Sebuah rencana mengalir ke kepala Susi demi membalaskan dendamnya terhadap kecuekan Jaka. Susi memasukkan sebuah plastik kecil yang berisi obat tidur di dalam saku celananya, kemudian berakting seakan dirinya tengah sakit. Susi berhasil membuat Jaka pulang bersamanya.
Jaka terus saja mendumel dalam hati. Sesekali ditolehnya kanan dan kiri guna memastikan bahwa tidak ada yang mengenali mereka. Jaka takut sekali jika pemandangan tersebut sampai diketahui oleh Anggi.
Jaka terus membawa Susi menuju trotoar untuk menanti angkutan umum. Tetangganya itu senantiasa merengkuh tubuh Jaka seolah-olah tak ingin berpisah darinya.
"Mas. Rasanya kok semakin sakit, ya,"
Tiba-tiba Susi berjongkok di bibir jalanan dan menenggelamkan wajahnya diantara dua lutut. Jaka terhenyak menyaksikan Susi yang tak ubahnya anak-anak sedang merajuk.
"Kenapa lagi?" tanya Jaka menahan kesal.
"Maaas,"
Susi mendongakkan wajahnya. Dengan begitu, Jaka dapat melihat air mata Susi kembali terkucur deras.
"Mas. Aku udah gak tahan. Tolong bawa aku ke rumah sakit," titah Susi seraya mengudarakan kedua lengannya.
"Harus sama aku?" tanya Jaka tak suka.
"Sama siapa lagi, Mas? Tolonglah. Ini sakit banget,"
Jaka membanting sepasang bahunya. Terpaksa dirinya mengindahkan permintaan Susi dan membawanya ke rumah sakit. Jaka menanti kehadiran taksi agar lebih memudahkan perjalanan mereka.
Susi langsung dibaringkan di brankar pasien sesampainya di sana. Dokter pun meminta agar Jaka menunggu di luar hingga Susi selesai diperiksa.
"Benar-benar bikin repot anak itu," geming Jaka.
Ingin sekali rasanya ia meninggalkan Susi. Namun, Jaka tak sampai hati melakukannya. Meskipun Jaka tak menyukai Susi, tapi di hatinya masih terbesit rasa persaudaraan sesama Agama dan manusia. Lagi pula, apa kata rekan kerja mereka kalau sampai Jaka menelantarkan Susi yang sedang sakit.
15 menit berlalu. Dokter keluar ruangan dan langsung menemui Jaka yang terduduk di bangku tunggu.
"Gimana, Dok?" tanya Jaka pada pria berkaca mata tersebut.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasien mengatakan kalau beliau sering makan makanan yang pedas. Saya sudah memberi obat dan pasien bisa pulang sekarang juga,"
Jaka terdiam sejenak mendengar penuturan sang dokter. Perkataan laki-laki itu sangat berbanding terbalik dengan yang Susi lakukan. Susi seolah merasakan sakit yang teramat sangat.
"Boleh saya masuk?" Jaka tak sabaran ingin melihat keadaan Susi.
"Silahkan,"
Tak ingin mengulur waktu, Jaka langsung menyembulkan diri ke ruangan pasien. Dilihatnya Susi sedang menatap kosong ke arah langit-langit kamar.
"Kamu sebenarnya sakit gak, sih?"
"Mas Jaka? Kenapa tanya begitu?"
Jaka berdiri tepat di sisi brankar dan Susi berusaha untuk duduk.
"Kata dokter kamu gak kenapa-napa. Kamu gak usah akting demi dapat perhatianku ya, Sus," ucap Jaka mulai terpancing emosi.
"Ya, ampun, Mas. Aku gak mungkin kurang kerjaan, bahkan sampai mau dibawa ke rumah sakit gini. Emangnya apa kata dokter?"
"Dokter bilang gak ada yang perlu dikhawatirkan dari kamu, bahkan kamu bisa pulang sekarang juga,"
Susi menubrukkan badannya pada sandaran brankar pasien. Dibiarkannya suasana hening selama beberapa saat.
"Aku yang ngerasain, Mas. Lambungku bener-bener perih. Aku banyak makan pedas belakangan ini." Susi memberikan pernyataan yang sama.
"Terserah kamulah. Aku mau pulang,"
Saat Jaka hendak meninggalkan Susi, buru-buru wanita itu menarik pergelangan tangan Jaka.
"Apa lagi, Sus?" Jaka menangkis rengkuhan itu.
