Chereads / SALAH PILIH SUAMI / Chapter 23 - JEBAKAN

Chapter 23 - JEBAKAN

"Kenapa telat pulang? Dari mana aja?" Jaka mengintrogasi istrinya yang baru saja menyembulkan diri ke rumah.

Belum pernah selama bekerja Anggi lebih lama pulang ketimbang Jaka. Hal itu mengundang tanda tanya di benaknya. Jaka tidak memiliki ponsel, karenanya ia tak dapat mengetahui di mana keberadaan Anggi.

Anggi mendaratkan bokong di kursi kayu. Dilihatnya Jaka mengusap-usap rambutnya yang basah serta tidak menggunakan kaos. Pertanda bahwa lelaki itu baru saja mandi sore.

"Maaf, Mas. Hari ini banyak banget kerjaan," ucap Anggi lesu.

Yang terjadi sebenarnya adalah Anggi dibawa makan siang oleh Raka. Awalnya Anggi menolak, tapi Raka terus saja memaksa dan mengancam akan memecatnya apabila Anggi membangkang.

Raka menjanjikan akan segera memulangkan Anggi seberes makan siang. Nyatanya, Anggi malah dibawa jalan-jalan hingga sore menjelang.

Terpaksa Anggi berbohong pada suaminya sendiri. Jaka tak akan memberi izin untuk bekerja pada Anggi jika tahu fakta yang sebenarnya.

"Wah. Kasian banget istriku. Ya, udah. Kamu mandi dulu sana." Jaka mengusap puncak kepala Anggi. Tak pernah terlintas sedikit pun kecurigaan di hatinya.

Malamnya, Anggi keluar rumah untuk membeli lauk di warung terdekat. Anggi juga merahasiakan pemberian Raka kepada dirinya. Menurut Anggi hal itu tidak perlu dikatakan pada Jaka, karena bisa mengundang gejolak api.

Anggi pulang dengan perasaan bahagia, karena bisa berbagi makanan enak dengan suaminya. Anggi bersyukur dengan uang yang diterimanya dari Raka beberapa waktu lalu.

Namun, Anggi dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa, ketika dia hendak memasuki rumah. Jaka dan Susi tengah bersisian wajah di dalam sana. Anggi sontak tak enak hati dan langsung menghampiri mereka.

"Susi, mau apa kamu?" Tanpa basa-basi Anggi bertanya pada wanita bertubuh putih tersebut.

Jaka terkejut bukan main melihat paras Anggi sudah muncul di hadapan. Jaka gugup. Buru-buru dia menjawab sebelum Susi berkata yang bukan-bukan.

"Susi baru masuk ke rumah dan minta tolong buat benerin keran air,"

"Bener, Sus?" Anggi menatap Susi dengan pandangan menyelidik.

"Iya, Mba. Aku gak ngerti caranya dan mau minta tolong ke Mas Jaka," balas Susi tanpa beban.

Anggi spontan menghela udara panjang. Nyaris saja sebuah tuduhan dilayangkan olehnya.

"Ditolong dong, Mas. Apa lagi?" Anggi menuntut suaminya.

Jaka menggaruk-garuk leher. Disorotnya wajah Susi yang sedang menanti jawaban.

"Mas lagi cape banget," ucap Jaka yang sengaja menghindar.

"Mas, gak boleh gitu dong. Susi kan tetangga kita,"

Entah kenapa, Anggi merasa jika Jaka terlalu menghindari Susi. Padahal Susi sudah baik sekali dengan keluarga mereka.

"Iya, Mas. Aku belum ada mandi nih dari tadi," timpal Susi memelas.

Anggi pun meletakkan plastik berisi lauk pauk ke meja makan dan menggiring Jaka menuju rumah Susi. Sekalian juga dia ingin memastikan apakah keran air Susi benar-benar mati atau semua ini hanya akal-akalan mereka saja.

Mau tak mau Jaka manut pada sang istri. Ketiganya pun menarik langkah menuju kediaman Susi.

"Langsung ke kamar mandi aja, Mas," titah Susi.

Anggi ikut memastikan keran air yang ternyata memang tidak berfungsi. Hatinya lega, karena keduanya tidak sedang mengada-ada apalagi sampai menyembunyikan sesuatu. Anggi dan Susi menanti di ruang tamu hingga Jaka menunaikan kegiatannya di belakang sana.

Setelah 15 menit berkutat dengan mesin air, akhirnya Jaka keluar. Sayangnya, ia hanya berjalan lurus tanpa menatap dua wanita yang berada di ruang tamu.

"Eh, sudah ya, Mas?" Susi bangkit ketika mendapati Jaka nyaris keluar rumah.

Jaka hanya mengangguk dan berkata, "Sayang. Ayo, pulang!" Ucapan itu ia tujukan untuk istrinya.

