Anggi mati kutu. Ia tak dapat membuat pembelaan apapun. Yang hanya mampu dilakukannya adalah tertunduk lesu seraya memainkan ujung pakaian.
"Kalian kenal Anggi?" lirih Misri dari atas sofa.
Baik Dodi maupun Dida tidak fokus dengan pertanyaan Misri, bahkan keduanya terkesan mengabaikan. Mereka hanya ingin Anggi segera buka suara.
"Apa maksudnya, Anggi?" Dida mulai terpancing api.
"A- aku…"
Anggi benar-benar tak dapat menjawab sepatah kata pun. Hatinya berkecamuk dan otaknya tak lagi sinkron. Anggi berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi.
"Kenapa kamu jadi pembantu, Anggi?" bentak Dodi. Kedua tangannya tercegak di pinggang.
"Maafkan aku Ma, Pa,"
Saking tak tahu harus berbuat apa, akhirnya Anggi memutuskan untuk bersujud di bawah kaki orang tuanya. Anggi menatap lantai penuh penyesalan. Air matanya mengalir deras tanda kesedihan.
"Jelaskan sama Mama apa maksud dari semua ini, Anggi!" Dida mengcengkram erat bahu putrinya.
"Mama dan Papa?" Misri bergeming dalam hati. Ingin sekali ia bergabung pada tiga manusia di sana, tapi mengangkat tubuhnya sendiri pun sudah tak mampu.
"Hiks hiks hiks,"
"Jangan nangis kamu!" Dodi membentak. Kini ia tahu bahwa Anggi telah membohongi mereka.
"Sejak kapan kamu jadi pembantu di sini, Anggi?"
"Maafkan aku, Ma. Aku cuma gak mau kalian pisahkan aku dari Jaka,"
Pikiran Anggi semrawut. Wajah suaminya seketika berlarian dalam benak. Tidak tahu bagaimana nasib dirinya dan Jaka esok hari.
"Kamu bohongi kami selama ini?" Emosi Dida semakin tidak terbendung.
"Tentang liburan ke Bali kamu juga bohong?" timpal Dodi.
"Atau, semua ceritamu hanya karangan. Jawab, Anggi!"
Nyaris saja Dida mengangkat tangannya dan bersiap untuk menampar Anggi. Namun, secepat kilat Dodi menghentikannya. Pria itu memang galak, tapi tak pernah sedikit pun ia menyentuh fisik anggota keluarganya.
"Biarkan saja anak tidak tahu diri ini, Mas!" cercah Dida.
Anggi semakin terisak. Rasanya begitu malu saat ia ketahuan telah berbohong dengan pura-pura bahagia. Entah mimpi apa Anggi kemarin.
"Ayo, pulang!" Dodi menarik lengan putrinya.
Dodi tak dapat berpikir jernih. Karenanya, ia tak sampai mengatakan apapun kepada Misri. Dodi langsung menggiring keluarganya keluar rumah dan segara cabut dari sana.
"Sebenarnya ada apa ini?" batin Misri. Ia tidak berani melarang kepergian Anggi karena ternyata Dodi dan Dida adalah orang tuanya.
Sesampainya di rumah.
"Masuk!" Dodi mengurung putrinya di kamar.
Mendapati pintu yang akan ditutup, Anggi langsung berlari ke arah benda persegi panjang tersebut. Tangannya menggapai knock pintu sementara ia berteriak memohon.
"Jangan ditutup, Pa! Aku mau pulang," ringis Anggi.
Ia ingin memeluk Jaka dan menceritakan kejadian ini sekarang juga. Anggi membenci kamar mewahnya tanpa kehadiran sang suami. Pasti Dodi dan Dida tak akan membiarkannya pulang ke rumah Jaka lagi. Anggi memikirkan pria itu. Dia tak ingin membuat Jaka cemas karena kehilangan kabar Anggi.
Tenaga Anggi tak sebanding dengan Dodi. Ia pun terpaksa harus mendekam di dalam kamar. Anggi terus meraung minta dibukakan pintu hingga semakin lama suaranya tak lagi terdengar. Barangkali Anggi tertidur karena kelelahan.
Dodi dan Dida memutuskan untuk mengurung putri mereka di kamar. Feeling orang tua memang tak pernah salah. Selama ini Dida merasakan keganjilan pada diri Anggi. Ternyata memang benar jika anak itu merahasiakan sesuatu dari Mama dan Papanya sendiri.
Orang tua mana yang sudi jika anaknya hidup menderita. Begitu pun dengan Dodi dan Dida. Tak peduli bagaimana respon Jaka selaku suami Anggi. Bagi mereka, Jaka tak lebih dari pria yang tidak tahu tanggung jawab. Jaka berhasil membuat anak semata wayang mereka menjadi babu di rumah orang.
