Hingga malam begini, Jamilah masih saja menyusuri kegelapan. Hatinya begitu hancur, tatkala Jaka lebih memilih Anggi ketimbang saran darinya. Bukannya Jamilah tidak menyukai menantu seperti Anggi, hanya saja dia lebih mengutamakan kesehatan mental Jaka. Ibu mana yang sanggup mendengar celoteh buruk tentang anaknya sendiri? Begitulah yang dialami oleh wanita berambut sanggul tersebut.
Biar Jaka paham bahwa Jamilah benar-benar kecewa kali ini. Dia memutuskan untuk kabur dari rumah, meskipun tidak tahu harus berlabuh ke mana. Jamilah terus melangkah menyusuri lorong-lorong gelap yang dihuni para manusia jalanan. Sesekali ada yang memerhatikannya dengan dahi berkedut dan mata tajam. Jamilah tak hiraukan itu semua.
Saat merasa kedua kakinya mulai melamban, Jamilah memutuskan untuk berhenti di teras sebuah ruko. Tak hanya dirinya, di sana juga terdapat tiga orang pria yang sedang berteduh dari lelahnya dunia.
Srek srek srek…
Sendal Jamilah beradu dengan lantai beranda.
Perempuan itu mengambil ancang-ancang untuk duduk guna melepas penat. Namun, tak sempat ia mendaratkan bokong, ia mendengar seseorang berbicara padanya.
"Bu, jangan duduk di sini!" ucap seorang pria berbadan ramping.
Jamilah menoleh, "Kenapa?" tanyanya.
"Sebentar lagi teman-teman kami bakal datang. Ini lapak mereka,"
"Kalau mereka datang Saya langsung pergi," balas Jamilah yang lelahnya tak tertahankan lagi.
"Wah! Bandel nih nenek-nenek,"
Lelaki bertubuh kurus itu berjalan ke arah Jamilah, kemudian menarik lengannya untuk segera bangkti. Jamilah terkejut dan sedikit takut.
"Cari aja tempat lain!" Laki-laki itu mendorong bahu Jamilah. Tak peduli jika ia merupakan orang tua yang sudah lemah.
Merasa jika keberadaannya tak diinginkan, Jamilah pun segera ngacir dari sana. Dia kembali menyusuri kota untuk mencari lapak tidur.
Wajah Jaka terbayang-bayang. Jamilah seakan dicurangi kali ini, karena Jaka belum pernah membantah perkataannya barang sekalipun. Lamunan Jamilah tentang putranya seketika buyar, saat ia melihat gerobak sate di depannya.
Jamilah merogoh kantong. Sayangnya ia tak menemukan apa-apa. Jamilah baru sadar jika ia lari tanpa membawa pegangan.
"Gimana aku bisa makan ke depannya?" gumam Jamilah.
Tak ada yang dapat dilakukannya selain melirik gerobak sate yang dipenuhi oleh tusukan daging sapi tersebut sambil menelan saliva. Cacing di dalam perut Jamilah mendadak berteriak.
Karena tidak membawa uang, akhirnya Jamilah kerap menahan rasa lapar. Proses itu berlangsung selama dua hari. Jamilah hanya meminum air yang berasal dari keran masjid. Jamilah tak beranjak dari kota, karena ia masih berharap jika Jaka akan mencari dan membawanya kembali pulang. Kepergian Jamilah hanya untuk menunjukkan kekecawaannya terhadap Jaka.
Hari ini begitu terik. Mentari menampilkan pendar kuning yang sangat menusuk. Tentu saja peristiwa ini membuat Jamilah semakin tak karuan. Tubunya lelah, perutnya lapar dan matanya sulit untuk terbuka. Dua hari belakangan Jamilah kesusahan tidur, karena tempatnya yang tidak layak.
Seusai singgah di sebuah masjid untuk minum air, Jamilah kembali melaju menyusuri kota sambil berharap akan melihat Jaka. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Saat ini Jamilah benar-benar merasa tak berdaya. Hingga tanpa sadar, tubuh ringkihnya anjlok menyentuh tanah. Jamilah pingsan beralaskan lantai bumi.
BRUGH!!!
***
Dor! Dor1 Dor!
"Jaka, buka pintunya!"
Berulang kali pria tegap menjulang itu mengetuk pintu rumah Jaka. Hampir saja dia memilih pulang, tiba-tiba sosok yang dicari muncul dari penjuru lain.
"Pak?" Jaka memanggil.
