FLASH BACK ON
"Hati-hati di sana ya, Nak. Ibu bakal kangen banget sama kamu, hiks hiks,"
Perempuan bersanggul itu memeluk putrinya penuh kesedihan. Terpaksa ia harus berpisah dengan anak bungsunya karena keadaan ekonomi.
"Ibu juga hati-hati di kampung, ya. Aku janji bakal jadi orang sukses di sana," titahnya.
"Buat bangga almarhum Bapak sama Abangmu ya, Susi." Lagi-lagi sang ibu merengkuh erat tubuh kecil putrinya.
Sebut saja namanya Susi. Wanita muda yang memutuskan pergi merantau ke kota untuk membenahi ekonomi keluarganya. Susi terkenal sebagai anak yang ulet dalam bekerja. Sayangnya, pendapatan di kampung dan kota sangatlah berbeda. Membuat Susi memutuskan untuk meninggalkan Ibunya guna mendapatkan kehidupan baru.
Susi berangkat menggunakan travel. Ia menempati sebuah rumah kontrakan atas saran dari Budenya yang kota.
Susi pun tiba di rumah barunya pada malam hari. Baru saja ia turun dari mobil, tiba-tiba Susi dikagetkan oleh sepasang manusia yang menatapnya dari penjuru lain. Lebih tepatnya Susi kaget dengan wajah si pria. Bahkan, ia sampai mencubit pipinya sendiri untuk memastikan apakah dia sedang bermimpi atau tidak.
"Astaga! Kenapa laki-laki itu mirip banget sama Bang Sunar?" Susi terus saja menatapnya tanpa berkedip.
Malangnya pada saat itu juga Susi tersadar, kalau sosok yang ia sebut sebagai Bang Sunar sudah mendahuluinya dua tahun lalu. Pria itu wafat karena penyakit maag kronis yang diderita.
Susi mulai mencuri-curi pandang. Sebuah kesempatan untuk tersenyum ia lakukan saat sang wanita masuk ke rumah terlebih dahulu.
Keesokan harinya, Susi bertemu dengan tetangga barunya yang bernama Bik Nem. Tanpa malu, Susi bertanya pasal pria yang ia temui tadi malam. Dari situlah Susi mengetahui jika orang itu bernama Jaka. Wanita yang membersamainya tadi malam adalah Anggi, istri Jaka. Hati Susi agak terpukul, tapi ia tepis itu semua. Susi ingin lebih mendekatkan diri pada Jaka. Baginya, Jaka kembali membangkitkan sosok Bang Sunar.
Susi pun mulai melakukan segala cara untuk bisa berbicara dengan Jaka. Mulai dari membelikannya sembako hingga menjenguknya di kala sakit. Sangat disayangkan karena ternyata Jaka begitu dingin. Ia tidak memberi respon baik terhadap Susi yang sudah rela menghamburkan uang demi dirinya. Padahal wanita itu pun bukan berasal dari keluarga kaya. Namun, Susi tak akan menyerah. Tidak tahu bagaimana hasil akhirnya, karena yang jelas Susi ingin Jaka menjadi miliknya, meskipun ia sudah memiliki istri.
FLASH BACK OFF
Seketika bayangan awal pertemuannya dengan laki-laki bertubuh jangkung itu kembali terulang. Susi mengerjapkan mata berulang kali. Detik ini juga berdiri Jaka di hadapannya.
"Mas ngapain di sini?" tanya Susi penasaran.
Jaka kalang kabut. Ia membenakan tatatan rambutnya yang tak rusak. Perasaan Jaka mulai tidak enak, karena dia mendapati Susi memakai baju karyawan café.
"Kamu bekerja di sini?" Jaka bertanya balik.
"Iya, Mas. Aku pelayan di sini,"
Degh!
Jaka merutuki nasibnya sendiri. Kesenangan yang bergelayut di hati seketika memudar. Susi memang bekerja di café, tapi Jaka tidak tahu di mana alamatnya. Siapa sangka kalau keduanya akan bertemu dan bekerja di tempat yang sama.
"Mas belum jawab pertanyaanku." Susi kembali mengingatkan.
"Emh! Mulai besok aku juga menjadi pelayan di sini,"
"Hah, serius?"
