"Mau ngapain, Mas?"
Dida memergoki suaminya yang tengah tercegak di ambang pintu kamar Anggi seraya menarik knocknya. Dodi terus melangsungkan aksinya tanpa mengindahkan pertanyaan sang istri. Dida pun memutuskan untuk mengekori Dodi yang ternyata berjalan ke arah lemari pakaian.
"Jangan ada barang-barang Anggi yang tersisa di sini," pungkas Dodi. Kedua tangannya sibuk meraih seluruh pakaian Anggi dan memasukkannya ke dalam koper.
"Mau dikemanakan baju-baju ini?" tanya Dida.
"Kita antar aja ke rumahnya, sekalian bilang kalau dia bukan anak kita lagi,"
Dodi benar-benar kecewa dengan Anggi yang sama sekali tidak menggubris permintaan orang tuanya. Padahal mereka melakukan semua itu demi kebahagiaan Anggi. Dodi jadi menyesal, karena memiliki putri seperti Anggi. Jika tahu bahwa Anggi akan menjadi anak pembangkang, maka lebih baik dia mengasingkan Anggi sejak dulu. Dodi tak perlu memberinya segala bentuk kemewahan.
Dida juga tak memberi tanggapan atas kemauan Dodi. Dia pun sama kecewanya dengan laki-laki itu. Bagi Dida, dirinya hanya melahirkan lalu membesarkan seorang anak keras kepala. Dida membiarkan Anggi dengan pilihannya sendiri.
"Ya, sudah, Mas. Sekalian aja tuh foto-fotonya juga diangkut,"
Akhirnya Dida turut membantu Dodi untuk memasukkan seluruh barang-barang Anggi ke dalam koper. Keduanya sudah pasrah untuk kehilangan anak semata wayang mereka.
***
Tak ingin dipecat dari pekerjaan, Anggi pun memilih untuk beranjak ke rumah Raka setelah dua hari kematian Jamilah. Meski hatinya masih diliputi kesedihan, tapi tak menjadikan ia lupa kewajiban.
Baru saja sampai di depan pagar, Anggi sudah melihat Raka duduk di kursi beranda rumahnya. Anggi jadi sungkan, karena ia tidak izin saat absen kemarin.
"Pak Raka?" Anggi malu-malu.
Raka tersimpul miring sambil melipat kedua tangan di dada. Kakinya disilangkan dan kedua matanya memandang Anggi penuh keseriusan.
"Kamu gak masuk kemarin?" tanyanya.
"Maaf, Pak. Saya gak bisa izin, karena gak tahu kontak Bapak," balas Anggi was-was.
"Aku belum tua. Jadi, kamu panggil Mas aja." Raka memilin jambang tipisnya.
"Eh, iya, M- Mas,"
"Kenapa kamu gak kerja?"
Anggi sempat merasa aman, karena mengira jika Raka tidak mengunjungi rumahnya. Nyatanya, laki-laki itu malah tahu kalau pembantunya tidak masuk.
"Mertuaku meninggal, Pak,"
"Oh ya?" Raka sedikit menegakkan badan.
Anggi mengangguk sebagai bukti jawaban, kemudian berlalu begitu saja. Lebih baik ia segera menyelesaikan pekerjaan daripada ngobrol tidak jelas dengan majikannya.
Tak lama setelah Anggi berada di dalam, Raka pun ikut menyusul. Dia meraih sesuatu dari saku celana dan mengulurkan tangannya pada Anggi.
"Apa ini, Pak? Eh, Mas." Anggi menutup mulutnya karena salah bicara.
"Buatmu,"
Kejadian saat Anggi bersama Morko kembali terulang dengan orang yang berbeda. Anggi menangkap jelas bahwa Raka menyerahkan beberapa lembar uang pada dirinya.
"Aku baru kerja dua hari di sini, Pak," ucap Anggi lalu melanjutkan pekerjaan.
Raka pun mencampakkan begitu saja sapu yang sedang tergenggam di tangan Anggi, kemudian menyelipkan uang di sana. Selama beberapa detik jari keduanya saling bertautan.
"Oh, maaf," titah Raka saat Anggi menarik lengannya.
"Simpan uang itu untuk kebutuhanmu,"
Raka pun menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung. Isyarat bahwa dia tak ingin menerima uang itu kembali. Sementara itu, Anggi dibuat bingung bukan main. Merasa sungkan, tapi di sisi lain dirinya juga sedang butuh uang.
"Makasih banyak ya, Pak,"
Pada akhirnya Anggi menerima benda tersebut. Setelahnya ia berjanji akan bekerja lebih giat lagi di sini.
