Chereads / SALAH PILIH SUAMI / Chapter 15 - MASING-MASING BEKERJA

Chapter 15 - MASING-MASING BEKERJA

"Emphhh,"

Anggi tersadar kala seseorang menyentuh pipi halusnya. Dia memijat pelipis, kemudian memukul kepalanya sendiri. Perlahan Anggi membuka mata. Betapa ia syok saat menyaksikan sebuah bangunan yang begitu megah. Bahkan jauh lebih mewah daripada rumah Papanya sendiri.

Anggi bangkit dari pembaringan. Samar-samar ia melihat paras pria asing yang tengah menatapnya datar.

"Aku di mana?" Anggi memutar kepalanya.

Lelaki berbibir tipis itu tersenyum. Ia melambaikan tangan tepat di wajah Anggi.

"Kamu siapa?" tanya Anggi kembali.

Setelah memastikan bahwa Anggi benar-benar sadar, barulah pria itu duduk di sisi ranjang Anggi. Tadinya ia hanya berdiri setengah tiang di sebelah kasurnya.

"Aku Raka. Kamu tadi pingsan di jalanan,"

"Raka?" gumam Anggi. Tidak pernah dirinya memiliki saudara atau teman bernama Raka.

"Aku mau pulang,"

Tiba-tiba saja Anggi teringat akan Jaka dan Jamilah. Ia tak ingin membuat mereka pusing untuk kedua kalinya. Saat Anggi hendak berdiri, seketika kepalanya kembali nyut-nyutan. Anggi pun terjatuh di ranjang yang sama.

"Kamu masih sakit. Istirahat saja di sini sampai benar-benar sembuh," ucap Raka. Ia membantu Anggi untuk bersandar pada kepala ranjang.

Yang terakhir kali Anggi ingat adalah dia sedang menahan haus dan lapar di perjalanan. Anggi juga mengingat jika ia belum berhasil menemukan pekerjaan.

"Kamu dari mana dan mau ke mana?" tanya Raka kembali.

"Aku lagi cari kerjaan, tapi tiba-tiba aja kepalaku pusing." Anggi menotol kepalanya dengan jari telunjuk.

Raka memindai tatapannya pada sekujur tubuh Anggi. Agak heran melihat wanita itu. Raka mencium aroma konglomerat pada diri Anggi. Namun, kenapa orang ini tampak begitu kusam dan kesusahan?

"Kamu tinggal di mana?" Raka jadi penasaran dengan sosok wanita yang baru ditemuinya.

"Di jalan jeruk. Kamu belum jawab pertanyaanku. Aku di mana?"

"Kamu ada di rumahku. Pusat kota,"

Anggi pun kembali menatap kamar yang berukuran luas tersebut. Gedung yang dibubuhi dengan warna kuning kecokelatan ini tampak begitu elegen. Belum lagi furniture kayunya yang disusun sedemikian rupa. Anggi merasa seperti berada di sebuah istana.

"Kamu mau cari kerjaan yang gimana?" Raka kembali bersuara.

"Apa aja yang penting halal. Aku harus bantu perekonomian suamiku,"

"Kamu udah nikah?"

"Udah," jawab Anggi irit bicara.

Raka meneguk salivanya sendiri. Rupanya dia berada satu kamar dengan istri orang. Detik berikutnya, pria itu tersenyum miring.

"Berarti hidupnya sengsara," geming Raka.

"Siapa namamu?" tanyanya lagi.

"Anggi,"

"Kalau kamu mau, kamu bisa jadi asisten di rumah ini." Raka menawarkan sebuah pekerjaan baru.

"Rumah semegah ini belum punya pembantu?" Anggi menutup mulutnya.

"Belum. Aku punya beberapa rumah dan ini salah satunya. Aku jarang mampir ke sini, jadi gak perlu pembantu. Kalau kotor tinggal suruh orang aja buat bersihin. Satu hari juga kelar,"

"Terus kenapa kamu tawarin aku untuk kerja di sini?"

"Karena kamu lagi butuh,"

Anggi merasa bahwa nasib baik kembali berpihak pada dirinya. Anggi rela jadi apa saja asalkan halal dan menghasilkan, sekalipun ia harus kembali menjadi babu di kediaman orang lain.

"Berarti kamu bakal jarang ke sini?"

"Sesekali aku bakal ngecek keadaan rumah,"

"Ya, sudah. Aku mau kerja di sini." Tanpa sadar, Anggi tersenyum lebar.

Anggi pun turun dari ranjangnya dan menarik kncok pintu. Lagi-lagi ia dihadiahi oleh pemandangan yang menakjubkan. Rumah ini tak ubahnya istana megah. Sayang sekali tempat yang begitu indah kerap ditinggal oleh penghuninya.

"Mau ke mana?" Raka ikut keluar kamar.

