Pagi hari sebelum berangkat kerja, Susi melihat pemandangan yang tak seperti biasanya. Jamilah, wanita itu menjemur pakaian di perkarangan rumahnya. Melihat hal tersebut, Susi terpancing untuk menghampiri.
"Loh, Bu. Biasanya Mba Anggi yang jemur," ucap Susi.
Meski tak banyak bicara, tapi Jamilah tahu siapa Susi dan di mana rumahnya. Pasalnya Anggi pernah bercerita tentang gadis pendek itu saat ia memberikan sekarung beras.
"Eh, iya nih, Sus. Anggi lagi di rumah orang tuanya,"
"Mas Jaka ke mana, Bu?" Susi mulai kepo.
"Ada di dalam. Jaka lagi sakit,"
"Hah? Sakit apa, Bu?" Susi menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Dipalak preman tadi malam,"
Pagi ini Jaka memang tidak bisa bangkit dan melakukan kegiatan. Ia hanya terbaring di atas kasur. Membuat Jamilah harus bekerja keras untuk melakukan pekerjaan rumah. Padahal tubuhnya pun sedang tidak enak.
"Ya, ampun. Kok bisa, Bu?"
"Ibu juga gak tahu, Sus. Namanya juga kejahatan, ya, pasti ada di mana-mana." Jamilah menjemur potongan baju terakhirnya.
"Ya, sudah, Bu. Kalau gitu aku duluan, ya. Udah dikejar waktu nih,"
"Iya, hati-hati di jalan,"
Susi ngacir ke jalan raya untuk menunggu angkutan umum. Sorenya setelah selesai bekerja, ia menyempatkan diri untuk bertandang ke rumah Jaka. Tak lupa Susi membelikan sembako serta buah-buahan untuk keluarga Jaka.
"Susi?" Jamilah kaget melihat kehadiran Susi di pusat pintu.
"Mau jenguk Mas Jaka, Bu. Ehehe." Senyum Susi tampak di rupa.
Jamilah pun mengantarkan Susi pada putranya. Betapa teririsnya hati Susi saat melihat keadaan rumah mereka. Terlebih kamar yang ditempati oleh Jaka sangatlah tidak layak. Banyak lubang di atapnya dan sawang di mana-mana.
"Jaka. Ini ada tetangga kita mau jenguk kamu sakit," titah Jamilah.
Tentu saja Jaka tersentak kaget. Susi mengunjunginya di saat Anggi tiada di sisi. Jaka tak tahu apa motif wanita itu melakukan segala kebaikan untuknya. Jaka merasa ada yang tidak beres dengan diri Susi.
"Mas Jaka kenapa bisa dipalak preman?" tanya Susi halus.
Jaka enggan menjawab pertanyaan Susi, bahkan dia membuang muka. Hal itu mengundang kekesalan tersendiri bagi Susi. Agak malu, akhirnya Susi mengalihkan pembicaraan.
"Eh, iya, Bu. Ini ada sembako dan buah. Letak di mana, ya?" Susi mengedarkan pandangan.
"Ya, ampun, Nak. Ibu gak mau buat kamu repot. Gak usah." Jamilah menyilangkan jari-jari tangannya.
"Gak apa-apa loh, Bu. Lagi ada rezeki," balas Susi antusias.
Jamilah begitu sungkan menerimanya, karena Susi baru saja memberi mereka sekarung beras. Namun, Susi sudah lebih dulu berdiri dan mencari keberadaan dapur.
"Aku letak di dapur dulu ya, Bu. Rezeki jangan ditolak," katanya.
Jamilah pun tak dapat berkata apa-apa selain mengucapkan ribuan terimakasih pada tetangganya tersebut. Ia merasa berhutang budi pada Susi yang kerap menyelamatkan hidup mereka di kala susah.
"Jaka, kamu jangan cuek-cuek sama Susi. Gak baik begitu, Nak. Dia kan gak ada buat yang macem-macem." Jamilah menyempatkan diri untuk menegur putranya sebelum Susi kembali.
"Dia cuma cari perhatian, Bu." Jaka memutar bola matanya.
"Husss! Gak usah kepedean kamu. Siapa tahu Susi memang punya jiwa sosial yang tinggi. Lagian dia kan tahu kalau kamu udah nikah. Jangan gitu lagi, ya!" ucap Jamilah. Ia geleng kepala dibuat penuturan Jaka.
Setelah berucap demikian, Susi pun menyembulkan diri lagi ke kamar. Ia membawa sebuah piring yang berisi buah dan pisau dapur.
"Makan buah dulu ya, Mas. Supaya lekas sehat,"
Tanpa menunggu jawaban, Susi langsung mengupas kulit buah tersebut. Dia benar-benar melakoni perannya sebagai pengganti Anggi.
