Noah sedikit tertohak dengan pertanyaan Raven barusan yang cukup serius, terlihat dari mata dan suara deep yang dikeluarkannya, tidak ada hawa bercanda sama sekali. Kesempatan baginya untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya kepada calon kakak iparnya langsung, agar Raven bisa merestui hubungannya nanti dengan Yuna, jika perempuan itu kembali ke Indonesia.
Noah menegakkan bahu dan berusaha mencari posisi yang nyaman untuk menjawab.
"Lo masih belum percaya dengan ucapan gue barusan, Rav, apa lo pikir gue berbohong dengan perasaan gue kepada adek lo selama ini," cetus Noah menjawab, lebih mencondongkan wajah ke arah Raven dan lekat menatap wajahnya, sehingga kedua laki-laki itu saling pandang dari jarak yang amat dekat.
Tersadar dengan posisinya yang terlalu dekat, Raven segera menjauhkan wajah dari Noah sembari mengeluarkan napasnya pelan. Tidak ingin orang lain beranggapan yang tidak-tidak nanti, apalagi di kafe ini kebanyakan diisi oleh karyawannya yang menghabiskan waktu istirahat dari pekerjaannya.
"Lo nggak pernah berkata jujur ke gue soal perasaan lo itu, dan lo terlihat bercanda ketika membicarakan mengenai Yuna ke gue. Ya, wajar dong kalau gue menganggap perasaan lo ke Yuna cuma angin lalu semata alias nggak serius. Apalagi lo sering banget ngecengin karyawan perempuan lain."
"Ya lo tahu sendiri kalau dari dulu gue emang suka bercanda sama orang lain, jangan di bawa serius lah. Tapi, untuk masalah pekerjaan dan perasaan ke Yuna, gue bener-bener serius. Satu hal lagi yang harus lo tahu, Rav, walaupun gue dekat dengan Nadine atau karyawan lain, gue masih incar adek lo sampai sekarang, karena gue tahu kalau Yuna punya kakak yang perfeksionis dan nggak mudah bagi gue untuk mendapatkannya, walaupun lo temen baik gue, tapi lo nyebelin banget, Rav," pungkas Noah dengan penuh kejujuran. Baru kali ini ia mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya secara langsung kepada Raven. Walaupun pertemanannya sudah terjalin sejak lama dengannya, namun tidak mudah bagi Noah mengungkapkan keinginannya untuk menjalin hubungan dengan Yunaira, atau bahkan menjadi bagian dari hidup perempuan itu kepada kakaknya langsung.
Hampir satu jam antara Raven dan Noah saling mengobrol ketika obrolan tersebut diawali dengan membicarakan mengenai pernikahan Raven yang sebentar lagi akan dilaksanakan, dan laki-laki itu masih bingung dengan perasaannya kepada calon istrinya sendiri. Lalu, beralih kepada perasaan Noah kepada Yuna. Meskipun Raven belum merestui seratus persen karena keduanya memang belum memiliki hubungan yang serius, hanya Noah saja yang mengungkapkan perasaannya. Namun, paling tidak ia bisa melihat keseriusan laki-laki itu kepada adiknya jika memang Tuhan mentakdirkan keduanya berjodoh.
Ketika Raven sudah berada di ruangan pribadi untuk memulai pekerjaannya kembali, dan Noah pun melakukan hal yang sama karena menjabat sebagai CTO di perusahaan yang sama dengan Raven. Noah diangkat langsung oleh nenek Hanna, karena melihat kinerja laki-laki itu yang mengagumkan yang jarang dimiliki oleh orang lain sesaat masih menjadi karyawan di perusahaannya. Karena kesibukannya membuat kedua pria itu tidak bisa bersantai lebih lama lagi untuk mengobrol seperti karyawan lain.
Gerakan bola matanya yang sedang meneliti beberapa hasil laporan yang baru saja diserahkan oleh salah satu karyawannya, mengenai peningkatan produksi dalam satu bulan kemarin, menambah tumpukkan berkas di atas meja dan seketika membuat kepalanya pusing. Minggu depan adalah hari pernikahannya dengan Camelia, dan mungkin tiga hari sebelum hari H, ia akan disibukkan untuk hal itu.
Namun, ponsel yang berada di atas meja bersebelahan dengan laptop yang masih tertutup bergetar dan menyala. Raven paling tidak bisa membuat seseorang yang meneleponnya menunggu, walaupun dalam keadaan sibuk apa pun akan tetap diusahakan untuk menjawab, apalagi jika nenek Hanna yang memanggilnya.
