Setengah wajahnya tertutup oleh topeng yang serupa dengan orang-orang di sekelilingnya. Namun, Aretha bisa melihat seringaian jahat itu dengan jelas.
Ah, betapa Aretha membencinya. Lelaki besar ini pasti pemimpin kelompok jahat ini. Terlihat bagaimana dua orang yang membawanya ini langsung mengangguk patuh saat lelaki besar ini memberikan isyarat tangan.
Dan tiba-tiba saja, tubuh Aretha dihempaskan kasar di atas meja panjang itu. Aretha kembali merintih kesakitan. Terlebih saat borgol yang ada di tangannya dikaitkan dengan rantai pada meja itu.
"Brengsek …." Aretha menggeram kesal. Ia mencoba memberontak, tapi hasilnya nihil. "Lepaskan aku! Aku tidak mau jadi tumbal kalian!"
Tawa mengejek pun menggema di seisi stadion. Orang-orang mulai menertawakannya, mencemooh, dan menyorakinya. Seolah mereka menikmati penderitaan Aretha saat ini.
"Lepas? Jangan bermimpi, Aretha Bathory." Lelaki bertubuh besar itu kembali mengisyaratkan pada bawahannya. "Bawakan dua kepala berharga itu!"
Aretha tersentak sempurna. Dua kepala, katanya? Kepala siapa yang dimaksud lelaki itu?
Orang-orang kembali bersorak riuh. Seketika jantung Aretha berdegup kencang. Ia meneguk ludah susah payah. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang salah di sini. Terlebih setelah menyadari seringaian lebar lelaki besar itu yang benar-benar tidak wajar.
"Kami telah membawanya, Bos."
Mendengar bawahannya telah kembali, lelaki besar itu pun berbalik memunggungi Aretha, kemudian turun dari atas panggung. Aretha pun mengikuti arah pandang lelaki itu dan kembali tersentak sempurna menyadari siapa kepala yang dimaksud.
Itu adalah dua kepala orang tuanya.
"BRENGSEK! KALIAN BRENGSEK!" Aretha menjerit, memberontak susah payah. Tangisannya pun pecah di tengah emosinya meledak. "BAJINGAN KALIAN SEMUA! BERANI-BERANINYA KALIAN PADA ORANG TUAKU! DASAR BRENGSEEEK! BAJINGAN TUA BRENGSEK!"
"Kita mulai ritualnya."
Tanpa memedulikan jeritan Aretha, lelaki besar itu mengangkat kedua tangannya yang membawa dua kepala orang tua Aretha dengan begitu tinggi. Orang-orang di sekelilingnya mengikuti apa yang lelaki besar itu lakukan.
Detik kemudian, Aretha tak lagi mendengar apa yang orang-orang ini ucapkan. Telinganya tak lagi bisa fokus menangkap suara apapun. Pikirannya benar-benar kalut. Tubuhnya semakin memberontak seiring dengan emosi yang semakin memuncak.
Kali ini Aretha sama sekali tidak bisa toleransi. Setelah melihat pembantaian di dalam mansionnya, kini ia harus melihat kedua kepala orang tuanya yang terpisah secara mengenaskan?! Jangan bercanda!
Amarah Aretha tak lagi bisa ditahan. Ia benar-benar membenci mereka. Ia membenci semua orang yang ada di stadion ini tanpa terkecuali.
"AKAN KUBUNUH KALIAAAAN, DASAR PARA BAJINGAN KOTOR!" Aretha kembali berteriak penuh kebencian. "SIAPAPUN, BUNUH MEREKA SEMUAAAA!"
WHUSSSSSH!
Lingkaran setan itu menyala itu bersinar keunguan. Seketika angin beserta asap hitam mengelilingi Aretha, bersamaan dengan suara yang seketika menggema di kepalanya.
[Siapa yang memanggilku ke sini?]
Aretha tersentak saat sebuah bayangan hitam berkumpul tepat di atasnya. Ia sama sekali tidak terpukau. Giginya justru bergemelatuk kesal karena kepalanya sudah tidak mampu untuk berpikir situasi apa yang tengah ia hadapi saat ini.
[Kau kah yang memanggilku ke sini?] Bayangan itu perlahan membentuk sebuah tubuh manusia. Sebuah uluran tangan menyapa pipi Aretha pelan, beserta sepasang iris kemerahan yang menyala. [Ah, jiwa yang kunantikan … apakah kau yang memanggilku, gadis cantik?]
Aretha kembali menggeram. Meski dia tak tahu siapa lelaki ini, tapi dirinya tak lagi merasa takut. Amarah dan dendam itu benar-benar telah mengubur ketakutannya.
"Bunuh mereka!" seru Aretha dengan penuh kebencian. Ia menatap bayangan itu dengan sungguh-sungguh, tak lagi memikirkan resiko yang terjadi nanti. "Aku tidak peduli siapa kamu, bunuh mereka semua!"
[Anda harus menjadi tuanku jika ingin seperti itu, Nona Manis.] Tangan bayangan itu memotong borgol tangan Aretha dalam satu kedipan mata. [Jadi apa yang akan kamu lakukan, Nona?]
Aretha sadar kalau bayangan ini bukanlah manusia. Namun, dia sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi nanti. Emosi benar-benar telah menguasai dirinya. Dia hanya ingin membunuh semua orang yang ada di sini tanpa terkecuali.
"Kalau begitu, buatlah kontrak denganku!" seru Aretha tegas. Sepasang mata yang memancarkan amarah, dendam, dan kebencian itu bercampur menjadi satu. "Akan kubayar semuanya dengan nyawaku!"
Bayangan hitam itu menyeringai lebar. Sepasang iris mata merahnya seolah menyala saat tangannya menyentuh kepala Aretha.
[Dengan senang hati, Nona.]
Detik kemudian, Aretha merasakan sebuah kekuatan merasuki tubuhnya.
WHUUUSSSHHH!
Angin badai langsung meluluh lantakkan stadion itu. Teriakan dan kepanikan orang-orang langsung lenyap dalam satu kedipan mata. Begitu angin badai itu berangsur menghilang, Aretha langsung disuguhi bercakan darah dan gelimpangan mayat dimana-mana.
Semua orang mati, kecuali diri Aretha sendiri.