Sebuah gedung yang menjulang tinggi, tepatnya di lantai 15 di mana Raven tengah memimpin rapat yang dihadiri beberapa karyawan yang terlibat dalam proyek barunya. Dalam waktu dekat perusahaan yang dipimpinnya akan bekerja sama dengan pengusaha properti asal Dubai. Namun, ada hal berbeda ketika salah satu karyawan yang sedang mempresentasikan hasil kerjanya sebaik mungkin di depan Raven, dan karyawannya yang lain. Ketika penghuni ruangan yang terlibat dalam rapat kali ini yang tampak mendengarkan secara seksama, namun berbeda dengan si pemimpin yang lebih banyak diam seperti sedang memikirkan sesuatu yang memberatkan pikirannya. Baru kali ini dirinya dibuat tidak fokus sesaat memimpin rapat penting yang juga melibatkan neneknya yang turut hadir, karena sebagai Chairman di perusahaan, tentu saja perempuan yang sudah tak muda lagi itu harus terlibat dalam agenda-agenda penting di perusahaannya, meskipun ia sudah percaya seratus persen pada kemampuan cucunya ini.
Pikiran berat yang memicu Raven tidak fokus disebabkan karena pertengkaran kecil antara dirinya dengan Camelia pagi tadi, hal itu karena mantan kekasih Camelia yang bernama Mahesa kembali hadir ke dalam hidup perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Raven tidak menampik tidak suka melihat keduanya kembali menyatu, sedikit banyaknya ia sudah tahu dengan hubungan perempuan itu dulu saat di Australia, Mahesa yang sangat mencintai Camelia, meski keduanya sudah putus namun terlihat Mahesa yang berusaha untuk mendekatinya lagi. Apalagi sekarang laki-laki itu tinggal di apartemen bersebelahan dengannya. Siapa yang tidak geram dan suka, meskipun ia mau menikahi Camelia karena neneknya yang terus meminta. Rasa sukanya kepada perempuan itu dulu mulai menghilang dengan kehidupan bebas yang dilakukannya, dan tidak sesuai dengan harapan Raven.
Kejadian itulah yang membuat Raven mulai teringat kembali dengan kehidupan bebas Camelia dulu, padahal ia sudah berusaha untuk melupakan sesuatu yang diketahuinya, cukup dirinya saja yang tahu, tapi tidak dengan neneknya agar tak kecewa kepada calon cucu menantunya. Ia yakin semua orang bisa berubah dan perubahan pun akan terjadi pada diri perempuan itu. Namun, setelah apa yang dilihatnya tadi, hatinya merutuk dan melemah.
Sesekali laki-laki itu mengubah posisi menegak menatap lekat gerakan bibir karyawannya, bahkan telinganya pun mendengar suara tegas dan lantang. Namun, terasa samar-samar karena pikirannya ke mana-mana. Sampai tak sadar setelah hampir dua jam lamanya rapat tersebut dilaksanakan dan berakhir dengan suara riuh tepuk tangan dari teman-teman seperjuangannya. Beberapa karyawan yang sudah berpamitan berhamburan keluar meninggalkan ruangan. Di sanalah Raven baru sadar jika dirinya sudah bersikap tidak profesional kali ini yang mengabaikan rapat penting. Dan ternyata hal itupun terlihat jelas oleh Nenek Hanna yang memang memperhatikan sikap cucunya yang tak biasa sejak dari tadi, bahkan belum pernah Raven bersikap seperti itu ketika sedang bekerja, selalu bersikap professional yang selalu ditampilkannya. Tapi, kali ini berbeda, raut wajahnya terlihat tak baik-baik saja, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat.
Raven mengembuskan napasnya pelan sembari melebarkan bibirnya ketika salah satu karyawan yang berpamitan. Lalu, menoleh ke samping yang sedang ditatap penuh interogasi oleh Nenek Hana.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Rav? Nenek perhatikan sejak tadi kamu ngerasa nggak nyaman dan pikiranmu entah ke mana, bahkan sepertinya kamu pun nggak mendengarkan salah satu karyawanmu yang sedang presentasi tadi?" tanya Nenek Hanna yang terus menghujani Raven dengan tatapan yang tidak mengenakkan, bahkan dengan kalimatnya sedikit menusuk.
