Mendengar kabar hilangnya Anggi dari rumah membuat Dodi harus memutar otak dengan keras. Ia meyakini bahwa Anggi tidaklah diculik, melainkan memang kabur. Tidak ia temukan di mana keberadaan wanita tersebut.
Dodi memutuskan untuk menghubungi Misri, meskipun ia baru saja ditimpuk oleh suaminya. Dodi berharap jika Misri akan tahu di mana letak rumah Jaka. Dodi jadi menyesal kenapa ia tidak mencari tahu kediaman menantunya itu.
"Halo," sapa Dodi takut-takut. Ia agak menjauh dari Dida.
"Ada apa, Dodi?" jawab Misri. Ia pun bersembunyi mengangkat telepon Dodi.
"Kamu tahu gak di mana rumah Anggi?"
"Duh! Aku gak tahu tuh. Aku langsung terima Anggi aja kemarin,"
Dodi menepuk jidatnya. Ia berasumsi bahwa Misri terlalu mudah menerima orang asing. Untung saja Anggi wanita baik-baik. Kalau tidak, mungkin ia telah melarikan uang Misri tanpa diketahui identitas detailnya.
Dodi pun mematikan sambungan telepon dan kembali menemui Dida di ruang tengah. Perempuan itu kelelahan karena mencari keberadaan sang anak.
"Pasti dia pulang ke rumah Jaka. Sudahlah. Tidak usah dicari lagi," gerutu Dodi. Saking kesalnya, ia menyerah untuk memikirkan Anggi.
***
Menjelang malam, Anggi berhasil menginjakkan kaki di rumah suaminya. Sesegera mungkin Anggi mendorong pintu yang tertutup dan mencari keberadaan Jaka.
"Mas?" Anggi berdiri tepat di pusat pintu kamar.
Melihat kehadiran Anggi membuat jiwa Jaka kembali bangkit. Ia bangun dari tidurnya dan memeluk wanita itu penuh haru. Tak disangka jika Anggi akan kembali secepat ini. Jaka merasa dirinya berada di alam mimpi.
"Anggi. Kamu kembali?" Jaka tak henti merengkuh tubuh istrinya.
"Mas. Aku kabur dari rumah,"
Kalimat Anggi membuat Jaka melepas pelukannya. Sebuah kekhawatiran baru muncul.
"Nanti kalau ketahuan Papa sama Mama kamu tahu bisa tambah marah,"
Setelah pelukan itu terlepas, barulah Anggi menyadari jika wajah suaminya terluka. Banyak lebam biru di paras lelaki itu.
"Loh, Mas. Muka kamu kok begini?" Anggi meraba wajah Jaka.
Jaka cengengesan. Ia tak mau memperkeruh suasana dengan mengatakan kalau Dodi telah memukulinya.
"Mas tadi malam ke rumah kamu, tapi sewaktu pulang dipalak preman." Sengaja Jaka membuat alasan yang sama.
"Kamu ke rumahku?"
"Iya, tapi disuruh pulang lagi sama Papa kamu,"
"Jangan bilang kalau luka ini karena Papa." Anggi mulai curiga.
"Bukan, Sayang. Mas emang dipalak preman," titah Jaka berdusta.
Andai Anggi tahu jika Jaka ke rumahnya tadi malam, pasti dia langsung ikut dengan pria itu tanpa harus pakai acara kabur seperti sekarang. Sayangnya, Anggi dikunci. Sesuatu yang membuat ia tak dapat mengetahui apapun yang terjadi di luar rumah.
"Gimana Papa sama Mama kamu? Mas takut mereka marah." Jaka kembali mempertanyaan hal yang belum dijawab oleh Anggi.
"Tenang aja, Mas. Semua ini kan kemauanku, jadi aku yang bertanggung jawab," pungkas Anggi berusaha menenangkan hati suaminya.
"Sayang. Kamu jangan bilang Ibu tentang masalah ini, ya. Bilang aja kalau kemarin kamu sakit dan pulang sementara ke rumah Mama,"
Anggi sangat mengerti maksud Jaka. Laki-laki itu tak mau apa yang sudah mereka tutupi malah terbongkar. Anggi pun menganggukkan kepala mantap, kemudian kembali merengkuh tubuh suaminya. Anggi sangat merindukan Jaka. Mungkin malam ini mereka akan melepas kerinduan itu dengan menabur kasih di atas kasur.
Keesokan harinya, Anggi menemui Jaka untuk membicarakan sesuatu.
"Mas," panggilnya. Pria itu sedang memotong sayur untuk direbus.
Jaka memilih posisi berhadapan dengan sang istri sambil tetap melanjutkan kegiatannya, "Iya?" Jaka menyahut.
