BRUGH!!!
"Eeeeh!"
Jaka kembali memundurkan langkahnya dan membatalkan niat untuk membuka pintu, saat dirasa ada sesuatu yang mengganjal di belakangnya. Sedangkan itu, Anggi mendadak terbangun ketika tubuhnya tersentuh oleh daun pintu.
"Mas?" Anggi menyembulkan kepalanya.
Jaka semakin kaget dibuat tingkah konyol Anggi. Untuk apa dia bersembunyi di sana? Tak lama setelah itu, pandangan Jaka tertuju pada bagian bawah pintu yang rubuh. Tidak ada gempa di sini. Lalu, kenapa benda kayu itu bisa rusak?
Anggi bangkit sambil menepuk-nepuk tubuhnya yang dihinggapi oleh debu. Anggi tak dapat menyembunyikan raut ketakutannya.
"Sayang, ada apa?" Jaka ingin tahu apa yang terjadi di rumahnya.
Diletakkannya telapak tangan pada bahu Jaka, kemudian menarik pria itu untuk duduk di kursi beranda rumah. Sepahit apapun nanti, Jaka harus tetap tahu jika Jamilah tengah terbkar api akibat ulah Dida dan Dodi.
"Aku gak tahu gimana awal mulanya, tapi Papa sama Mama datang ke sini, Mas,"
"Apa?"
Netra Jaka membola tak berkedip. Tak pernah keduanya memberitahu di mana kediaman mereka berada, tapi Dodi dan Dida bisa sampai di sana.
"Terus, gimana?" tanyanya penasaran.
"Mereka marah-marah dan Ibu keluar rumah,"
Jaka termangu menanti jawaban Anggi selanjutnya. Ia tetap setia menunggu, meskipun tahu jika dirinya harus menghadapi masalah yang baru.
"Ibu tahu kalau pernikahan kita gak direstui, Mas. Ibu syok banget dan mutusin untuk mengurung diri di kamar. Aku gak berani ganggu Ibu, makanya aku tunggu kamu di balik pintu," terang Anggi.
Sekarang Jaka mengerti apa yang melatarbelakangi istrinya berada di balik benda persegi panjang tersebut. Deretan gigi Jaka merapat. Kalau sudah begini, ia tidak tahu harus menyalahkan siapa.
Jaka mengangsur tubuhnya menuju bilik Jamilah. Tanpa perlu drama, Jaka langsung mendobrak pintu kamarnya sehingga tampaklah Jamilah di dalamnya. Wanita tua itu sedang memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana. Jaka berlari ke arah Jamilah dan diikuti oleh Anggi dari belakang.
"Ibu. Maafkan aku." Jaka langsung merengkuh tubuh ringkih Jamilah. Betapa ia tahu jika Jamilah sedang terpukul.
Perempuan dengan rambut tersanggul itu tak mampu membendung air mata. Ia pun terisak dipelukan putranya. Kedua tangan Jamilah memukul bahu Jaka berulang kali.
"Kamu pembohong, Jaka! Kamu sembunyikan semuanya dari Ibu," ucap Jamilah menuntut.
Anggi tak dapat berbuat banyak, bahkan untuk mendekat saja ia tidak berani. Anggi benar-benar malu karena orang tuanya telah menghina Jaka di depan Ibu kandungnya sendiri.
"Bu! Dengerin dulu penjelasan aku," kata Jaka mencoba menenangkan.
Bersamaan dengan itu, Jamilah menangkap pemandangan seorang wanita yang tercegak di pintu kamarnnya. Ia menyorot Anggi penuh makna, lalu pandangannya meredup.
"Keluar, Anggi!" Untuk pertama kalinya Jamilah mengusir Anggi. "Ada yang harus Ibu omongkan sama Jaka dan kamu gak perlu tahu," sambungnya.
Anggi enggan membantah dan langsung menarik diri dari ruangan berukuran kecil tersebut. Namun, Anggi tidak pasrah begitu saja. Dia tetap berdiri di balik pintu sambil mendengarkan percakapan suami dan mertuanya.
"Kenapa kamu bohongin Ibu, Jaka?" Lagi-lagi Jamilah menyesali perbuatan putranya.
"Bu, bukan gitu maksudnya,"
"Sudahlah!" Jaka tak dapat berbicara dibuat Jamilah. "Inilah yang Ibu takutkan, Jaka. Ibu gak mau kamu dihina orang lain,"
Pikiran Jaka buntu. Ia pun paham jika tak ada orang tua yang menginginkan jika anaknya dicela. Jaka juga tidak diberi kesempatan untuk berbicara oleh Jamilah.