Bola mata Susi membesar. Ketika Jaka bersedih, ia malah bahagia karena bisa bertemu Jaka setiap hari tanpa diketahui oleh Anggi. Susi memainkan ujung jari-jari kakinya yang tersembunyi di dalam sepatu sebagai bentuk antusiasnya yang tinggi.
Jaka tak memberi respon. Dia langsung ngeloyor dan meninggalkan Susi yang masih terbuai dalam kesenangan.
Jaka tidak boleh eogis dan sombong. Ia tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan. Meskipun dirinya akan bertemu Susi setiap hari, tapi jangan sampai membuat Jaka geram dan keluar dari pekerjaan ini. Jaka hanya berpasrah pada Tuhan. Ia memiliki feeling kuat jika Susi bukanlah wanita baik-baik.
***
"Semangat kerjanya ya, Mas." Anggi membantu Jaka memakai kemeja putih barunya.
Betapa girangnya hati perempuan itu, tatkala mendengar jika suaminya diterima kerja di sebuah café. Anggi bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan.
Tadi malam, Jaka juga sempat bercerita kalau dia satu tempat kerjaan bersama Susi. Namun, Anggi sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Baginya, Susi hanyalah gadis dari kampung yang ingin memperbaiki ekonomi di kota. Tanpa ia tahu jika sebenarnya Susi mulai tertarik pada suaminya.
"Semoga betah ya, Nak." Jamilah membelai rambut putranya. Ia juga sangat bahagia, karena Jaka dapat bekerja kembali.
Jaka pergi ke jalan raya untuk menunggu angkutan. Dia berjalan dengan tergesa-gesa. Jaka berupaya menyelamatkan diri dari pengelihatan Susi. Wanita itu pasti minta pergi bareng kalau melihat Jaka.
"Bu. Hari ini aku juga mau cari kerjaan," kata Anggi selepas kepergian Jaka.
Jamilah memanyunkan bibir. Anggi baru sembuh pasca sakit, tapi sudah ingin berkeliaran lagi.
"Duh! Janganlah, Nak. Biarin aja Jaka yang kerja. Kamu di rumah sama Ibu," balasnya khawatir.
"Gak apa-apa, Bu. Semoga dengan kami berdua bekerja bisa buat ekonomi kita lebih maju,"
Jamilah begitu sedih mendengar ucapan menantunya. Di sisi lain, ia juga salut karena Anggi mulai terbiasa dengan kesusahan mereka. Padahal kata Jaka, Anggi selalu mendapatkan apa yang ia mau sewaktu tinggal bersama orang tuanya. Anggi juga tidak pernah bekerja termasuk melakukan pekerjaan rumah.
"Ibu gak mau kamu capek,"
"Ibu tenang aja. Aku kan kuat." Anggi mengepalkan kedua tangannya di udara. Menunjukkan pada Jamilah jika ia memiliki semangat yang besar.
"Kamu yakin, Anggi?"
"Iya, Bu. Ibu hati-hati di rumah, ya. Aku mau pergi sekarang aja deh,"
Anggi mencium punggung tangan mertuanya. Jika Jaka rela sakit demi keluarga, maka Anggi pun tak boleh kalah. Ia tidak ingin hanya Jaka saja yang berkorban, sementara dirinya enak-enakan di rumah. Sebagai istri yang baik, Anggi harus turut membantu Jaka.
***
Pendar kekuningan menyiram sekujur tubuh Anggi. Wanita itu berjalan di trotar kota dengan keadaan sempoyongan. Hari semakin siang, tapi Anggi belum menemukan pekerjaan. Lambungnya mulai perih karena belum diisi dan haus yang begitu mendera. Kulit Anggi juga tersiram oleh debu jalanan.
Anggi mendapatkan banyak toko yang membutuhkan karyawan. Sayangnya, Anggi kembali menarik diri karena gaji dan waktu kerja yang tidak setimpal. Anggi tak ingin merasa dirugikan.
Anggi terus berjalan menyusuri kota. Selang beberapa waktu kemudian, Anggi merasa demam itu kembali hadir. Ia menyeka keringat yang mengalir di kepala. Pemandangan Anggi perlahan buram serta lututnya yang melemas. Tak lama setelah itu, Anggi merasa tubuhnya terhempas ke sisi kiri. Ketika matanya nyaris terpejam, Anggi sempat melihat sosok asing berlari ke arahnya. Setelahmya, Anggi tak dapat merasakan apa-apa lagi.
***
Bersambung