"Makasih banyak ya, Mas." Lagi-lagi Susi berusaha mencuri perhatian Jaka.

"Mba pulang ya, Sus," kata Anggi.

Susi menampilkan senyum terbaiknya untuk melepas kepergian Anggi dan Jaka. Kendatipun di relung hatinya, Susi merasakan hawa panas. Entah kenapa Jaka seakan membenci dirinya. Tak pernah barang sedikit pun pria itu membalas kebaikannya.

"Awas kamu, Jaka!" sungut Susi kesal.

***

Pekerjaan sudah berakhir. Setelah beres-beres, Susi memasukkan plastik kecil berisi bubuk putih ke dalam saku celananya. Susi berjalan menuju ruang makan. Dilihatnya sekeliling kemudian dijatuhkannya sebuah gelas.

CRANG!!!

"Arrrrrgh!"

Susi menjerit. Laungannya menembus hingga ke bagian lain. Leni merupakan orang yang pertama kali mendengar teriakan Susi langsung tergopoh-gopoh mencari rekannya itu.

"Sus!" Leni mengitari ruangan.

"Aku di sini aaaaakh,"

Susi meremas perutnya sendiri. Posisinya sudah terbaring lemah di lantai. Leni begitu terperanjat, karena Susi tidak mengeluhkan apapun selama bekerja tadi.

"Astaga, Susi. Kamu kenapa?" Leni berjongkok dan meraih kepala Susi untuk dipangku.

Air mata Susi mendarat di pipi mulusnya. Rambutnya juga sangat acak-acakan dan terdapat pecahan beling di mana-mana. Leni tidak tahu apa yang terjadi, tapi kondisi Susi begitu mengkhawatirkan.

Susi tak juga berbicara, meskipun Leni berulang kali menyodorinya beberapa pertanyaan. Leni menyerah dan berlari meninggalkan Susi seorang diri.

"Sebentar ya, Sus," pungkasnya buru-buru.

Leni mencari keberadaan rekan-rekan lain untuk mengabarkan bahwa Susi tergeletak lemah di ruang makan. Setelah itu, banyak karyawan yang kocar-kacir ingin memastikan keadaan Susi.

"Kamu kenapa, Sus?" tanya Ayu.

Susi memutar bola matanya ke seantero ruangan. Pandangannya terhenti pada wajah Jaka yang juga ikut muncul di sana.

"Hiks hiks huuuu," tangisan Susi semakin kentara.

"Ngomong, Sus. Kamu kenapa?" Leni semakin heboh.

"Maagku kambuh. Sakit banget, bahkan mau ambil minum aja gak sanggup dan gelasnya sampai jatuh," lirih Susi. Perempuan itu berkata dengan kecepatan nol.

"Ya, ampun. Kok bisa? Perasaaan, kamu masih seger aja tadi," imbuh Ayu.

"Maagku emang suka datang tiba-tiba." Kemudian Susi melirik Jaka. "Mas, aku pulang bareng kamu boleh, ya. Aku takut kenapa-napa di jalan," lanjutnya.

Seluruh karyawan café memutar kepala guna melihat Jaka yang berada di barisan paling belakang. Sementara itu, Jaka jadi salah tingkah sendiri. Dia pun mendadak kesal dengan permintaan Susi.

"Iya, Jaka. Tolong dampingi Susi pulang, ya." Leni turut membantu.

"Gak usah nunggu persetujuan Jakalah. Ini memang kewajiban dia menolong sesama tetangga," tukas seorang pekerja pria.

Jaka menelan saliva dengan sulit. Dibidiknya wajah Susi yang sudah merah padam. Persis seperti orang yang tengah menahan sakit. Sejujurnya Jaka begitu malas berhubungan dengan Susi, sekalipun wanita itu mengalami masa sulit. Namun, tuntutan teman-teman mereka membuat Jaka tak mampu menolak. Dia pasti diklaim sebagai manusia tak berhati, jika tega membiarkan Susi pulang seorang diri.

Akhirnya Jaka mengangguk sebagai kode bahwa ia menerima. Leni dan Ayu ikut membantu Susi berdiri dan menyandingkannya dengan Jaka. Kini, Susi bersandar pada bahu Jaka dan tangannya memeluk punggung Jaka.

Para karyawan lain tidak ada yang menganggap ini sebagai lelucon. Mereka meyakini bahwa Susi benar-benar sakit dan harus membutuhkan pertolongan Jaka selaku orang terdekat Susi.

Susi diantar sampai perkarangan café. Semuanya memberikan do'a agar Susi lekas membaik dan bisa masuk kerja esok hari.

"Dasar orang-orang bodoh. Mudah sekali untuk ditipu." Susi bermonolog dengan paras yang tetap dibuat sekusut mungkin. Ia semakin memeluk tubuh Jaka dengan erat.

***

Bersambung