Mentari seakan malu untuk menampakkan wujudnya. Sementara di pojok ranjang, seorang wanita sudah terjaga lebih dahulu. Dia memeluk kedua lututnya yang dibalut oleh selimut tebal. Rambut berantakan dan wajah kusam sangat menonjol dari diri perempuan tersebut.
"Hiks hiks hiks huuuu,"
Susi kian mengencangkan tangisan tatkala pagi telah menyambut dan dilihatnya Jaka masih saja tertidur tanpa pakaian di bawah sana. Sengaja Susi melakukan semua itu agar Jaka segera terbangun.
Benar saja. Selang beberapa menit kemudian, laki-laki itu perlahan membuka matanya. Pemandangan yang pertama kali dilihat Jaka adalah langit-langit putih yang berada di atas kepala.
Jaka tersentak dan buru-buru membangkitkan tubuh. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa dirinya masih berada di rumah sakit. Lebih konyolnya lagi ada Susi yang tengah menangis hebat.
"Astaga. Kenapa aku ketiduran di sini?"
Jaka berlari ke arah jendela dan langsung menyingkap gordennya. Hatinya tak karuan saat melihat awan terang menyelubungi bumi, pertanda pagi sudah datang. Selanjutnya, Jaka menilik Susi yang entah kenapa bisa menangis histeris.
"Susi. Kamu ngapain?" tanya Jaka kaget.
Selain karena menangis, Jaka juga heran melihat Susi yang memeluk lututnya dengan bahu terbuka. Ke mana pakaian wanita itu dan apa yang telah terjadi?
"Kamu jahat, Mas!" ucap Susi yang semakin mengencangkan tangisan.
Jaka membulatkan mata. Ia berjalan ke arah Susi untuk memastikan keadaan.
"Jahat gimana maksudmu?"
Susi menggigit selimut yang menutupi tubuhnya. Kain tebal itu sesekali terkena tetesan air mata Susi.
"Ada apa, Sus?" Jaka kembali bertanya setelah tidak mendapat respon.
"Kamu paksa aku untuk ngelakuin hal itu, Mas," teriak Susi.
"Hal apa?" Jaka semakin heran.
"Kamu perk*sa aku, Mas,"
"Apa?"
Bagai disambar petir mendengar ucapan Susi barusan. Jaka tak mudah memercayai ini semua, karena seingatnya dia hanya menemani wanita itu di ruangan pasien. Jantung Jaka berdegub kencang. Seketika wajah Anggi terbayang-bayang. Dapatkah Jaka berkhianat dari wanita yang dicintainya?
"Gila kamu!" bentak Jaka.
"Kamu mau ngeles lagi, Mas? Lihat! Semua pakaianku kamu lucuti," titah Susi, kemudian menunjuk baju dan celana yang tergeletak di lantai.
Jaka pusing tujuh keliling. Diraihnya kain tersebut dan Jaka menemukan beberapa bagian yang robek.
"Aku gak merasa melakukan apa-apa, Sus," balas Jaka tak terima.
"Mungkin kamu khilaf, Mas. Aku juga gak nyangka kamu tega manfaatkan keadaan. Hiks hiks hiks,"
Susi pun menarik selimutnya yang nyaris menutupi kasur. Bersamaan dengan itu, Jaka mendapati tiga tetes cairan bewarna merah di sana. Jaka semakin bertanya-tanya dalam benak. Di samping itu, ia juga khawatir bahwa dirinya memang telah melakukan kegiatan terkutuk bersama Susi.
"Kamu berhasil ambil mahkotaku, Mas." Lagi-lagi Susi angkat bicara.
Jaka meremas rambutnya tanda frustasi. Diingat-ingatnya lagi tentang kejadian kemarin. Jaka tidak bodoh apalagi amnesia, dirinya tahu bahwa ia hanya ketiduran sampai pagi.
"Kamu sengaja jebak aku, Sus?"
Saking geramnya, Jaka sampai menjepit dagu Susi dengan kelima jarinya. Ingin sekali rasanya mengenyahkan Susi dari hadapan.
"Kamu jangan buang badan begitu dong, Mas. Aku gak mau tahu, pokoknya kamu harus tanggung jawab,"
"Tanggung jawab untuk apa?" Urat leher Jaka sampai menjegul.
"Kamu udah ngambil merampas kesucianku, Mas. Jadi, kamu harus nikahin aku,"
Degh!