Dilihatnya orang tersebut memboyong seorang wanita tua. Siapa lagi kalau bukan Jamilah. Jaka yang baru pulang dari mencari wanita itu langsung berlari tergopoh-gopoh.
"Ibu. Aku baru pulang nyariin Ibu." Diguncangnya tubuh Jamilah.
"Bapak nemuin Ibu kamu pingsan di dekat mesjid,"
Laki-laki yang merupakan orang satu kampung Jaka itu langsung meletakkan tubuh Jamilah di bawah, kemudian berangsur menuju mobilnya. Jaka mengucapkan ribuan terimakasih. Berhari-hari ia mencari Jamilah, tapi tak kunjung bertemu.
Jaka dibantu Anggi untuk memasukkan Jamilah ke kamarnya. Meski bahagia, tapi Jaka tetap khawatir karena saat ini Ibunya sedang tak sadarkan diri.
Keduanya meninggalkan Jamilah dan mulai meracik rempah-rempah untuk dimasak. Jaka juga membantu Anggi untuk membuat bubur ayam yang nantinya akan diberikan pada Jamilah apabila wanita itu telah sadar.
"Mas lihat keadaan Ibu dulu, ya," titah Jaka saat Anggi masih fokus pada kuali di depannya.
Jaka masuk ke kamar Jamilah dan betapa terkejutnya ia saat melihat sekujur tubuh Jamilah sudah membiru.
Degh!
"Anggi!" Jaka memekik.
Anggi melaju cepat guna menuruti panggilan sang suami. Dirinya juga terperanjat ketika menyaksikan pemandangan di depan mata.
"Mas, Ibu kok begini?" tanyanya panik setengah mati.
Jaka meraba tangan serta kaki Jamilah. Keterkejutannya semakin bertambah tatkala mendapati bahwa tubuh Ibunya telah menegang. Buru-buru Jaka menempelkan telunjuknya di hidung Jamilah.
"I- ibu ud- udah g- gak ada," lirih Jaka.
Bergetar hebat tubuh keduanya. Anggi menjatuhkan lutut di lantai kamar, sementara Jaka menubrukkan kepalanya pada sandaran ranjang. Pingsannya Jamilah mengantarkan wanita itu pada kematian.
"Ibu kenapa pergi secepat ini?" Jaka memekik keras.
Sepasang suami istri itu menangis sejadi-jadinya. Siapa sangka jika Jamilah akan meninggalkan mereka semua. Jaka tidak tahu apa-apa saja yang terjadi pada Ibunya di luaran sana, bahkan dia juga tak mengerti kalau perempuan itu mati karena menahan rasa lapar.
Rupanya jeritan Jaka dan Anggi terdengar hingga ke telinga tetangga. Beberapa orang mulai berdatangan. Mereka juga terkejut atas meninggalnya Jamilah.
***
Rumah Jaka disambangi oleh rekan-rekan kerjanya di café sehari setelah wafatnya Jamilah. Mereka membawa banyak buah tangan ke sana dan semua itu tak terlepas atas saran Susi. Perempuan itu turut berbelasungkawa atas wafatnya Ibu Jaka.
"Mas Jaka udah makan?" tanya Susi. Disaksikan juga dengan beberapa orang di sana.
Wajah Jaka beserta istrinya begitu muram. Mereka tak semangat melakukan apapun. Kepergian Jamilah yang secara mendadak begitu membuat keduanya syok dan terpukul.
Jaka hanya mengelengkan kepala samar sebagai jawaban atas pertanyaan Susi. Jangankan makan, untuk membuka mata saja pun rasanya begitu enggan.
"Di dapur ada makanan gak, Mas? Biar aku yang ambilin,"
Konyolnya Susi hanya bertanya pada Jaka. Padahal ada Anggi yang juga sama-sama merasa kehilangan. Tentu saja kejadian itu membuat tanda tanya baru di kepala rekan kerja mereka.
Jaka kembali menggelengkan kepalanya. Ingin sekali Jaka mengusir Susi yang sok perhatian. Sayangnya, di hadapan Jaka banyak rekan kerja. Mustahil ia melakukan hal tersebut.
"Loh, Mba Anggi gak masak?" tanya Susi dan lagi-lagi Jaka menggelengkan kepalanya.
"Duh! Walaupun lagi suasana duka, tapi gak mengabaikan kewajiban sebagai seorang istri juga dong, Mba," imbuh Susi.
Wanita itu sengaja mencari celah agar Anggi terlihat buruk. Susi tersenyum samar setelah berucap demikian.
***
Bersambung