"Aku udah gak bisa kerja di rumah Bu Misri lagi. Mas kan tahu sendiri kejadian kemarin." Tadi malam sebelum tidur, Anggi sempat membahas bagaimana ia bisa ketahuan.
"Iya, Mas paham. Biar Mas aja yang cari kerja sehabis ini. Kamu di rumah sama Ibu, ya," seru Jaka, lalu mengusap puncak kepala Anggi.
Untuk sekarang memang ada baiknya kalau Anggi istirahat total, karena ia pun belum terlalu sembuh dari demam yang ia derita. Barangkali, esok Anggi sudah bisa beraktivitas dalam keadaan sehat.
"Iya, Mas." Anggi manut.
Selepas makan bersama dengan keluarga kecilnya, Jaka pun meminta restu dan do'a kepada dua perempuan yang begitu ia cintai. Jaka hendak mencari pekerjaan baru. Semoga saja kejadian kemarin tidak terulang lagi. Di mana dia harus dipaksa keluar hanya karena sang mandor ingin memasukkan keponakannya.
"Bu, Anggi. Aku pergi dulu, ya." Jaka mencium punggung tangan Jamilah serta dahi Anggi.
"Hati-hati di jalan," ucap Anggi dan Jamilah bersamaan, kemudian kembali ke rumah.
Jaka mengendarai angkutan umum untuk pergi ke Kota. Ia menaruh harapan di tempat tersebut. Pertama, Jaka memasuki sebuah grosir besar. Ia melihat beberapa pekerja yang sedang memikul karung beras di bahunya.
"Permisi, Pak." Jaka menemui seorang pria berkepala botak.
"Iya. Mau beli apa?"
"Saya bukan mau beli, Pak. Saya mau tanya, apa di sini ada lowongan pekerjaan?" Jaka harap-harap cemas menanti jawaban sosok tersebut.
"Wah. Sudah full. Kamu bisa lihat di depan sana ada banyak karyawan, kan?" Pria itu melayangkan telunjuk ke perkarangan grosir.
Jaka menelan liurnya sendiri. Padahal dia sudah berharap dapat bekerja di grosir itu. Jaka pun keluar dengan perasaan kecewa. Sekali lagi ia meyakini bahwa Sang Maha Kuasa telah mempersiapkan pekerjaan terbaik untuknya.
Jaka terus melangkah di bawah teriknya mentari. Sering ia mengusap keringat di kawasan pelipis. Beberapa toko sudah ia sambangi, tapi tak satu pun ada yang membuka lowongan pekerjaan.
Jaka memutuskan untuk duduk di bangku panjang yang terdapat di halaman sebuah café. Dilihatnya beberapa pelayan yang membawa gelas berisi minuman segar. Membuat Jaka merintih ingin, tapi tak mampu membayar. Akhirnya Jaka memilih pergi guna membeli air mineral.
"Eh!"
Belum jauh Jaka melangkah dan ia kembali terhenti, karena melihat sebuah tulisan yang terpampang besar di dinding café. Buru-buru Jaka berlari ke sana.
MEMBUKA LOWONGAN PEKERJAAN
"Mba, di sini lagi buka lowongan, ya?" Jaka menghampiri wanita berpakaian hitam putih.
"Benar, Mas. Aku juga baru masuk seminggu lalu. Di sini lagi butuh banyak karyawan," balasnya.
Jawaban itu sontak membuat Jaka bersorak girang di dalam hati. Setelah lama berkeliling, akhirnya ia temukan tempat yang membutuhkan karyawan.
"Mari saya antar,"
Jaka pun digiring ke sebuah ruangan berukuran sedang. Di sana ia dihadapkan oleh seorang pria berkacamata.
"Permisi, Pak. Ada yang ingin mendaftar kerja,"
Setelah mengantarkan Jaka, perempuan tadi kembali melanjutkan pekerjaan.
Jaka diinterview di dalam sana. Tidak lupa ia menunjukkan ijazah terakhirnya. Tak lama setelah itu, sang pria yang berstatus sebagai menager café memtuuskan untuk menerima Jaka. Dia diperbolehkan bekerja pada esok hari.
"Wah. Terima kasih banyak ya, Pak." Jaka berjabat tangan dengan manager barunya.
"Iya. Sekarang kamu boleh keluar,"
Jaka pergi dari ruangan dalam keadaan gembira. Langkah kakinya terayun cepat. Tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira ini pada Ibu dan istrinya.
BRUK!!!
Saking senangnya Jaka sampai tidak fokus dan menubruk tubuh seorang wanita mungil. Jaka tersentak kaget. Mulutnya ternganga lebar laksana goa.
"Ka- kamu?" Jaka mengucek matanya berulang kali.
***
Bersambung