"Tunggu aku dong, Mas. Aku gak berani ambil risiko kalau pulang sendirian. Sebentar aja,"
"Nanti istriku kecarian, Sus,"
"Aku yang bakal ngomong ke Mba Anggi. Plis, Mas. Kamu gak kasihan lihat aku?" Susi membuat wajahnya sekusut mungkin untuk menarik simpati Jaka.
"Ah, ya sudahlah. Ingat! Dua jam lagi kita harus pulang,"
"Iya, Mas. Kamu tunggu aja di sini,"
Susi girang bukan kepalang ketika Jaka menyetujui permintaannya. Dia pun meminta Jaka untuk duduk di kursi yang bersisian dengan brankar pasien.
Jaka meraih bangku tersebut dan menariknya agar jauh dari tempat Susi tertidur. Tak lama setelah itu, rasa kantuk perlahan menyerangnya. Jaka pun tertidur di atas kursi.
"Sedikit lagi rencanaku pasti berhasil," kata Susi dalam hati.
Selagi Jaka terlelap, gegas Susi meraih plastik kecil yang disimpannya di saku celana. Perempuan itu menuangkan serbuk tidur pada gelas yang terletak di nakas. Susi menunggu Jaka hingga pria itu terbangun dari tidurnya.
"Mas, kamu udah bangun?" Susi menyapa tatkala Jaka bangkit dari alam mimpi.
Jaka membidik jam yang tercantel di dinding, kemudian mengucek matanya.
"Mas, kamu gak haus? Kalau haus minum aja air itu," ucap Susi menunjuk gelas di sebelahnya.
Tentu saja Jaka haus. Susi mendadak minta dibawa ke rumah sakit dan dirinya sampai lupa membeli minum serta camilan.
"Aku beli di luar aja nanti," pungkas Jaka.
"Gak apa-apa, Mas. Minum aja. Aku gak haus kok. Toh, sebentar lagi kita pulang,"
"Kamu yakin?"
"Iya, Mas,"
Jaka mengambil gelas tersebut dari nakas dan langsung meneguk airnya hingga tandas tak tersisa.
"Sebentar lagi kita pulang ya, Mas," kata Susi setelah Jaka menyelesaikan kegiatannya.
Jaka hanya menganggukkan kepala dan kembali ke kursinya. Anehnya, sepuluh menit setelah itu, Jaka merasakan ngantuk berat. Jaka berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertidur lagi, mengingat Susi akan mengajaknya pulang. Namun, apalah daya. Usaha Jaka tidak membuahkan hasil. Jaka pun kembali terlelap tanpa bisa dicegah.
"Hahaha. Mampus kamu, Jaka!" Tawa Susi menghiasai seisi ruangan.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Kini, saatnya Susi beraksi. Wanita itu mencabut selang infus secara paksa dan berjalan ke arah bangku Jaka. Diturunkannya Jaka perlahan-lahan dari atas sana untuk dibaringkan di bawah. Kemudian Susi membuka seluruh pakainnya dan hanya mengenakan selimut. Susi juga melucuti pakaian Jaka hingga dia bert*lanjang dada. Tak lupa Susi membubuhkan obat merah di brankar pasien, sehingga terlihat persis seperti darah. Susi tertawa puas dan dia pun menunggu waktu pagi tiba.
***
Sudah pukul sebelas malam, tapi Jaka belum pulang juga. Lelaki itu terlambat enam jam. Siapa yang tidak panik? Begitulah yang dirasakan oleh Anggi. Dirinya mondar mandir di rumah guna menanti kehadiran sang suami.
"Di mana kamu, Mas?" Air mata Anggi meleleh.
Seketika Anggi teringat Susi. Bukankah perempuan itu dan suaminya satu pekerjaan? Anggi meninggalkan rumahnya dan berlari ke gedung sebelah. Anggi berharap semoga Susi dapat menjadi sumber informasinya.
Tok! Tok! Tok!
"Sus. Buka pintunya!" Anggi memekik.
Tidak biasanya Jaka pulang terlambat, sekalipun saat hujan dan petir melanda. Perasaan Anggi berkecamuk. Dia khawatir jika telah terjadi sesuatu dengan suaminya.
Bolak-balik Anggi mengetuk pintu seraya menahlil nama Susi. Sialnya, wanita itu tak kunjung keluar. Anggi pun memilih untuk mengintip ke dalam rumah melalui jendela yang gordennya sedikit terbuka.
Tap!
Sepi.
Tidak terdapat penghuni di rumah Susi.
"Susi juga belum pulang. Kenapa bisa samaan begitu?" Pikiran Anggi mulai liar.
***
Bersambung