"Aku mau pulang. Pasti mertuaku udah nunggu di rumah,"

"Biar kuantar sekaligus aku harus tahu di mana alamat asisten baruku,"

Anggi tidak tahu apakah yang ia lakukan salah atau benar. Hanya saja ia menuruti perkataan Raka dengan ikut di mobilnya. Anggi duduk di jok belakang. Agak sungkan karena ini merupakan perkenalannya dengan Raka.

Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya mereka sampai di sebuah bangunan kayu. Raka membuka mata lebar-lebar melihat keadaan yang tak pantas disebut sebagai rumah itu.

"Mulai besok aku bakal kerja di rumah kamu. Mana kuncinya?"

"Ini,"

Raka menyerahkan sebuah kunci pada Anggi. Entah kenapa pria itu begitu percaya terhadap perempuan asing yang baru dia kenal.

***

Hari ini Jaka memulai pekerjaan barunya dengan menjadi pelayan di sebuah café. Jaka merasakan sensasi yang berbeda. Di mana ia harus dituntut untuk tetap tersenyum, meskipun sekujur tubuh begitu lelah. Jaka merasa kakinya ingin patah, karena melayani banyak tamu.

Kali ini Jaka ingin mengantar sebuah steak dan lemon tea di meja nomor 15. Namun, langkahnya terhenti saat ia melintasi meja 09. Jaka dijegat oleh Susi.

"Mas, sini biar aku aja yang anter. Kalau Mas Jaka capek, duduk aja dulu," titah Susi. Mata bulatnya berlabuh pada paras Jaka.

Jaka baru tahu jika Susi merupakan sosok wanita pekerja keras. Diantara karyawan perempuan, Susilah yang paling cekatan dan rajin. Ia tak pernah curi-curi waktu untuk istirahat sebelum waktunya tiba. Selain itu, banyak pengunjung yang mengajak Susi bercanda. Agaknya wanita itu sudah banyak dikenal oleh pelanggan café tersebut. Susi memang sangat pintar bersosialisasi.

"Gak usah, Sus. Ini tugasku," pungkas Jaka, kemudian berlalu pergi.

Susi memerhatikan setiap gerak gerik pria yang mirip dengan Abangnya tersebut. Jaka berulang kali mengusap wajahnya. Susi dapat merasakan kalau Jaka sedang kelelahan.

Siangnya ketika jam istirahat tiba, Susi sengaja mengambil tempat duduk di sebelah Jaka. Beberapa karyawan lain memerhatikan Susi yang kerap memberi perhatian pada pria itu.

"Mas. Ambil aja laukku," ucap Susi. Dia menyodorkan piring pada Jaka.

Jaka celingukan. Susi tidak segan-segan melakukannya di depan para pekerja. Susi juga rela memberi jatah makan siangnya untuk Jaka. Entah kenapa ia begitu baik.

"Kita udah dapat porsi masing-masing, Sus,"

Jaka cepat-cepat mengunyah makananya. Ia menjadi risih karena sejak tadi pagi Susi selalu memberinya perhatian. Jaka tak ingin menimbulkan fitnah diantara pekerja. Apalagi mereka tahu jika Jaka sudah memiliki istri.

***

Jaka melepas segala penat dengan bersandar di bahu istri tercintanya. Sekarang mereka sudah berada di kamar dan sebentar lagi akan tidur. Jaka menceritakan apa-apa yang ia alami di café, kecuali perhatian Susi untuk dirinya. Sampai kapan pun Jaka akan merahasiakan hal tersebut karena ia tak ingin menyakiti hati Anggi.

"Mas. Mulai besok aku bakal kerja lagi." Ucapan Anggi membuat Jaka terhenyak.

"Loh! Katanya udah gak mau kerja di rumah Bu Misri,"

"Bukan rumah Bu Misri, Mas. Aku jadi asisten di pusat kota,"

"Kamu dapat kerjaan baru?" Jaka heran.

"Iya. Tadi aku cari kerjaan, Mas. Alhamdulillah nemu,"

Susi pun tak ingin mengatakan jika ia sempat pingsan dan ditolong oleh sosok asing yang pada akhirnya memberinya pekerjaan.

"Mas gak mau kejadian kemarin terulang lagi,"

"Udah deh. Mas tenang aja. Papa sama Mama gak bakal tahu." Anggi mencolek hidung suaminya. Anggi lega karena Jaka tak banyak bertanya apalagi sampai melarangnya bekerja.

***

Seperti biasa, Anggi berangkat lebih dulu ketimbang Jaka. Jika dulu Anggi bekerja dengan jalan kaki saja, kini ia harus menaiki sebuah angkutan umum untuk sampai ke rumah Raka.

Beberapa menit setelah Anggi mendaratkan bokong di angkutan, benda beroda empat itu kembali berhenti untuk mengambil sewa. Awalnya Anggi biasa saja, tapi setelah tahu siapa yang duduk di sebelahnya, jantung Anggi jadi tak karuan. Ia menutup sebagian wajahnya dengan rambut yang menjuntai.

"Pak Morko. Kenapa dia bisa ada di sini?" Anggi menggerutu dalam hati.

***

Bersambung