Raven sadar jika dirinya sudah bersikap tidak baik, bahkan lalai dalam rapat penting pagi ini yang mungkin membuat neneknya kecewa. Ketika bibirnya yang masih tergagap untuk menjawab dan lehernya tercekat karena problem yang sedang dialaminya cukup privasi.
"Ehm … Nggka kok, Nek," timpal Raven melengos.
"Nggak usah bohong, apa ada hubungannya dengan Camelia?" Perempuan itu langsung mencurigai. "Kamu bertengkar dengannya sampai membuatmu seperti ini?" Nada bicaranya pun sudah terdengar berbeda seolah benar jika keadaan Raven sekarang karena ada masalah dengan calon istrinya sendiri.
"Hanya masalah kecil." Terpaksa Raven jujur, karena tidak ada alasan lain yang membuat neneknya percaya. Jika urusan pekerjaan, perempuan itu lebih tahu jika cucunya sedang ada masalah, namun jika hal lain di luar pekerjaan neneknya tidak tahu.
Jawaban tak terduga dari sang nenek justru membuat Raven merasa senang, semburat senyuman yang ditampilkan oleh perempuan itu membuatnya tidak tegang. Ekspresi yang sebelumnya Raven curigai dari raut wajah neneknya jauh melesat dari perkiraannya.
"Hal biasa ketika pasangan yang akan menikah pasti akan ada masalah-masalah kecil yang dihadapi. Kamu dengannya sudah dewasa bisa mengontrol emosi, apalagi hanya masalah kecil yang nggak harus mengganggu rencana yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Nenek berharap jika nanti sudah menikah dan menjalani kehidupan baru setelah menjadi pasangan suami istri, bijaklah dalam menyikapi masalah, Rav. Kamu akan menjadi seorang suami, kepala keluarga dan seseorang yang paling dekat dengan Camelia. Kamu harus bisa memahami sifat dan sikap istri kamu, kalian berdua harus bisa menerima kekurangan masing-masing. Entah dari masa lalu atau apa pun itu, jangan membawa masa lalu dari seseorang ke dalam kehidupanmu nanti di masa yang akan datang. Harus benar-benar bijak dalam menyikapinya."
Raven sedikit tertohak dengan kalimat yang dilontarkan oleh neneknya, seolah seperti tahu dengan apa yang dirasakannya sekarang. Masa lalu Camelia yang membuatnya masih enggan, namun dengan ucapan Nenek Hanna membuatnya berpikir kembali dengan sikap berlebihan dirinya dalam menanggapi masa lalu perempuan itu.
"Satu lagi, bedakan antara urusan pribadi dengan pekerjaan. Kamu adalah Presdir yang Nenek tunjuk di perusahaan ini untuk bertanggung jawab, nggak hanya kepada pekerjaan tapi juga kepada para staf dan karyawanmu. Bersikap profesional dan disiplin agar ditiru oleh para karyawanmu," ucap Nenek Hanna sembari menyentuh bahu bidang Raven yang tertutup jas rapi tersebut. Laki-laki itupun mencoba untuk tersenyum. Bayang-bayang masa lalu dari perempuan itu yang membuatnya terganggu, namun jawaban yang tak terduga malah keluar dari mulut Nenek Hanna, padahal perempuan itu tidak pernah tahu yang sebenarnya.
"Iya Nek, maaf, Rav sudah keliru tadi. Rav akan bersikap profesional."