***
"Sudah ada kabar soal Anggi, Nak?" Jamilah menggigit bibir bawahnya.
Jam membidik angka sembilan malam, tapi Anggi tak juga menampakkan batang hidung. Jaka sudah berusaha mencari wanita itu, sayangnya Anggi belum kunjung ditemukan. Perasaan Jaka tidak enak, begitu pun dengan Jamilah. Mereka mengkhawatirkan telah terjadi sesuatu dengan Anggi.
"Belum, Bu," balas Jaka lemas.
Mereka berdiri di beranda rumah seraya menanti kehadiran Anggi. Jaka menyesalkan dirinya yang tidak memiliki handphone sehingga tak dapat menghubungi istrinya.
"Di mana dia, ya? Ibu khawatir," pungkas Jamilah. Sebenarnya wanita itu tidak boleh terkena angin malam. Hanya saja Jamilah tak peduli karena menunggu kepulangan sang menantu.
"Coba cari sekali lagi, Jaka," perintah Jamilah.
Jaka yang masih penasaran di mana keberadaan istrinya lantas saja manut. Ia berjalan cepat menyusuri arena kampung. Keadaan mulai sepi. Hanya ada satu dua orang yang melintas. Tak lupa Jaka bertanya pada beberapa pemuda yang sedang ronda, tapi mereka juga tidak ada yang melihat Anggi. Jaka semakin pusing. Akhirnya dia kembali ke rumah untuk mengadukan hal ini pada Ibunya.
"Tidak ada juga, Bu," lapor Jaka.
Jamilah bangkit dari kursi teras kemudian berkata, "Nak. Kenapa gak tanya sama majikan Anggi aja?"
"Astaga. Aku gak kepikiran, Bu." Jaka menepuk jidat. Andai saja dia dapat berpikir jernih sejak tadi.
"Ya, sudah. Ibu tunggu aja di dalam," ucap Jaka, kemudian menggiring Ibunya ke kamar.
Jaka tidak tahu di mana lokasi pasti Anggi bekerja, tapi dia tahu jika wanita itu kerap bertandang ke komplek sebelah. Gegas Jaka menuju jalan Mangga dan bertanya pada satpam. Untungnya Anggi sempat memberitahu siapa nama majikannya.
Jaka berhenti di depan sebuah bangunan berkelir cokelat. Ia mengetuk pintunya penuh ragu. Takut sang pemilik sudah tidur.
Tok! Tok! Tok!
Beberapa detik setelah Jaka menunggu di sana, akhirnya pintu pun terbuka. Ia merasa lega karena sang empunya gedung masih membuka mata.
"Dengan Ibu Misri?" tanya Jaka sopan.
"Saya sendiri. Kamu siapa, ya?"
"Saya Jaka, Bu. Suami Anggi yang bekerja di sini,"
"Oh, iya. Ada apa?"
"Sampai sekarang Anggi belum ada pulang ke rumah, Bu. Apa Ibu tahu jam berapa Anggi keluar dari sini?"
Degh!
Pikiran Misri seketika berlayar jauh. Kini dia mengerti bahwa Dodi telah membawa putrinya secara paksa tanpa berkabar pada Jaka.
"Duduk dulu," Misri mempersilahkan Jaka untuk rehat sejenak di beranda.
"Kasihan Jaka. Pasti dia sudah capek kecarian Anggi," batin Misri.
"Jaka. Tadi siang Ibu pingsan di super market dan ditolong oleh orang tua Anggi. Saat mereka ke sini dan ngeliat Anggi, mereka langsung bawa pulang istrimu itu. Awalnya mereka marah-marah gak jelas dan sampai sekarang Ibu gak tahu apa yang terjadi diantara kalian," jelas Misri. Ia tak ingin membuat Jaka semakin khawatir jika menyembunyikan sebuah fakta.
"Dibawa orang tuanya, Bu?"
"Iya,"
Tiba-tiba saja kepala Jaka terasa berat serta degupan jantungnya melaju cepat. Jaka mencium kedua lututnya sendiri seraya meremas rambut.
"Akkkh!" Jaka meringis.
Hal yang ditakutkan terjadi. Jaka sungguh tak menyangka jika secepat ini Dodi dan Dida akan mengetahui kebenarannya. Pantas saja Anggi tidak pulang ke rumah, ternyata dia sudah dibawa oleh orang tuanya.
"Kamu baik-baik aja, Jaka?" tanya Misri melihat gelagat aneh lawan bicaranya.
"Aku baik. Terima kasih banyak ya, Bu,"
Tak ingin memperpanjang obrolan, Jaka pun langsung mencari kendaraan untuk menuju kediaman Dodi. Jaka memperbesar kesabaran. Entah apa yang akan dilakukan mertuanya di sana.
***
Bersambung