***
Jaka mendapat izin untuk tidak masuk selama tiga hari. Pemilik café begitu paham bahwa dia sedang berduka atas meninggalnya sang ibu. Tidak hadirnya Jaka membuat para karyawan café berinisiatif untuk mengorek informasi tentang pria tersebut dari mulut Susi.
"Kamu kelihatannya udah deket banget sama Jaka," ujar Leni.
Susi menghentikan sendok yang nyaris masuk ke mulut. Kegiatan makan siang memang kerap membuat para karyawan wanita sibuk bergunjing.
"Deket banget malah," balas Susi jumawa.
"Kalian kenal di mana?"
"Mas Jaka itu tetanggaku," ucapnya tanpa menyebutkan bahwa mereka baru saja menjadi tetangga.
"Kalian sering ngobrol kalau di rumah?" tanya Ayu. Rekan mereka yang satunya lagi.
"Sering banget. Mas Jaka itu suka kesepian, karena istrinya cuek. Kalian denger sendiri kalau kemarin perempuan itu gak masak buat Mas Jaka, kan?" Susi mulai menabur bibit-bibit fitnah dalam obrolan mereka.
"Iya, sih. Aku juga lihat. Kasihan banget ya si Jaka," imbuh Leni yang mulai terpedaya.
Selangkah demi selangkah Susi menjalankan misinya untuk mengambil Jaka dari hidup Anggi. Ia menginginkan sosok Abangnya kembali hadir. Tidak peduli jika ia harus menggunakan cara yang tidak baik.
"Iya, bahkan aku sering kasih mereka sembako loh. Istrinya kalau dikasih uang, malah dihabisin buat foya-foya,"
"Ah, masak? Tega banget sih,"
"Asal kalian tahu aja, Almarhum Bu Jumilah benci banget sama perempuan itu. Ya, sayangnya Mas Jaka tetap pertahanin rumah tangga mereka,"
Karyawan yang berada di sana sungguh tak mengira jika Jaka mempunyai seorang istri tidak tahu diri. Mereka juga iba terhadap nasib Jaka.
"Hati-hati loh, Sus. Bisa jadi Mas Jaka jatuh cinta sama kamu, karena sering diperhatiin dan ditolongin,"
Ucapan Ayu membuat Susi semakin besar kepala. Memang hal itu yang ia idam-idamnkan sejak bertemu dengan Jaka. Susi menyugar rambutnya ke belakang sambil menahan tawa. Rupanya mudah sekali mengelabui teman-teman kerjanya.
***
Malam hari seberes menyantap makanan, Jaka dan Anggi mendengar suara pintu yang diketuk dari luar. Tak lama setelah itu, terdengar juga oleh mereka sebuah bariton familiar. Buru-buru keduanya ngacir ke depan.
"Papa, Mas. Mau apa dia?" Anggi geregetan. Jangan sampai Dodi kembali merampasnya dari Jaka.
Jantung Jaka pun mendadak tak enak. Kesedihannya belum hilang pasca kehilangan Jamilah, sekarang Dodi sudah datang ke rumahnya. Jaka tak ingin dua wanita yang begitu ia cintai pergi begitu saja.
Perlahan-lahan Jaka membuka pintu, sementara Anggi tersuruk di belakang punggungnya. Mereka dapat melihat Dodi, Dida dan tiga buah koper yang tertata di atas lantai.
"Anggi. Sekali lagi Papa bertanya, kamu pilih Jaka si miskin itu atau orang tua yang sudah memberimu banyak harta?" tanya Dodi tak ingin basa-basi.
Jaka memutar kepala guna melihat Anggi di belakang sana. Jaka sangat berharap jika cinta keduanya akan terus bersatu.
"Kami sudah bawa semua barang-barangmu. Kalau kamu pilih dia, jangan harap kami akan jadi orang tuamu lagi," tambah Dida.
Anggi jadi kalang kabut sendiri. Dipikirnya Dodi dan Dida tidak serius berucap demikian. Anggi menggigit bibir bawahnya seraya memejamkan mata. Dia memang begitu menyayangi Dodi dan Dida, tapi dirinya juga tak mampu meninggalkan Jaka.
Akhirnya Anggi memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya. Ditatapnya lekat-lekat paras Dodi dan Dida yang dipenuhi rona merah. Kemudian matanya bergulir memandang tiga buah koper di bawah sana.
"Aku pilih suamiku,"
Degh!
Ucapan Anggi seketika mengundang gejolak api di dada orang tuanya.
Dodi menarik napas dalam sembari menggelengkan kepala berulang kali. Sedangkan itu, air mata Dida tak dapat terbendung lagi.
***
Bersambung