Pelipis Jaka sontak dibanjiri oleh keringat. Bahkan, dia pun sampai tercengang selama beberapa waktu seberes mendengar kalimat Susi. Jaka terjebak dalam situasi sulit. Di mana dia harus mengambil sikap atas kejadian yang tidak disadarinya.
"Aku udah menikah, Sus. Makin gak waras kamu, ya!" Jaka menghentakkan kakinya di lantai.
"Jadi, gimana nasibku, Mas? Aku juga udah menghindar, tapi kamu terus maksa aku buat ngelakuinnya." Susi semakin memanaskan keadaan.
"Aku gak pernah ngelakuin apa-apa. Jangan pernah kamu berharap supaya kunikahi,"
BRAK!!!
Jaka mengambil bajunya yang tergeletak di lantai, lalu keluar ruangan pasien dan membanting pintunya dengan keras. Jaka bisa semakin gila apabila terus-terusan berada di sisi Susi.
"Mas! Pokoknya kamu harus bertanggung jawab." Tak tahu akan terdengar atau tidak, Susi lagi-lagi memberi peringatan pada lawan bicaranya.
Setelah itu, Susi membuang selimutnya dan memakai pakaian. Susi setengah mati menahan tawanya agar tidak terdengar ke luar. Ia mendapati Jaka antara yakin tak yakin dengan apa yang ia alami.
"Mampus kamu, Jaka! Siap-siap aja rumah tanggamu bakal hancur," geming Susi.
Susi pun langsung cabut dari rumah sakit setelah menyelesaikan administrasi. Ia menuju café, mengingat hari telah berganti dan jam kerja akan tiba.
Berbeda dengan Jaka, pria itu lebih memilih untuk pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Anggi. Pasti perempuan itu kecarian dirinya yang tidak pulang semalaman.
Jaka mempercepat langkah dan mendorong pintu rumah tanpa mengetuknya. Ia berlari ke dalam dengan kaki yang masih memakai sepatu. Jaka menemukan Anggi sedang melamun di meja makan.
"Anggi!"
Buru-buru Jaka memeluk sang istri. Dibelainya rambut Anggi penuh kecemasan.
"Mas, akhirnya kamu pulang juga. Dari mana aja, Mas?"
Anggi meloloskan tubuhnya dari Jaka. Disorotnya tajam wajah pria itu. Anggi bingung harus bersikap seperti apa. Antara bahagia, sedih dan kesal menjadi satu.
"Maafin Mas ya, Sayang. Ada perusahaan yang booking café selama dua hari penuh dan Mas gak bisa pulang buat ngabarin kamu,"
Jaka menyesal karena telah berbohong pada Anggi. Namun, apalah daya. Jaka tidak memiliki pilihan lain. Nantinya, Jaka akan mengompromikan hal ini pada Susi. Jangan sampai keduanya memiliki jawaban yang berbeda.
"Ya, ampun. Pantesan aku ke rumah Susi tadi malam orangnya juga gak ada." Anggi perlahan luluh setelah mendengar alasan Jaka.
"Kamu ke rumah Susi?"
"Iya, Mas. Aku mau mastiin keadaan kamu, eh rupanya dia juga gak di rumah,"
Kembali Jaka memeluk istrinya penuh kehangatan. Sesekali kepala Jaka berdenyut, karena memikirkan masalah yang tengah menimpanya.
"Sayang. Mas curi-curi waktu untuk pulang dan sekarang Mas harus balik lagi ke café," ucap Jaka.
Belum puas Anggi bersua dengan Jaka, tapi dia sudah harus kembali bekerja. Anggi memanyunkan bibir.
"Ya, sudahlah, Mas. Malam ini kamu pulang, kan?" tanya Anggi.
"Iya, Mas pasti pulang,"
Tanpa mandi dan berganti pakaian, Jaka langsung menuju café untuk bekerja. Dia tak ingin mengambil resiko karena terlambat.
Anggi bersyukur setelah kepulangan suaminya di rumah. Ia sampai mengira jika pria itu diculik orang tak dikenal atau mengalami tabrak lari. Namun, Anggi masih saja merasa khawatir. Jaka tidak memiliki ponsel untuk mereka bertukar kabar.
"Peganganku cuma cukup buat makan tiga hari ke depan. Gimana caranya supaya Mas Jaka bisa beli Handphone, ya?"
Saat itu juga Anggi menginginkan suaminya mempunyai Handphone. Ia tak ingin kejadian semacam ini terulang kembali.
"Ah, aku tahu," desis Anggi ketika sebuah ide melintas di kepalanya.
***
Bersambung