Setelah mengobrol panjang dengan neneknya dan perempuan itu sudah lebih dulu pergi. Karena kondisi nenek Hanna yang memang tidak terlalu sehat hari ini, Raven memintanya untuk beristirahat saja di rumah. Sementara laki-laki itu baru saja keluar meninggalkan ruang rapat dengan langkah tegas dan suara nyaring dari sepatu pantofel mengkilap yang beradu di atas lantai. Sesekali wajahnya menyiratkan senyuman ketika bertemu dengan karyawan yang menyapanya. Walaupun Raven terkenal berwajah dan bersikap dingin karena jarang sekali tersenyum, namun berbeda dengan akhir-akhir ini, senyuman indah yang tercipta di wajahnya membuat para karyawan perempuan meleleh, karena jarang sekali atasannya melakukan gerakan wajah tersebut.
Namun, langkah kaki tegap laki-laki itu terhenti ketika harus berhadapan dengan Laluna Faradita, sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu dan melihat perempuan itu. Lengkungan wajah yang sejak tadi ditampilkan oleh Raven yang kini mulai berubah menurun. Pesona dari Laluna tidak pernah pudar dan hal pertama yang membuatnya jatuh cinta ketika kepergian Camelia ke Australia, meski perasaan itu sudah hilang dengan perbuatannya sendiri, namun Luna pernah menjadi seseorang yang berharga dalam hidup dari seorang laki-laki yang sulit untuk jatuh cinta.
Ketika Raven yang masih setia berdiri tegap dengan tatapan ke arah perempuan itu, dan tak sadar jika Luna sudah berada di hadapannya. Sebagai seorang karyawan, perempuan itu berusaha untuk bersikap sopan kepada atasannya sendiri, meski terasa gugup yang terus melanda.
"Saya dengar jika Pak Raven akan segera menikah?" tanya Luna yang menghentikan lamunan dan tatapan Raven sesaat. Terasa tercekak atas pertanyaan Luna yang mengetahui dengan rencana pernikahannya.
Belum sempat Raven membuka mulut dan menggerakkan lidahnya, Luna sudah lebih dulu mengangkat tangan ke arahnya sembari menyiratkan senyuman, antara bahagia atau sebaliknya dengan gerakan tangan memberikan selamat tersebut.
"Selamat ya, Pak," tiga kata melesat dengan sempurna keluar dari mulut perempuan itu, bibirnya yang bergelombang pun dengan dilapisi lipstick berwarna soft pink itu ikut meramaikan perasaannya.
Raven bisa melihat dengan jelas jika senyuman yang ditampilkan olehnya bukanlah senyuman penuh bahagia, bahkan dengan kalimat selamat yang didengarnya tadi, bukan benar dari lubuk hatinya memberikan kata 'selamat' melainkan hanya sebuah keterpaksaan semata. Ia yakin jika Luna masih menyimpan rasa kepadanya sampai sekarang. Namun, ia tidak ingin berlama-lama berkutat dengan perasaannya yang tidak menentu, tidak mengatakan jika sosok perempuan itu sudah tidak ada lagi di dalam hatinya, ataupun masih ada sampai sekarang.
Tanpa ragu, Raven pun ikut mengangkat tangan, membalas dan saling berjabat dengannya, ikut tersenyum yang membuat perubahan secara nyata di wajah Luna.
"Terima kasih, Lun, saya harap kamu pun segera mendapatkan seseorang yang kamu cintai," cetus Raven yang langsung melepaskan pagutan tangannya, hanya beberapa detik kedua tangannya saling menyatu.
"Ya sudah kalau begitu saya permisi." Sembari tersenyum dan melangkah pergi setelah berpamitan kepada Luna. Lebih baik menghindar ketika perasaan hatinya masih ada untuk perempuan itu, meski ia merasa tak tega sesaat melihat wajah Luna yang terlihat kecewa, namun berusaha untuk menyembunyikannya dengan sebuah senyuman.
Perempuan itu hanya bisa menatap lekat kepergian atasan sekaligus mantannya. Walaupun hanya satu tahun menjalin cinta dengan Raven, namun banyak kenangan yang belum bisa dilupakan begitu saja. Raven adalah sosok laki-laki yang sangat berbeda dari semua mantannya, begitu menyesal ketika ia malah mengkhianati cinta Raven yang tulus kepadanya dulu.
To be continued…