"Hati Ibu sakit Jaka. Tadi orang tua Anggi hina-hina kamu di depan Ibu. Ibu juga gak nyangka kalau mereka benci banget sama kamu,"
Jamilah menyesalkan kenapa selama ini ia tidak bertemu dulu dengan orang tua Anggi sebelum memutuskan untuk menikahkan putranya.
"Ibu mau kamu cerai sama Anggi. Biarin aja dia hidup dengan laki-laki yang sederajat,"
Perkataan Jamilah yang terakhir kali mengundang keterkejutan luar biasa bagi dua pasang telinga yang mendengar. Bahkan, Anggi sampai nyelonong masuk ke kamar meskipun Jamilah tak menginginkan kehadirannya.
"Aku gak mau, Bu!" teriak Anggi.
"Aku juga gak mau, Bu," timpal Jaka.
Pasangan mana yang ikhlas jika hubungan yang sudah lama dibangun harus tercerai berai begitu saja. Kali ini Anggi dan Jaka berubah menjadi sosok yang egois. Apapun yang terjadi, keduanya tetap pada pendirian. Tak ada yang bisa memisahkan mereka kecuali kematian.
Hati Jamilah tersentuh melihat kegigihan anak-anaknya untuk mempertahankan rumah tangga. Sayangnya, kejadian hari ini telah menutup pikirannya untuk melihat Jaka hidup dengan Anggi. Biarlah Jaka tidak menikah sama sekali daripada harus menetap bersama hinaan.
"Semua ini demi kebaikan kalian," bantah Jamilah. Disapunya air mata yang bergelayut di pipi.
"Jangan gegabah, Bu. Semua bisa diselesaikan baik-baik. Aku gak mungkin pisah sama Anggi sementara kami baru menikah dan saling cinta,"
"Iya, Bu. Aku juga gak mau jauh-jauh dari Mas Jaka,"
Sepasang suami istri itu bak anak kecil yang nyaris kehilangan permen. Mereka memohon pada Jamilah untuk tidak dipisahkan bagaimanapun kondisinya.
"Ibu gak peduli apapun asalannya. Mau gak mau kalian harus tetap bercerai!" Jamilah senantiasa pada pilihan pertamanya.
Jaka bangkit dari kasur dan memilih untuk berdiri di sisi Anggi. Ditautkannya jemari mereka berdua sebagai bukti bahwa cinta mereka tak akan terpisahkan.
"Ibu boleh menuntut apa aja, asalkan jangan yang satu itu," ucap Jaka tegas.
Anggi sampai terharu mendengar ucapan suamianya barusan. Sebegitu gigihnya Jaka mempertahankan hubungan. Tak salah jika Anggi memilih pria itu sebagai suami.
Berbeda dengan Jamilah, perempuan itu malah merasa dipojokkan oleh anak kandungnya sendiri. Jamilah membuang mukanya ke arah jendela yang terbuka.
"Terserah kalian!" balas Jamilah tak ingin memperpanjang perdebatan.
Seakan kehadirannya tak dianggap, perasaan Jamilah begitu terpukul saat tahu bahwa Jaka lebih memilih Anggi ketimbang saran dari dirinya. Padahal Jamilah melakukan semua itu demi kebahagiaan Jaka. Dia tak ingin Jaka terus dilecehkan oleh Dodi dan Dida karena keadaan ekonomi.
"Lebih baik aku pergi dari rumah ini daripada harus ngeliat mereka sama-sama terus," batin Jamilah.
***
"Coba panggil Ibu, Mas. Aku takut," bisik Anggi pada Jaka saat jam makan malam telah tiba.
Sejak tadi Jamilah tak ada menampakkan batang hidungnya. Bahkan, pintu kamarnya saja pun tertutup rapat. Jaka menuruti perkataan istrinya untuk memanggil Jamilah di dalam sana.
Jaka mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci dari dalam. Disisirnya seluruh ruangan yang didominasi oleh warna gelap tersebut.
"Ke mana Ibu?" geming Jaka.
Pria itu berlari ke arah teras dan tidak menemukan apa-apa selain dedaunan kering yang terjatuh dari atas pohon. Jaka mencium bau-bau tidak sedap di sini. Gegas ia menemui istrinya di dapur.
"Ibu hilang!" kata Jaka memberi kabar.
***
Bersambung