"Ayo, Mas dimakan dulu!"
Nyaris saja Susi menyuapi Jaka, tapi dengan cepat lelaki itu menangkis lengan Susi dan mengambil buahnya sendiri. Jaka begitu risih dengan sikap sok pedulinya.
"Aku bisa makan sendiri," ucap Jaka dingin.
Kening Susi berkedut. Baginya Jaka begitu dingin. Pria itu tak pernah tersenyum padanya, meskipun Susi telah berbuat kebaikan.
Karena percakapan mereka sudah mati dan Susi tidak tahu harus berbuat apa lagi, akhirnya dia pun memutuskan untuk pulang. Jamilah gegas mengantarnya ke pintu depan. Sebelum punggung Susi menghilang, Jaka kembali berseru.
"Susi." Panggilan itu sontak membuat sang empunya nama menoleh. "Terimakasih untuk kebaikanmu, tapi kurasa kau tidak perlu repot-repot melakukan ini semua. Aku tak ingin ada orang yang salah paham atas kebaikanmu," sambungnya, kemudian berbalik badan menghadap dinding bambu.
Bagai disambar petir Susi mendengarnya. Ia kira Jaka akan meminta maaf atas sikap dinginnya. Susi tak mampu membalas ucapan laki-laki itu. Karenanya, dia langsung mempercepat langkah dan pergi.
***
"Aku bosan di kamar ini, Ma. Aku mau makan di luar aja,"
Dida datang membawakan semangkuk sup serta susu untuk putrinya. Ia meminta agar Anggi lekas menyantap makanan itu.
"Ya, sudah. Kita keluar sekarang, ya,"
Dida meninggalkan makanan guna memapah tubuh putrinya. Setelah sampai di beranda rumah, Dida kembali ke kamar untuk mengambil sup serta susu tadi.
"Di sini dulu ya, Nak. Mama mau ambil makanan kamu,"
Anggi mengangguk mafhum. Dia pun duduk anteng seraya memerhatikan pintu gerbang yang terbuka.
"Ehm. Aku tau,"
Tiba-tiba saja pikiran nekat menyambangi Anggi. Mumpung tidak ada yang memonitornya, buru-buru Anggi turun dan keluar dari kawasan rumah. Anggi menutup gerbang yang terbuka itu agar jejaknya tak terbaca kemudian mencari taksi untuk kembali ke rumah Jaka.
"Yess! Berhasil." Anggi bersorak girang.
Sejujurnya Anggi sudah merencanakan semua ini. Ia tak bisa mendekam lebih lama lagi di kamar, sementara Jaka kecarian dirinya. Tak peduli jika kondisi tubuh Anggi masih begitu lemas. Yang ia inginkan hanyalah bertemu sang suami.
Sementara itu, Dida yang baru saja kembali di teras rumah mendadak dibuat syok dengan hilangnya Anggi. Berulang kali dia meneriaki Anggi, tapi tetap memeroleh hasil nihil.
"Anggi, di mana kamu, Nak?"
Pikiran Dida menjadi buruk. Apa anaknya sudah diculik orang asing? Atau, Anggi memang sengaja melarikan diri.
Beberapa kali Dida berkeliling di kawasan rumahnya, tapi Anggi tak juga ditemukan. Ia seolah mencari jarum di tumpukan jerami. Sangat sulit.
Dida juga mencoba menghubungi ponsel Anggi. Panggilan tersambung, tapi tak mendapat respon. Dida gusar sendiri. Ia menghentakkan kaki berulang kali di lantai.
Tak lama setelah kejadian itu, Dodi pun pulang dengan keadaan babak belur. Sesuatu yang membuat jantung Dida kian bermain. Perempuan itu cepat-cepat menghampiri suaminya dan meraba pipi lelaki tersebut.
"Mas. Kamu kenapa?" Dida panik.
"Akkh! Jangan kamu pegang," kata Dodi membuang lengan Dida. "Gak usah khawatir. Aku cuma dientup lebah doang kok,"
Dodi ngacir setelah mendapat pukulan bertubi-tubi dari Morko. Ia tak dapat melawan, karena menyadari bahwa dirinya memang bersalah. Berani-beraninya ia bertandang ke rumah seorang wanita tanpa ditemani orang ketiga.
"Hah? Yang bener kamu, Mas. Kok bisa? Kamu main di mana emang?" Dida terus saja melempar Dodi dengan banyak pertanyaan.
"Udahlah. Pokoknya kamu gak perlu khawatir. Besok juga sembuh," tukas Dodi.
Dia pun melenggang menuju kamar dan saat itu juga langkahnya terhenti karena Dida memberitakan sebuah kabar buruk.
"Mas. Anggi hilang!"
"Apa?" Sepasang mata Dodi melotot.
***
Bersambung