Dengan perlahan, dahinya sedikit berkerut ketika nama yang tersemat di layar ponselnya adalah Camelia. Jujur, ia masih kesal dengan perempuan itu dengan kejadian tadi pagi, namun ketika obrolannya tadi dengan Noah menyadarkan ia dengan sikapnya yang terlalu perfeksionis. Tanpa menunggu lama, Raven segera menjawab panggilan perempuan itu yang mungkin saja penting.
"Halo, ada apa, Mel?" ucap Raven terlebih dahulu dengan arah mata yang masih membaca laporan tersebut.
"R-rav, lo ada di mana sekarang?"
Raven menegakkan wajahnya, ketika ada hal yang sedikit berbeda mendengar suara dari Camelia yang tak biasa.
"Di kantor, ada apa memang?"
"Owh … di kantor, ya. Lo sibuk banget?" Camelia bertanya kembali.
Keadaan perempuan itu sekarang sedang tidak baik-baik saja dan tidak memungkinkan untuk pulang sendiri ke rumah, maka dari itu ia menghubungi Raven meminta bantuan kepada laki-laki itu untuk mengantarnya pulang. Sebenarnya Camelia tidak ingin meminta Raven, tapi tidak mungkin ia meminta tolong kepada Mahesa, sementara Rachel sedang pulang kampung.
Raven mengalihkan pandangannya sebentar ke arah berkas-berkas laporan yang sudah menggunung, dan niatnya hari ini memang akan memeriksanya satu per satu. Namun, mendengar suara Camelia meringis membuatnya mengurungkan, mungkin perempuan itu sedang membutuhkan bantuannya.
"Ehm … saya nggak terlalu sibuk kok, kenapa suara kamu terdengar berbeda gitu, Mel? Kamu kenapa?" Raven sudah mulai khawatir dan menutup berkas tersebut.
"Serius lo lagi nggak sibuk banget, Rav? Setahu gue seorang pimpinan perusahaan nggak ada waktu luang, sibuk banget setiap harinya," balas Camelia yang mengalihkan jawaban, padahal Raven menanyakan keadaannya.
"Saya nggak terlalu sibuk Camelia, apa yang terjadi sama kamu? Ayo katakan!" Raven mempertegas ucapannya, karena perempuan itu seperti menghindar menjawab pertanyaannya.
"Antar gue pulang ke rumah," jawab Camelia singkat sembari merintih seperti menahan sesuatu yang mungkin sedang dirasakannya sekarang, namun tidak ingin diberitahukan kepada Raven.
"Ok, kamu tunggu saya. Tapi, posisi kamu di mana sekarang?"
"Di apartemen."
"Baik, dalam waktu tiga puluh menit saya akan tiba."
Keduanya pun menyudahi obrolannya tanpa Raven bertanya kembali dengan keadaan perempuan itu yang cukup membuatnya khawatir, dan mengganggu pikirannya yang hendak meninggalkan kantor.
Raven pun segera beranjak bangun, meraih jas yang disimpan di punggung kursi kerja, tak lupa laki-laki itu meraih ponsel dan juga kunci mobilnya. Lantas, bergegas berjalan keluar dari ruangannya.
Dengan langkah tergesa-gesa sembari mengetik pesan yang dikirimkan kepada sekretaris dengan kepergiannya hari ini yang harus meninggalkan pekerjaannya, membuat Raven tak sadar jika beberapa karyawan yang sedang melintas memberikan sapaan kepadanya, karena fokus utama matanya adalah ke layar ponsel menunggu jawaban dari laki-laki itu.
Sesampainya di dalam mobil yang terparkir di halaman perusahaan, Raven masih terdiam dan meraba dadanya yang terasa jika detak jantungnya tak normal. Ia tidak mengerti dengan keadaannya sekarang, terlalu mengkhawatirkan perempuan itu sampai membuatnya tak tenang. Apa benar jika Camelia masih begitu berarti dalam hidupnya, setelah rasa cinta kepada perempuan itu sempat tergantikan oleh Luna.
Raven berusaha untuk melupakan keresahannya sejenak karena posisinya yang akan mengemudi, tak baik berkendara jika pikirannya ke mana-mana karena begitu mengkhawatirkan perempuan itu. Dan sebelum melajukan mobilnya ia mengirimkan beberapa pesan kepada Camelia agar perempuan itu menunggunya dan tidak boleh pergi ke mana-mana. Tak menunggu lama Raven segera melajukan mobilnya meninggalkan perusahaan menuju apartemen Camelia karena tidak ingin membuatnya menunggu lama, nasib baik lokasi apartemen perempuan itu tidak terlalu jauh dengan kawasan perusahaannya.
To be continued…